Chereads / Bukan Salah Rasa / Chapter 8 - Masalah Reisya

Chapter 8 - Masalah Reisya

"eh Ruri, emang ada apaan si? Kok Reisya sampe di usir ayahnya?" tanya Nando penasaran.

"kepo dah lo" jawab Ruri sambil melempar kacang pada Nando.

"yeuh si bambang, kan lo yang tadi mancing-mancing rasa penasaran kita. Sekarang tanggung jawab donk, jelasin ke kita apa yang sebenarnya terjadi." tukas Nando.

"iya, aku juga penasaran. Emang ada apa antara Reisya dan Lucy? Kok kamu sampe nyindir ke Refan, terus manggilnya medusa lagi. Ceritain donk!" ungkap Simon penasaran.

"iya sih, ya udah deh. Kali aja kalian bisa bantu juga, tapi awas aja kalo kalian pada ember. Ini rahasia soalnya, Reisya bisa ngamuk kalo bocor ke sembarang orang." ancam Ruri pada Nando dan Simon, sedangkan Refan hanya ikut mendengarkan saja.

"iya sayang iya, ya udah ceritain dulu." kata Simon tidak sabar.

"ibu Reisya meninggal 4 tahun lalu, tapi tidak lama kemudian ayahnya langsung nikah lagi sama wanita bernama Meri yang merupakan selingkuhannya. Reisya tidak terima dan marah besar pada ayahnya, hal itulah yang membuat Reisya jadi kayak sekarang. Dulu Reisya itu ramah, baik, selalu tertawa bahagia, tapi semenjak kematian ibunya Reisya jadi berubah 180 derajat. Reisya jadi tertutup, jarang bicara, dingin, dan kadang menyimpan semua masalahnya sendiri tanpa mau bicara dengan siapapun.

Amarah Reisya semakin memuncak saat tau Meri hanya memanfaatkan ayahnya demi harta saja, harta itu adalah peninggalan ibunya Reisya yang seharusnya menjadi hak Reisya. Reisya juga menentang keras kedatangan Lucy, yang merupakan anak Meri dari pria lain. Tapi ayahnya Reisya malah memarahi Reisya dan membela Lucy, yang notabene nya orang luar.

Reisya kalut, ia menutup dirinya dari siapapun. Reisya hidup dalam kesepian dan penderitaan batinnya, tapi ia selalu berkata baik-baik saja ke siapapun. Reisya jadi pemurung, sering nangis, dan kosong. Gw sebagai sahabatnya sedih liat Reisya jadi begitu, tapi gw juga gak bisa bantu apa-apa.

Dan mungkin ini batas akhir kesanggupan Reisya menahan penderitaannya itu, dia memilih keluar dari rumah kesayangannya. Rumah yang menjadi kenangan terindahnya bersama sang ibu, gw rasa Reisya menyerah pada keegoisan ayahnya." jelas Ruri sambil berderai air mata.

Ketiga cowo yang ada di situ terdiam, entah mengapa mereka malah ikut merasakan sakit yang di rasakan oleh Reisya. Mereka memang baru mengenal Reisya, tapi mereka sudah merasa dekat dengan gadis itu.

"gw minta sama kalian, bantu gw jaga Reisya. Dia itu rapuh, sangat rapuh. Apa kalian mau bantu gw jaga Reisya?" pinta Ruri pada Refan, Simon, dan Nando dengan sendu.

"aku pasti bakal bantuin kamu kok yank, apalagi Reisya juga temen kita. Pasti kita jagain kok, ya kan Do, Fan?" balas Simon dengan yakin.

"iya donk, itu pasti." jawab Nando menyetujui.

Refan tidak menjawab, ia hanya mengangguk. Refan tidak menyangka jika hidup Reisya separah itu, entah kenapa hatinya ikut merasa sakit mendengar Reisya menderita sejauh itu.

"gw duluan." pamit Refan lalu pergi meninggalkan Ruri, Simon, dan Nando.

Ketiga orang itu saling melirik, dan dari tatapan mereka sepertinya sedang merencanakan sesuatu.

"kalian setuju kalo kita jodohin Refan sama Reisya?" tanya Ruri minta pendapat.

"ide bagus tuh yank, kita juga kurang setuju Refan sama Lucy." jawab Simon.

"iya, Refan gak bahagia sama Lucy. Kita gak tega, Refan malah kayak tertekan gitu." sambung Nando.

"ok, kalo gitu kita buat aja Refan sama Reisya makin deket gimana?" usul Ruri semangat.

Kedua pria itu langsung mengangguk setuju, mereka pun kembali menyantap makan siang mereka hingga habis. Lalu pergi meninggalkan kantin.

.

Reisya duduk di ujung teras atap yang membuatnya dapat melihat langit dan wilayah sekitar sekolah, Reisya menyukai ini. Tenang, sunyi, keindahan tersembunyi yang selalu menemani harinya.

Mengingat pembicaraan di kantin tadi, Reisya kembali berpikir. Apakah benar jika ia egois mengorbankan Refan yang tidak bersalah, untuk balas dendamnya? Itu jahat bukan? Refan tidak seharusnya ikut terlibat. Hati Reisya menjadi bimbang, keraguan mulai merasuki perlahan.

"kenapa lo gak bilang kalo Lucy itu adik tiri lo?" tanya seseorang tiba-tiba, membuat Reisya mengalihkan perhatiannya pada orang itu.

"Refan? Kok lo ada disini?" Heran Reisya.

"bukannya jawab pertanyaan gw, malah nanya balik." sindir Refan.

Reisya terkekeh, ia kembali menatap langit jauh. Helaian rambutnya bergerak seiring hembusan angin yang menyapa, Reisya membiarkan Refan tenggelam dalam rasa penasaran karna menunggu jawabannya.

Refan melangkah mendekati Reisya, dan duduk di samping Reisya. Hal itu membuat Reisya menatap Refan sesaat, lalu ia pun menjawabnya.

"gw gak punya adik, baik kandung ataupun tiri. Buat apa gw ngakuin hal yang gak pernah ada?" jawab Reisya dengan nada sedih, namun wajahnya malah tersenyum.

Hening, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara lagi. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, lidah mereka keluh untuk sekedar membuka suara.

"lebih baik lo menjauh dari gw." ucap Reisya tenang.

"kenapa?" tanya Refan.

"ini yang terbaik untuk kita." jawab Reisya seadanya, Reisya tidak ingin menarik Refan dalam aksi balas dendamnya.

Refan menatap Reisya heran, namun keheranannya hilang saat ia menemukan luka memar di bagian pipi Reisya. Memang Reisya sudah menutupinya dengan blush on tipis, tapi jika diperhatikan sedekat ini pasti terlihat jelas ada luka memar.

"apa masih sakit?" tanya Refan sambil membelai pipi Reisya yang memar.

Reisya menatap Refan tidak percaya, bagaimana mungkin cowo itu tau? Padahal Reisya sudah menutupinya dengan bedak dan blush on, Reisya menatap Refan dengan tatapan sendunya.

"gw tau lo terluka Sya, jangan simpan semuanya sendiri. Ada gw, ada temen-temen yang sayang sama lo. Lo bisa bagi derita lo sama kita, biar lo gak sakit sendiri. Gw dan temen-temen, siap jadi sandaran untuk lo Sya." ungkap Refan serius.

Reisya terharu mendengar perkataan Refan, Reisya tidak bisa mengeluarkan kata-katanya. Selama ini ia selalu menyimpan bebannya sendiri, tanpa seorang pun tau. Reisya memendamnya, lalu meluapkannya dalam air mata di kesendirian.

Kata-kata Refan tadi menyentuh hatinya, membuat Reisya tidak tahan lagi dengan deritanya. Air mata Reisya jatuh, tangisnya pecah di hadapan Refan. Dengan cepat Refan membawa Reisya ke dalam pelukannya, akhirnya Reisya menangis dalam pelukan Refan.

"menangislah, lo pantas untuk itu." bisik Refan pada Reisya.

Bisikan Refan membuat Reisya semakin menguatkan pelukannya, seiring dengan tangisannya yang semakin menjadi. Refan membelai punggung Reisya, memberikan ketenangan untuk gadis itu.

Bahkan setelah bel masuk berbunyi, kedua orang itu masih dalam posisi yang sama. Tidak ada yang berniat untuk kembali ke kelas masing-masing, mereka mungkin akan membolos hari ini.

Biarlah, setidaknya benang di antara mereka tidak jadi terputus. Atau mungkin ada benang lainnya yang mengikat lebih kuat? Siapa yang tau, kisah ini terlalu rumit untuk di pahami.