Sistem sekolah ini mulai berbeda dari tahun lalu yang bisa dilihat dari Kelas Khusus ini. Kelas Khusus ini isinya adalah para kelas yang menang pada turnamen kemarin. Bisa dibilang kelas X hingga kelas XII dicampur, tetapi dengan catatan yang menang turnamen saja. Oh lihat, terdapat orang pertama yang tiba di kelas ini. Orang itu adalah Rael Runama. Dia adalah perempuan dengan tatapan yang tajam dan rambut yang panjang. Dia memberikan kesan yang kuat, tetapi tenang saja dia sangat ramah. Memang tatapan dia saja yang begitu. Lalu datang tiga orang sinting secara bersamaan setelah Rael. Mereka adalah ..., orang-orang pindahan yang sinting. Siapa lagi kalau bukan Yursa, Weka, dan Natur.
"Kurasa kita bukan orang pertama yang sampai di kelas ini. Sepertinya itu perempuan kelas XII," kata Weka sambil menunjuk Rael yang sedang bermain 'game' di ponselnya, kurasa.
"Cantik juga," kata Yursa.
"Dasar. Tapi memang sih," kata Natur sambil membetulkan kacamatanya seolah-olah sedang menganalisis.
"Astaga," desah Weka sambil mengacak-acak rambut Weka. "Ah, itu untuk kelas XI."
"Ngomong-ngomong dimana Lusia?" tanya Natur.
"Benar juga. Dia selalu diam, tetapi keberadaan dia selalu terasa."
Mereka akhirnya duduk sambil mengobrol tentang topik sinting mereka. Setelah mereka berempat, datanglah dua orang lagi yaitu Kulo dan Delia.
"Sepi banget," kata Kulo sambil memegang tasnya dengan tangan kanan.
"Kan masih jam 06.00. Wajar saja masih sepi," balas Delia sambil melihat ponsel.
"Betul juga. Oh ya, Ava katanya datang sekitar jam 06.21-an," kata Kulo yang baru melihat ponselnya akibat notifikasi.
"Kurasa dia terlalu lelah gara-gara bekerja kemarin."
Mereka berdua akhirnya duduk di bangku depan si empat sinting. Beberapa menit kemudian, mulai berdatangan murid-murid termasuk Ava. Ava melihat-lihat sekitar untuk mencari temannya. Ava akhirnya melihat Kulo yang sedang melambaikan tangannya. Ava langsung berjalan ke arah dia dan duduk di sampingnya.
"Cemara mana?" tanya Ava.
"Entah, katanya dia bentar lagi datang, tetapi ini sudah mau mulai," balas Kulo.
"Palingan dia tidak akan datang," susul Delia sambil melihat ponsel.
"Kukira dia anak rajin, soalnya dia pendiam dan jarang bicara," kata Kulo dengan wajah keheranan.
"Dia bukan jarang bicara, dia hanya tidak ada semangat," kata Delia sambil menurunkun kantung matanya.
"Jika kuperhatikan mata dia memang terlihat seperti orang malas. Seperti dia bisa tidur kapan saja jika dia menutup mata," kata Ava sambil menirukan Delia.
"Mengapa kalian semua menarik kantung mata kalian?" tanya Kulo sambil menarik kantung mata juga.
Pada saat itu juga, datanglah orang-orang dengan seragam yang berbeda dari murid pada umumnya. Seragama mereka berwarna hijau kuning tua seperti daun yang mau mati. Terdapat sebuah jubah kecil yang menutupi lengan kanan mereka. Elit juga seragamnya. Kancingnya juga menyamping dari atas hingga bawah seperti baju militer. Lebih tepatnya baju jendral-jendral militer. Mereka berjumlah enam orang. Bisa dibilang mereka adalah OSIS-nya sekolah ini. Mereka menamai organisasi mereka dengan-
"Magna. Itu mereka kan?" tanya Natur.
"Apa tuh? Agung?" tanya Weka.
"Bukan Agung. Mereka kelompok murid-murid yang dilantik oleh sekolah sendiri. Lagian apa maksudmu agung?" jelas Natur.
"Lupakan tentang agung," kata Weka.
"Mau jagung?" tawar seseorang dari belakang mereka.
Mereka berempat melihat ke arah orang yang sedang menawar dan memakan jagung. "Anda siapa?" tanya mereka berempat kecuali.
"Jagung," kata orang ini.
Yursa berbisik pada mereka. "Sinting nih orang."
Mereka membalasnya dengan mengangguk. Mereka akhirnya memutuskan si Jagung tadi. Lagian apa maksud jagung itu? Jagung. Eh.
"Selamat pagi dan saya ucapkan selamat kepada kalian yang telah memenangkan turnamen kemarin," kata salah satu orang dari oraganisasi Magna ini yang kemudian di susul oleh tepuk tangan.
"Sebelum itu perkenalkan kami adalah Magna."
Semua orang bertepuk tangan kembali sementara Yursa hanya melihat mereka dengan keheranan.
"Kami adalah organisasi yang ditunjuk oleh sekolah sendiri untuk mendampingi dan membimbing kalian."
Semua orang kembali bertepuk tangan untuk ke tiga kalinya, sementara Yursa semakin keheranan mengapa mereka semua bertepuk tangan.
"Kelas khusus ini dibuat untuk mereka yang memiliki potensi supaya bisa melindungi tanah air ini dan sekolah ini."
Semua orang kembali bertepuk tangan untuk ke empat kalinya. Jujur saja ada apa dengan mereka, bahkan ekspresi Yursa mengungkapkan kebingunganku.
"Tolong berhenti bertepuk tangan."
Semua orang kembali bertepuk tangan untuk yang ke lima kalinya.
"Mengapa kalian bertepuk tangan?" tanya Yursa kepada mereka bertiga.
"Entah, ikut-ikutan saja," balas Weka.
"Aku senang melihat orang lain keasl," balas Natur.
"Sinting kalian. juga mengapa kau ikut-ikutan?"
"Saya langsung ke intinya saja. Murid-murid selain kalian yang ada di sini alias mereka yang kalah, akan dibuang atau kita bilang saja di 'drop out'."
Beberapa dari murid di sini langsung terkejut, beberapa ada yang biasa saja, beberapa ada yang kebingungan, dan beberapa ada yang kelas sekaligus marah. Si empat sinting ini tentu saja tidak biasa saja.
"APA-APAAN ITU? BUKANKAH ITU TIDAK ADIL DAN KEJAM?" ekspresi kesal sudah mulai dikeluarkan dari beberapa pihak."BUKANKAH TAHUN LALU TIDAK SEPERTI ITU?"
"Tolong tenang," ketua ini tiba-tiba mengeluarkan aura yang membuat mereka semua diam. "Ini adalah kebijakan dari kepala sekolah. Kebijakan kepala sekolah adalah absolut. Kita tidak tahu mengapa kepala sekolah mengeluarkan kebijakan ini, tetapi kami yakin ini baik."
"Absolut? Sudah kaya diktaktor saja," sindir Ava sambil berbisik.
"Siapa tadi yang bicara?" tanya salah satu anggota Magna.
Kulo tiba-tiba memukul kaki Ava dengna pelan sambil tertawa.
"Maaf ini suara dari ponsel. Akan saya pelankan," kata Ava sambil menahan tawa dan menunjukan ponselnya.
"Jangan nyalakan lagi!"
"Siap."
Pada saat itu juga mulai datanglah beberapa guru. Diantara mereka ada kepala sekolah, Bu Reola, Bu Eyasi, dan Pak Dwi. Kepala sekolah terlihat sedang membisikan sesuatu ke ketua Magna ini. Setelah itu, ketua langsung mundur dan kepala sekolah mengambil alih pidato kelas khusu ini.
"Selamat pagi para siswa berba-" kata kepala sekolah yang terputus karena terdengar keributan dari luar. Terdengar seperti orang yang sedang bertengkar.
Tiba-tiba pintu ruangan ini yang tadi tertutup mulai terbuka secara paksa. Lebih tepatnya hancur hingga tembok-temboknya. Para murid-murid langsung bersiap melindungi tubuh mereka dari serpihan-serpihan kayu dan kaca dari tembok yang hancur ini.
"SUDAH KUDUGA, KAU MEMBUANG MEREKA YANG KALAH DASAR KEPALA SEKOLAH BAJINGAN!!!" teriak amarah dari balik tembok yang hancur ini. Suara teriakan ini terdengar seperti perempuan.
Kulo yang berada di balik 'slime' buatannya berbicara pada Ava dan Delia. "Sepertinya aku kenal suara ini."
"Kau kenal?" tanya Delia.
"Dia adalah perempuan yang dibawa paksa ke arena ketika kelas XI-3 melawan XI-4. Kalau tidak salah dia anak Pak Dwi," jelas Kulo dengan suara yang pelan.
"Anak Pak Dwi?"
"Oh ya, dia juga berhasil menahan kekuatan Pak Dwi."
"Menahan kekuaan Pak Dwi? Tunggu dulu. Dia bisa menahan kekuatan sekuat guru sadis itu? Tidak heran jika dia anaknya."
Perempuan itu adalah Dien. Dia langsung berlari ke arah kepala sekolah dengan retakan-retakan cermin yang berada di belakangnya yang menahan bambu-bambu Pak Raden. Dia akhirnya sampai di depan kepala sekolah, tetapi serangan dia berhasil di tahan oleh Pak Dwi.
Dien mundur dan berbalik badan ke arah semua murid di ruangan ini. "KALIAN DENGARKAN? MEREKA SEMUA DI BUANG."
"YAAAAA, KAMI SEMUA DENGAR!!!" teriak beberapa dari mereka yang kesal dan marah.
"MARI KITA HANCURKAN KEBIJAKAN INI DENGAN MEMBUNUH KEPALA SEKOLAH INI!!!" teriak Dien sambil mengangkat kedua tangannya.
Mereka yang setuju dengan Dien langsung mengeluarkan Verborum mereka dan langsung menyerang ke arah kepala sekolah. Guru-guru langsung bertindak. Aku mengerti alasan para murid di ruangan ini ada yang kesal dan marah. Beberapa dari mereka ada yang memiliki saudara di kelas yang berbeda, Beberapa dari mereka juga ada yang memilikik kekasih, dan beberapa dari mereka juga ada yang memilik sahabat. Mereka merasa kebijakan ini merendahkan mereka yang kalah karena pada dasarnya merek dibuang seperti barang sekali pakai. Bahkan lebih parah dari barang sekali pakai. Hal yang paling aneh adalah bagaimana Dien tahu bahwa mereka akan dibuang? Sepertinya dia juga tidak bisa berbuat apa-apa meskipun mereka akan dibuang.
"Haruskan kita bantu pemberontak itu atau guru?" tanya Ava dengan suara yang pelan.
"Mending kabur," masukan dari Kulo yang sangat berguna.
"Hmmm, apakah kalian masih ingin kabur dengan keadaan seperti ini," kata Ava sambil menunjuk para anggota Magna yang menjaga pintu masuk.
"Hey kalian," kata Weka ke arah mereka bertiga. Mereka langsung menoleh ke arah Weka. "Mau kabur dari situasi ini?"
"Ya," kata mereka bertiga.
"Ikuti kami. Kau sudah memanggil mereka berdua?" tanya Weka kepada Yursa yang sedang menghubungi Bunga dan Nika.
"Mereka ada di situ," kata Yursa sambil menunjuk kedua tangan yang mengarah ke atas dan turun secara terus-menerus.
"Bagus. Natur!"
"Siap," kata Natur sambil meledakan ruangan ini dengan udara. Untung saja ruangan ini menggunakan 'AC' dan diatur dengan tenaga yang tinggi. Semua orang langsung terkejut, sementara mereka yang mencoba melawan guru ..., hilang? Lupakan itu, Weka dan kawan-kawan langsung terbang menggunakan tanah yang dikendalikan oleh Weka. Setelah mereka sudah sampai keluar, mereka langsung balik lagi ke tempat asal.
"Apa yang terjadi?" kata Ava.
"Entah, mengapa kita balik lagi ya?" tanya Weka.
"Apakah ini kekuatan Bunga?" tanya Yursa.
Sedikit dari mereka tahu bahwa apa yang mereka lihat dan mereka rasakan adalah sesuatu yang dikendalikan di dalam bola kaca Dien. Dien melihat bola kaca ini yang besarnya hanya seperti telapak tangannya, langsung meremas bola ini dengan kencang.
"Matilah kalian," kata Dien dengan nada kebencian sambil meremas bolla kaca ini. Serpihan-serpihan kaca ini mulai berjatuhan dari tangan Dien.
Tiba-tiba seseorang dari belakang berjalan ke arah Dien. "Tolong hentikan," suara laki-laki terdengar sangat tenang.
Dien langsung melihat ke belakang. "Mengapa kau bisa ada di sini?"
"Aku adalah Anti-Verborum. Kekuatanmu tidak berpengaruh padaku," kata Lusia yang perlahan mendekat ke arah Dien.
"Anti apa? Jangan bercanda. Apakah ini kekuatan dari kepala sekolah? Apa kau utusan dari kepala sekolah?" tanya Dien dengan panik yang semakin lama semakin kuat meremas bola kaca tersebut, sementara Lusia semakin dekat dengan dia. "Jangan mendekat."
Lusia langsung memegang tangan Dien yang meremas bola kaca tersebut dengan halus dan pelan. "Tolong hentikan. Di dalam situ ada seseorang yang kau cintai kan?"
Dien langsung menangis. "Tolong menjauh, aku harus melakukan ini," kata Dien sambil menangis dan ragu dengan apa yang dia lakukan saat ini.
"Bicarakan padaku."
"Kau tidak akan mengerti dan akan menganggapku orang gila. Aku tahu respon semua orang akan seperti 'HAH KAU GILA? PERJALANAN WAKTU?' Kau juga pasti sama."
"Baiklah, aku akan membiarkanmu," kata Lusia sambil melepaskan genggaman tanganya dengan perlahan.
Dien melihat bola kaca yang ada di tangannya dan mulai meremasnya, tetapi dia tidak sanggup. Dia tahu perbuatan dia salah. Dia kebingungan dengan apa yang dia lakukan. Dia akhirnya terjatuh berlutut dengan bola kaca di simpan dadanya. Dia terus menangis. Lusia yang melihat ini langsung berjalan ke arah dia dan menepuk kepalanya dengan halus dan pelan.
"Bicaralah jika ingin. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini," kata Lusia kepada Dien di tempat yang seperti kamar ini.