Setelah lulus SMP aku memutuskan untuk bersekolah di SMA ini yang bernama SMA Mabur. Ini adalah SMA Swasta yang terbilang sangat murah. Selain murah juga SMA ini memiliki reputasi yang sangat bagus. Alasan lain aku memilih SMA ini adalah karena ada seseorang yang aku sayangi. Tentunya dia adalah perempuan. Nama dia adalah Djoanna Meli. Dia memiliki badan yang kurus, bermata lumayan lebar, kulitnya berwrna kuning langsat, badan dia pendek, dan dia termasuk murid yang biasa-biasa saja dalam pelajaran. Meskipun dia murid yang biasa-biasa saja, dia pernah masuk sepuluh besar. Dia sebenarnya pintar, tetapi tertutupi oleh kemalasannya. Dia seperti koala. Dia juga tidak memiliki Verborum.
Aku berangkat ke sekolah baruku menggunakan angkutan umum. Aku tidak menggunakan sepeda karena rumahku jauh dan aku juga tidak menggunakan angkutan 'online' atau kendaraan pribadi karena kondisi ekonomi keluargaku. Aku juga mencoba untuk membantu keluargaku dalam mencari uang melalui internet. Aku membuka kursus 'online' tentang memasak. Aku belajar memasak dari Djoanna. Dia telah mengajariku dari kelas satu SMP. Aku dekat dengan dia juga karena aku meminta dia untuk mengajariku memasak. Aku sering memasak di rumahnya karena bahan-bahan masakan di rumah dia sungguh banyak, mengingat keluargaku yang hanya bisa membeli telur, bawang, dan ..., telur.
Sebenarnya ini sudah lima hari semenjak aku masuk sekolah ini, jadi sudah tidak ada lagi ospek-ospek yang tidak jelas. Aku memilih kelas IPS bersama dengan Djoanna yang sangat cocok dengan sifat malas dia. Aku bisa menyebut dia malaikat malas. Aku berada di kelas X V yang diwalikan oleh wali kelas yang ramah. Wali kelas ini bernama Pak Joga. Dia mengajar pelajaran sejarah, khususnya Sejarah Nusantara.
Aku mulai naik tangga menuju lantai dua. Aku berbelok dari tangga tersebut dan berjalan lurus hingga sampai ke kelasku. Di kelas, aku melihat Djoanna yang sedang makan nasi ayam dan dua orang laki-laki yang bernama Andika dan Egiarno. Mereka terlihat tidak saling berbicara. Aku juga tidak terlalu dekat dengan mereka berdua. Di kelas ini aku hanya dekat dengan Djoanna, Rubik, dan Yula. Aku tidak menyangka bisa menemukan teman selain Djoanna.
Aku berjalan ke arah Djoanna. Aku hanya berdiri di belakangnya dan melihat dia makan nasi ayam.
Dia akhirnya sadar bahwa ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Dia kemudian langsung berbalik badan. Dia hanya melambaikan tangannya padaku dengan sendok yang berada di mulutnya.
"Enak?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
"Ehnmnak. Mahmau chmoba?" kata dia yang tidak jelas karena masih mengunyah dan sambil menunjuk makanannya.
"Telen dulu baru ngomong," kataku sambil menyentil sendok yang ada di mulutnya.
"Amhduh," respon dia karena aku sentil.
Dia akhirnya menelan makanannya.
"Selamat pagi."
"Pagi."
Aku kemudian melihat dia mengeluarkan buku dan tempat pensil.
"Ngepain bawa buku?" tanyaku keheranan
"Buat pelajaran pertama. Siap-siap aja dulu," katanya sambil mengambil lagi makanannya.
"Sekarang gak ada pelajaran," kataku sambil keheranan.
"Serius? Emang ada acara apa?" tanya Djoanna dengan ekspresi tidak percaya.
"Ulang tahun sekolah," kataku sambli menahan tawa.
Dia hanya diam sambil membiarkan makanan di mulutnya tanpa dikunyah dan bola matanya yang dia arahkan ke atas seperti sedang berpikir.
"Serius?" tanya dia lagi.
"Serius. Astaga."
Tiba-tiba datanglah Rubik dari pintu masuk kelas. Aku dan Djoanna kebetulan tempat duduknya dekat pintu masuk, jadi aku langsung menoel tangan Rubik.
"Bik, sekarang ulang tahun sekolah kah? Jadi gak ada pelajaran," tanyaku pada dia.
"Ya, emang kenapa? Jangan bilang kamu bawa buku pelajaran?" tanya Rubik sambil menunjukku.
Aku langsung melirik ke arah Djoanna.
"Makanya jangan tidur terus," kata Rubik setelah sadar bahwa Djoanna membawa buku pelajaran sambil menertawai Djoanna.
"Mhamau ghimmana lahmgi. Ahmku ngmmantuk so-"
"Telen dulu," kata aku dan Rubik secara barengan.
Djoanna menelan makanannya. Dia membungkus kembali makanannya yang tersisa setengah dengan plastik. Dia lalu memasukan makanannya ke tas bagian tengah.
"Tidak dihabiskan?" tanya Rubik sambil mengeluarkan ponselnya yang berwarna hijau dari sakunya.
"Buat nanti pulang. Biasanya kan acara gini suka dikasih konsumsi pas jam istirahat," balas Djoanna sambil melihat langit-langit dari jendela kelasnya.
Rubik hanya mengangguk.
"Ngomong-ngomong dimana Yula? Biasanya dia datang paling awal," tanyaku.
"Entah, kuharap dia tidak bolos," kata Rubik sambil memainkan ponselnya. Beberapa detik kemudian Rubik langsung melebarkan matanya seperti mengetahui sesuatu yang baru. "Oh ya, dia sedang berada di toilet. Katanya dia sakit perut."
"Oh iyakah?" tanyaku.
"Iya, dia baru bilang di grup 'Penyembah Toge'."
Aku dan Djoanna langsung mengambil ponsel dan kemudian aku langsung menyalakan internet.
"Oh benar, ponselku internetnya aku matikan, jadi tidak ada notifikasi yang masuk," kata Djoanna.
Kami terus mengobrol hingga bel sekolah berbunyi. Kami mendengar pengumuman dari ruang guru bahwa kita langsung pergi saja ke lapangan olahraga untuk berkumpul di kelasnya masing-masing. Setiap kelas sudah di beri tanda dengan tulisan kelas masing-masing. Kami juga diperkenankan untuk membawa tas dan perlengkapan yang dibawa karena setiap kelas akan dikunci. Kami langsung keluar bersamaan dengan teman-teman sekelas, sementara itu Yula tetap berada di toilet yang entah berada di toilet lantai berapa.
Kami langsung turun ke lantai paling bawah untuk berjalan menuju lapangan olahraga yang berada di belakang sekolah. Ketika ingin keluar, kami langsung berpapasan dengan Yula yang berlari dari toilet dekat parkiran.
"Apa saja yang keluar?" tanya Djoanna.
"Eugh, menjijikan," balas Yula sambil menunjukan muka jijik.
"Oh ya, tasmu mana?" tanyaku.
"Aku tidak bawa apa-apa selain ponsel," balas perempuan keriting ini sambil tersenyum.
"Dasar."
Ketika di perjalanan menuju lapangan olahraga, pandangan Djoanna langsung mengarah ke kanan seperti pada sesuatu. Mungkin kepada seseorang, tetapi aku tidak yakin orang yang mana karena banyak sekali orang pada arah tersebut.
"Kalian duluan saja, aku ada urusan lain," kata Djoanna sambil berjalan dengan cepat ke arah yang dia lihat tadi. Aku ingin melihat dia berbicara dengan siapa, tetapi aku tidak bisa melihat apa-apa karena banyaknya orang.
"Si-silahkan. Cepat juga dia jalan," kata Rubik.
Yula melihat ke arahku. "Apa kau tahu sesuatu, Lusia?"
"Entah, mungkin dia ada urusan dengan guru atau semacamnya," balasku tanpa terlalu memikirkan hal tersebut.
"Yah kau benar juga."
Kami langusng sampai pada tempat lapangan tersebut. Kami mencari-cari tempat kelas kami berada di mana hingga akhirnya Rubik menemukannya di tempat paling tengah. Benar-benar tengah.
"Aaah, tengah. Tempat paling sempit," kata Yula.
"Setidaknya kita bisa tidur tanpa ketahuan," kataku.
"Aku bukan Djoanna."
"Haha."
Beberapa detik setelah kami duduk, aku melihat Djoanna yang sedang mencari-cari kami. Aku langsung berdiri dan melambaikan tanganku. Dia langsung melihat ke arahku dan berjalan. Karena belum semua kelas tiba, jadi laki-laki dan perempuan masih bercampur barisannya.
"Ada urusan apa tadi?" tanyaku.
"Bukan apa-apa, Aku hanya menyapa tetanggaku yang ternyata satu sekolah denganku," jawab dia sambil melihat guru-guru yang berada di depan barisan kelas ini.
"Oh, kukira urusan apa. Baiklah."
Kami mengobrol dan menunggu hingga akhirnya semua kelas tiba. Pemandu acara ini langsung merapihkan setiap barisan kelas dan memisahkan barisan antara perempuan dan laki-laki. Djoanna langsung pindah barisan tanpa berkata apa-apa, sementara Yula dan Rubik saling melambaikan tangan seolah-olah mereka akan berpisah dalam jangka waktu yang panjang. Dalam jangka waktu yang panjang bisa dibilang benar karena acara ini lima jam, tetapi tidak begitu juga.
Aku melihat ke arah kanan di mana teman sekelasku yang bernama Mayu dan Deo sedang bermain dengan kekuatan unik yang ada pada individu-individu tertentu. Nama kekuatan ini adalah Verborum. Mayu membuat cahaya seperti kembang api, tetapi kecil dan tidak mengandung unsur bakar sekalipun. Dia melukis cahaya tersebut sehingga rupanya seperti kelinci, sementara Deo yang membuat kelinci tersebut bergerak.
"Andai aku punya Verborum," kataku.