Aku melihat darah kakakku yang berceceran di lantai. Aku hanya melihatnya. Aku tidak tahu apakah aku sedih, menyesal, marah, atau senang. Aku tidak tahu. Semua perasaan itu bercampur aduk sehingga membuatku bingung. Aku kemudian melihat Ormi dan dua rekannya membawa Kakakku untuk di bawa ke mobil mereka. Dia membawa kakakku di suasana lingkungan rumah yang sepi ini. Tidak ada satupun tetangga yang sadar akan hal ini. Hal yang paling aneh adalah komplek perumahan ini seperti tidak ada yang berpenghuni. Seperti semua rumah kosong. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan.
Aku melihat Ormi berbalik badan.
"Ingat perjanjian kita," kata dia lalu memasuki mobil, sementara salah satu rekan Ormi memasukan kakakku ke dalam bagasi.
Aku hanya melihat mereka pergi begitu saja menggunakan mobil. Aku langsung menuju kamar mandi untuk mengambil kain lap pel untuk membersihkan darah ini. Aku terus membersihkan darah ini hingga hilang dengan perasaan hampa dalam diriku. Aku kemudian menuju ke kamar untuk tidur. Paginya aku bangun dan mencoba melihat ke luar. Aku melihat beberapa tetanggaku ada yang sedang lari pagi, pergi bekerja, dan lain-lain. Setelah melihat ini aku menyadari bahwa Ormi adalah salah satu pengguna kekuatan yang dinamakan Verborum. Aku langsung kembali masuk ke dalam kamar untuk tidur kembali. Aku memutuskan untuk tidak sekolah untuk hari ini.
.
.
.
"Tumben Rubik tidak masuk," kata Djoanna.
"Apakah ini ada hubungannya dengan Yula? Yula juga tumben tidak bergabung dengan kita ketika jam istirahat," balasku sambil melihat Yula yang sedang tertidur di tempat duduknya dengan kepala yang mengarah ke meja dan kedua lengan yang menutup kepalanya.
"Yula? Apa yang terjadi?" tanya Djoanna sambil memakan apel yang dia bawa dari rumah.
"Aku sebenarnya tidak tahu juga. Ketika aku kembali dari rumahmu kemarin, aku hanya melihat Yula keluar dari kamarku sambil menangis. Oh ya, di kamarku sedang ada Rubik."
Dia berhenti sejenak, sementara di mulutnya terdapat apel yang baru saja dia gigit.
"Apa kau tidak bertanya pada Rubik?" tanya dia lagi sambil melanjutkan mengunyah apelnya.
"Aku sudah bertanya, tetapi dia mengelak pertanyaanku. Jadi dia langsung pulang begitu saja."
"Kita biarkan saja. Urusan mereka, kalau ikut campur nanti takutnya terjadi hal yang tidak diinginkan."
"Yah," balasku sambil melihat ke arah luar jendela kelas.
Kami kemudian melanjutkan kegiatan sekolah hingga lima jam lebih dua puluh menit berlalu. Ya, itu adalah jam kami untuk pulang. Aku dan Djoanna bersiap-siap untuk pulang tanpa mengajak Yula. Aku melihat Yula seperti ingin sendiri untuk saat ini, jadi tidak kami ajak. Kami menuruni tangga hingga akhirnya, ketika kami sudah sampai di depan pintu masuk sekolah, kami bertemu dengan seorang laki-laki menggunakan kacamata ungu. Dia melihat ke arah kami atau lebih tepatnya ke arah Djoanna. Kurasa itu adalah kenalan Djoanna.
"Hai Djoanna, kau ada waktu?" tanya laki-laki ini yang badannya kurasa bisa dibilang tinggi. Dia melihat Djoanna yang pendek sedang mengintimidasi.
"Siapa dia?" tanyaku pada Djoanna yang terlihat tidak nyaman dengan keberadaan orang ini.
Dia melihat ke arahku seperti baru tahu bahwa ada aku di sini.
"Oh, namaku .., mau nama lengkap atau panggian?" tanya orang gila ini padaku
"Nama?" tanyaku dengan menatap dia.
Aku dan dia saling bertatapan beberapa detik.
"Ah, baiklah aku kalah. Namaku adalah Ormi Regar. Salam kenal," balas dia sambil menunjukan gestur untuk berkenalan dengan tangannya yang terbukan untukku.
"Namaku Lusia. Lusia Martin. Salam kenal," kataku sambil menjabat tangannya yang terasa bertenaga. Aku yakin dia orang yang bisa bela diri. "Apa kau kenalan Djoanna, seperti saudara atau ..., kenalan?"
"Anggap saja aku-"
Djoanna langsung menarikku sambil berjalan cepat melewati dia.
"Mari kita pualng saja."
Aku mencoba melihat dia yang menundukan dan menyenderkan kepalanya pada lengan kananku. Rambut panjang dia yang tidak diikat menutupi wajahnya. Aku tidak bisa melihat ekspresinya, tetapi aku tahu dia merasa sesak dengan keberadaan dia. Aku langsung berjalan cepat juga.
"JANGAN LUPA!!!" teriak Ormi yang sangat kencang secara tiba-tiba, membuat kaki Djoanna semakin gemetar, sementara orang-orang tidak ada yang terkejut akan suara dia.
Aku mengelus kepala Djoanna sambil berjalan menuju angkutan umum.
"Tenang, ada aku di sini."
Kami akhirnya menaiki angkutan umum. Aku lupa bilang kalau angkutan umum yang selalu aku naiki adalah bus. Aku dan dia memilih tempat duduk di tengah bagian kiri. Dia duduk di dekat jendela dan aku di sebelahnya. Aku tidak mau menanyakan apa-apa pada dia dengan kondisi dia yang sedang terguncang. Aku tidak tahu apa hubungan mereka, tetapi aku merasakan bahwa mereka bukan kenalan yang baik.
Beberapa menit kemudian bus ini berhenti di perhentian dekat rumahku. Aku melihat ke arah Djoanna yang sepertinya tertidur.
"Djoanna. Djoanna," panggilku sambil menusuk pelan pipinya dengan jari telunjukku.
Djoanna langsung terbangun.
"Yah ..., sudah sampai?" tanya dia.
"Sudah. Oh ya, tumben kamu tidak diantar oleh supir?" tanyaku sambil turun dari bus bersamaan dengan dia.
"Ah itu ...," kata dia sambil melihat ke arahku secara perlahan dengan senyuman.
"Astaga," kataku sambil tertawa dan tanganku mengacak-acak rambutnya.
"Tolong hentikan, hahaha."
.
.
.
Ormi memberikan foto Lusia kepada Rubik.
"Jadi ini orang yang kau tidak mau untuk terlibat dalam masalah ini adalah Lusia?" tanya Ormi.
"Iya. Tunggu dulu, apa yang kau lakukan dengannya?" tanya Rubik sambil menaikan suaranya.
"Tenang-tenang, aku hanya bertemu dia bersamaan dengan Djoanna. Aku awalnya ingin mengancam Djoanna, tetapi ada dia, jadinya tidak jadi."
"Perempuan itu!" kata Rubik dengan nada yang semakin kesal.
"Jadi, beritahu aku hubunganmu dengan laki-laki bernama Lusia ini."
"Untuk apa kuberitahu."
"Baiklah akan aku libatkan dia dalam urusan ini."
"JANGAN MACAM-MACAM!"
"Maka dari itu, beritahu aku. Kau tahukan, aku memiliki wewenang paling besar dalam urusan ini. Perjanjian kita adalah untuk tidak melibatkan dia, bukan berarti aku tidak boleh menanyakannya bukan?" kata Ormi yang suaranya semakin menyeramkan seperti dapat meneror Rubik.
Rubik diam sejenak.
"Baiklah, akan aku ceritakan. Keluarga dia dan keluargaku sudah memiliki hubungan sudah sangat lama bahkan sebelum aku lahir. Keluarga dia dulunya adalah keluarga yang makmur. Keluarga dia menganggap keluargaku sebagai saudara hingga mereka berani menyumbangkan uang yang sangat besar untuk pengobatan ibuku yang sudah sakit sejak aku belum lahir. Pada saat yang bersamaan ketika mereka menyumbangkan uang tersebut, salah satu rekan kerja ayah dia atau ayah Lusia ditipu. Keuangan keluarga mereka menjadi hancur. Ibuku yang tahu akan hal ini ingin mengembalikan uang sumbangan tersebut, tetapi keluarga mereka sudah pindah ke tempat yang kami tidak tahu. Karena hal tersebut, keluargaku mencoba untuk menggunakan uang ini sebaik-baiknya. Tetapi, semua uang itu lenyap akibat ayahku yang kabur membawa semua uang tersebut. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi kakakku yang melihat kejadian tersebut, sementara pada saat itu ibuku sedang mengandungku. Ketika aku umur enam tahun, ibuku memberitahu untuk membantu seseorang yang bernama Lusia Martin. Seorang anak yang dari keluarga yang membantu keluargaku."
"Ah, cerita yang menarik. Jadi, itu alasannya. Apa kau tahu dimana keluarga dia?"
"Aku tidak tahu."
"Baiklah, karena ceritamu menarik, jadi aku memiliki alasan untuk tidak melibatkan dia."
"Terima kasih," kata Rubik dengan tenang.
"Tetapi, aku tidak akan diam jika dia terus mengangggu urusan ini," kata Ormi yang langsung menutup telponnya.