Chereads / They All Said / Chapter 13 - Isi

Chapter 13 - Isi

Aku kembali ke rumah untuk pulang tentunya. Aku pulang ke rumah diantar oleh motor yang dikendarai oleh Rubik. Motor dia adalah motor murahan dengan stiker band rock di seluruh badan motornya. Perjalanan dari sekolah ke rumahku hanya memakan waktu dua puluh menit. Sebenarnya aku bisa menggunakan angkutan umum, tetapi ada tumpangan gratis, kenapa harus menolak?

Dua puluh menit kemudian kami sampai di rumahku. Aku lupa bilang kalau rumahku itu adalah apartemen. Rumahku yang asli sangatlah kecil dan jauh dari sekolah. Pada waktu aku ingin sekolah di tempat yang jauh dan ingin tinggal sendiri, orang tuaku pada setuju tanpa ada yang keberatan. Aku juga sebulan sekali mengirim uang ke keluargaku dari hasil kursus 'online'.

Aku dan Rubik naik ke lantai dua untuk menuju kamarku yang bernomor 11. Kamarku tidak terlalu pojok dan tidak terlalu tengah juga. Aku membuka pintu menggunakan kunciku yang baru aku ambil di loker kunci apartemen. Aku masuk ke kamarku bersamaan dengan Rubik. Aku menuju kamar mandi, sedangkan Rubik langsung loncat ke sofa untuk tidur-tiduran dengan seragamnya yang belum dia lepas.

Aku mandi untuk beberapa menit lalu mengikat handuk yang sudah ada di kamar mandi sejak tadi. Aku keluar dari kamar mandi dan masih melihat Rubik sedang tidur-tiduran di sofa sambil memainkan ponselnya.

"Pulang sana," kataku dengan nada datar sambil menyenggol kakinya dengan kakiku.

"Nantilah, malas," kata dia sambil menggulingkan badannya ke arah senderan sofa.

"Hadeuh," ungkapan ekspresiku sambil menuju kamar tidurku untuk ganti baju.

Di dalam kamar tidurku, aku mencari deodoran supaya ketiakku tidak bau. Aku menemukan deodoranku di lemari baju bagian atas dimana itu adalah tempat celanaku. Sekalian aku mengambil celanaku. Aku menggunakan deodoranku di ketiakku. Aku mencari celana dalamku yang ternyata ada di bawah lemari celanaku. Aku memakainya, lalu kemudian memakan celanaku. Aku kemudian meliaht cermin yang besarnya sama seperti tubuhku. Cermin tersebut berada di sebelah lemariku. Aku melihat pantulanku di sana. Badanku sungguh kurus.

"Sepertinya aku harus berolahraga."

Beberapa saat kemudian, aku keluar dari kamar tidurku dengan pakaian yang sudah lengkap. Aku mengenakan baju merah polos dengan huruf 'G" yang sangat besar di tengah. Aku mengenakan celana panjang berwarna coklat tua dengan jahitan abu-abu panjang di pinggirnya.

Di luar aku melihat Rubik yang ketiduran di sofa. Aku langsung membangunkannya. Sebelum membangunkannya aku mengambil kunci yang aku simpan di kamar mandi tadi.

"Bik, Rubik," aku memanggilnya sambil menepuk-nepuk lengannya.

Dia langsung bangun.

"Sudah malam?" tanya Rubik sambil menguap.

"Aku ingin ke rumah Djoanna. Kalau mau tinggal di sini. jangan lupa kunci pintu. Kalau mau ikut juga boleh."

"Ah, aku mau tinggal dulu di sini," balas dia sambil menjulurkan tangannya.

"Oke," kataku sambil memberikan kunci yang baru aku ambil dari kamar mandi.

Aku keluar kamarku dan berpamitan dengan Rubik, lalu menutup pintu. Aku berjalan ke arah lift untuk ke lantai bawah. Aku berjalan keluar dan menuju ke kanan untuk ke rumah Djoanna. Aku berjalan sekitar tujuh menit dari rumahku. Dari kejauhan aku melihat tiga orang dari rumah dia. Tiga orang tersebut adalah orang dewasa. Mungkin teman orang tuanya. Mereka kemudian naik mobil, lalu berjalan kembali ke tempat mereka yang tepat satu arah denganku, membuat kami berpapasan tanpa saling mengenal. Aku hanya berjalan hingga akhirnya sampai di rumah dia. Aku langsung mengetuk pagarnya. Djoanna langsung menoleh ke belakang.

"Halo, Lusia," kata Djoanna yang baru mau masuk ke rumah.

"Lagi ada urusan?" tanyaku. "Kalau ada, aku bisa kembali pulang."

"Eh apa? Ti-tidak-tidak. Tidak apa-apa, silahkan masuk," balas Djoanna seperti orang kebingungan.

"Serius?"

"Iya silahkan masuk," kata dia sambil berjalan ke belakangku dan mendorongku masuk ke rumah dia.

Aku bisa melihat perbedaan yang sangat-sangat kontras dengan apartemenku ataupun rumahku. Sungguh, orang kaya memang beda. Aku melihat ke bawah. Aku baru sadar kalau aku belum melepas sandalku. Aku langsung ke luar dan melepas sandalku, lalu kembali masuk.

"Tadi siapa?" tanyaku kepada Djoanna.

"Siapa?" tanya dia dengan mata yang tidak biasa.

"Tadi aku li ...," aku tahu dia mengerti apa maksudku, tetapi aku merasa dia mencoba menghindari pertanyaanku dengan pertanyaan tadi. Sepertinya dia tidak mau membicarakannya. "Bukan apa-apa. Apa kau sudah memasak makanan untuk makan malam?" tanyaku untuk mengembalikan suasana.

"Tentu saja belum. Aku langsung tidur habis pulang tadi. Masak apa yang enak yah?"

"Mie instan," candaku sambil berjalan ke arah dapur diikuti oleh Djoanna.

"Benar juga. Mumpung aku lagi malas masak," kata dia sambil mengambil panci.

"Aku bercanda loh," kataku.

"Aku serius."

Kami saling bertatapan untuk beberapa detik.

"Baiklah," kataku sambil merobek bungkus mie instan.

"Kurasa pakai udang enak," kata dia sambil tertawa sedikit.

"Aku alergi."

"Oh ya aku lupa. Hahaha,"

Sementara itu.

Ponsel Rubik berdering, ketika dia sedang membaca novel. Dia mengambil ponselnya dan melihat nama yang menelpon dia. Di ponsel dia tertulis nama "Gia". Dia membalas telponnya dengan ragu.

"Halo?" tanya Rubik.

"KAU DIMANA?" tanya sesorang yang bernama Gia ini dengan nada marah.

Rubik tanpa ragu langsung menutup telponnya.

Dia melihat ke atas langit-langit kamar Lusia. "Haah ..., astaga."

Tiba-tiba ponsel dia berdering lagi. Dia melihat ponselnya. Kali ini orang yang berbeda. Di situ hanya tertulis nomornya.

"Dia sedang keluar dan dia ada di rumah dia," kata Rubik.

"Apa masalahnya? Dia orang miskin yang tidak punya kekuatan apa-apa," kata laki-laki misterius dari ponselnya.

"Ingat perjanjiannya, bajingan," kata Rubik dengan nada sedikit kesal.

"Baik-baik, aku hanya bercanda. Telpon aku lagi ketika dia sudah pulang dari rumah dia."

"Tenang saja."

"Haruskah aku turun tangan juga?" tanya Rubik sambil mengeluarkan cahaya merah dari kelima jari kirinya.

"Tidak usah. Ketika di sekolah juga dia sudah sangat ketakutan ketika bertemu denganku," kata dia sambil tertawa.

"Baiklah. Jangan sampai ketahuan dia."

"Maksudmu, orang yang kau lindungi dalam perjanjian di antara kita? Tenang saja. Kami profesional."

"Baiklah," kata dia sambil menutup panggilannya. "Maafkan aku, Djoanna."

Aku tiba-tiba mendengar orang masuk dari pintu masuk kamar Lusia. Aku baru ingat kalau aku belum mengunci pintu. Aku langsung melihat ke arah pintu masuk tersebut. Di sana aku melihat Yula. Dari ekspresinya, terlihat dia mendengar semuanya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya dia dengan wajah yang penuh amarah dan heran.

.

.

,

Memasak mie instan seru juga. Apakah efek dari mie instan atau efek dari Djoanna? Hmmm, kurasa keduanya. Aku penasaran apa yang Rubik lakukan. Aku tebak, pasti dia sedang baca novel romansa. Sebenarnya novel itu adalah punyaku, tetapi aku jarang membacanya dan malah dia yang baca. Kurasa dia suka novel.

Aku akhirnya sampai apartemenku dan langsung menuju kamarku menggunakan lift. Aku melihat orang-orang di lantai ini pada keluar dari kamarnya untuk melihat sesuatu. Aku yang tidak tahu apa-apa langsung menanyakan ke orang yang paling dekat denganku.

"Ada apa?"

"Bukannya kau pemilik kamar itu? Sepertinya ada pertengkaran di kamarmu."

"Pertengkaran?"

Aku langsung berjalan cepat ke arah kamarku. Aku memang melihat Yula tiba-tiba keluar dari kamarku dengan wajah yang memerah seperti sedang marah dan matanya terlihat merah seperti sedang menangis. Aku dan dia berpapasan dan saling bertatapan, tetapi dia langsung pergi melewatiku begitu saja. Aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu kamarku.

"Pertengkaran kekasih atau apa?" tanyaku kepada Rubik yang duduk di sofa sambil menatap ke bawah.

Dia tidak menjawab.

"Rubik?" tanyaku sambil mendekat ke arah dia.

Dia langsung berdiri dan mengambil tasnya.

"Aku pulang dulu. Terima kasih sudah membiarkanku tinggal sementara," pamit dia dan langsung pergi.

"I-iya. Ada apa sih?" kataku sambil melihat kamarku yang tidak berantakan. "Setidaknya mereka tidak bertengkar hingga melempar barang-barangku."