Semua keadaan kembali menjadi semula. Orang-orang yang ada di kelas khusus tadi mulai menghilang, kecuali Kepala Sekolah, Ava, Bunga, Nika, Delia, Kulo, Si Tiga Sinting, dan Si Jagung. Oh ya, ada anak kelas XII yang tertinggal. Nama dia Rael jika kalian ingat. Suasan ini sungguh membuat bingung semua orang termasuk aku.
"Bukannya tadi banyak orang?" tanya Bunga sambil membetulkan bunga yang ada di baju bagian dada kanannya.
"Nanti akan aku jelaskan," kata Lusia sambil menatap Kepala Sekolah yang ketakutan. "Sebelum itu mari kita culik dia," kata dia sambil menunjuk Kepala Sekolah.
Kulo langsung memasukan seluruh badan kepala sekolah ke dalam 'slime' buatan dia yang berwarna abu-abu. "Mau diculik kemana?"
Tiba-tiba suara sobekan sangat keras terdengar dari arah samping kiri. Semua orang melihat ke arah suara tersebut. Ternyata dia adalah Rael anak kelas XII. Dia hanya menggelengkan kepalanya ke arah sobekan itu seperti menyuruh kita untuk menculik kepala sekolah ke sana.
"Bolehkah?" tanya Weka.
Dia hanya mengangguk.
Mereka semua langsung masuk ke dalam robekan tersebut. Ruangan tersebut berwarna merah muda. Sementara itu, Si Jagung dan Rael menunggu di luar. Mereka saling bertatapan.
"Mau jagung?" tawar Si Jagung.
"Boleh," kata Rael sambil mengambil jagung yang ditawarkan tadi. Dia juga mencoba mengingat-ingat berapa orang yang masuk tadi.
Sementara itu, di dalam robekan ini Kepala Sekolah sedang dikerumuni oleh murid-murid. Sitausi ini seperti perundungan, tetapi korbannya adalah guru. Dien mendekat ke arah Kepala Sekolah dengan pecahan cermin di kedua tangannya.
Dia mendekat dan menginjak paha Kepala Sekolah. "Beritahu aku, apakah pemerintah yang memberimu perintah untuk membuang mereka?"
"Ba-bagaimana kau tahu?" tanya Kepala Sekolah dengan ketakutan dan bingung.
"Kau tidak menyangkal, berarti benar. Sekarang, dimana murid-murid tersebut? Aku tahu kau tidak hanya membuang mereka yang gagal di turnamen. Kau membuang yang menurutmu harus dibuang," ancama Dien dengan pecahan cerminnya yang sudah menyentuh leher Kepala Sekolah.
"TUNGGU DULU? Berarti yang tidak datang di kelas khusus tadi merupakan murid-murid yang telah dibuang?" tanya Delia dengan nada sedikit marah.
Kepala Sekolah tidak menjawab.
"KURANG AJAR!!! KEMBALIKAN CEMARA!!!" teriak kesal Delia dengan tangan yang ingin diayunkan kepada Kepala Sekolah, tetapi Kulo dan Ava menahan dia.
"Beritahu aku, dimana kau membuang mereka?" ancam Dien.
Kepala Sekolah meludahi muka Dien. "Aku tidak akan membertitahu apapun. Semua pengguna Verborum harus mati. Kalian itu hanya iblis dengan kulit manusia. Kalian tidak sadar bahwa kaum kalian, kaum pengguna sihir kalian yang bernama Verborum itu telah memakan banyak korban jiwa. Termasuk putriku. PUTRIKU, KAU TAHU ITU? KEMBALIKAN PUTRIKU!!!" balas kepala sekolah dengan mata yang penuh kebencian dan dendam. Jiwanya sudah tertutup dengan apa yang namanya kebaikan. Dia hanya ingin menegakkan keadilan bagi putrinya, tetapi caranya salah.
"Dia gila," kata Yursa.
"Ya, aku setuju," balas Bunga dan Nika secara barengan.
Weka menyentuh pundak Dien. "Permisi, biar aku urus ini. Kurasa dia tidak akan membuka mulut meskipun kau tusuk lehernya."
Dien langsung berpindah tempat.
Weka memegang muka Kepala Sekolah dengan kedua tangannya. Tatapan Weka seperti sedang melahap kesadaran Kepala Sekolah. Kepala Sekolah langsung mencoba melepaskan kedua tangan Weka, tetapi dia tidak tahu bahwa salah satu dari empat sinting termasuk Lusia ini, bukan orang yang normal.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Kepala Sekolah dengan panik.
Weka menatap mata Kepala Sekolah. "Aku akan berhenti jika kau menjawab."
Kepala Sekolah yang ketakutan ini terus berteriak. Dia sudah terpengaruh oleh Verborum Weka. Kepala Sekolah mengingat tentang ketakutan terbesarnya. Sebua ledakan dan putirnya yang meninggal akibat panasnya api dari ledakan tersebut. Kepala Sekolah terus mengingat kejadian ini terus menerus seperti pemutar vidio yang rusak.
"TOLONG BERHENTI!!!" teriak Kepala Sekolah dengan sangat ketakutan dan ngeri. Air mata menetes deras dari matanya. Mulutnya keluar air liur seperti orang keracunan. Keringat dari kepala dan tangannya terus bercucuran.
"Dia sungguh mengerikan," kata Kulo kepada Ava.
"Murid pindahan memang tidak ada yang normal," balas Ava dengan sedikit rasa ngeri akibat melihat perbuatan Weka.
"MEREKA ..., MEREKA ADA DI PUSAT KOTA. DI SANA MEREKA DI TUNGGU OLEH PASUKAN NASIONAL. AKU SU-SUDAH MEMBERITAHU KALIAN, JADI TOLONG BERHENTI!!!"
Weka langsung melepas kedua tangannya. Dia berbalik badan dan melihat ke arah teman-temannya. "Kalian dengar kan?"
"Ya," balas Dien.
"Mari pergi," kata Weka sambil berdiri merapihkan pakaiannya.
Mereka semua berbalik badan untuk kembali ke arah robekan tadi.
"Oh ya, kita tinggalkan saja dia, atau ...," tanya Bunga sambil menunjuk Kepala Sekolah yang mentalnya sudah rusak.
"Tinggalkan saja," kata Delia dengan kesal.
"Owh, baiklah."
Mereka akhirnya keluar. Tidak disangkan mereka disambut oleh beberapa pasukan pemerintah yang bersenjata lengkap, termasuk tank. Apakah para tentara tahu seberapa mengerikan para pengguna Veborum? Sebuah persiapan dan antisipasi yang matang menurutku.
Rael yang menunggu mereka sedang mengangkat tangannya tanda menyerah, begitu juga dengan Si Jagung.
"Jangan bergerak atau kami tembak!" kata salah satu pasukan untuk memberikan peringatan.
Mereka semua langsung mengangkat tangan di hadapan para tentara. Meskipun dihadapkan oleh tentara bersenjata lengkap, tidak ada satupun dari mereka yang ketakutan seolah-olah mereka sudah merasakan sesuatu yang lebih parah dari ini. Kulo ingin bersiap menyerang, tetapi niatnya dia urungkan karena bantuan tentara telah datang. Jumlah mereka begitu banyak hingga mengelilingi ruangan kelas khusus yang bisa dibilang besar ini. Para tentara ada yang menjaga di dalam ruangan dan luar. Seperti yang kujelaskan tadi, para tentara telah mengerumuni tempat ini.
"Sepertinya kita tidak bisa apa-apa," bisik Kulo.
"Banyak banget," balas Weka dengan berbisik.
Dien dan Delia yang tadinya kesal, sekarang malah menjadi semakin kesal karena dia menyelamatkan mereka yang dibuang. Delia dari tadi menggigit bibirnya.
"Para guru pada kemana?" tanya Yursa dengan berbisik
"Jangan berharap pada guru-guru," balas Dien dengan berbisik.
Para tentara mulai mendekat ke arah mereka sambil membawa borgol di tangannya. Kurasa ada lebih dari empat tentaara yang mengarah ke arah kami. Ketika para tentara ini ingin memegang tangan Si Jagung yang dimana posisi dia di paling depan, datang satu burung gagak yang kemudian bertengger di lengan tentara ini.
"Burung siapa ini?" tanya tentara ini sambil mengarahkan senjatanya ke arah kami.
Tiba-tiba muncul tangan-tangan berwarna hitam dan pinggrian yang berwarna merah di tengah-tengah ruangan ini. Tidak ada yang menyadari keberadaan tangan tersebut. Setelah tangan ini muncul, terdengarlah teriakan para gagak yang memenuhi ruangan ini. Bukan hanya ruangan ini, tetapi hingga keluar ruangan. Muncul sebuah hempasan angin berwarna merah yang membuat para tentara-tentara tersebut terpental hingga terbelah badannya. Setelah itu, munculah monster dengan mata berwarna mereah dan tulang yang memanjang dari belakang sikutnya. Tubuhnya berbulu seperti gagak dan bagian punggungnya juga muncul tangan-tangan berwarna hitam seperti awal tadi.
"Wali Kelas?" tanya Lusia.
"Itu kekuatan guru pindahan baru tersebut?" tanya Natur.
"Ya."
"Keren."
Wali Kelas tersebut adalah Bu Eyasi. Dia muncul dari lingkaran yang aneh tersebut. Tangan-tangan hitam tersebut membawa hempasan angin yang mematikan. Ruangan ini pun langsung hancur yang membuat Lusia dan teman-temannya memnafaatkan keadaan ini untuk kabur mencari tempat yang aman. Merak berhasil keluar melalui pintu belakang. Di luar sana dia disambut oleh mayat-mayat tentara yang tercincang dan berceceran. Ada yang kakinya di atap sekolah, ada yang badannya di parkiran, dan lain-lain. Sungguh mengerikan.
"Gi-la. Wali Kelasmu sudah membantai satu tempat ini?" tanya Ava sambil terkejut.
Tiba-tiba muncul Bu Eyasi dalam bentuk monster Verborumnya. "Kalian pulanglah. Para guru akan mengurusi murid-murid yang dibuang."
"Biarkan kami ikut!" kata Delia.
"Ini terlalu berbahaya buat kalian."
"Ta-"
Yursa menutup mulut Delia. "Baik bu."
Bu Eyasi langsung membuat lingkaran dan menghilang menggunakan lingkaran tersebut dengan tangan-tangan yang menarik tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Delia sambil melepas tangan Yursa.
"Mari kita ke sana diam-diam," kata Yursa dengan senyuman licik.
Delia sedikit senang setelah mendengar perkataan Yursa.
"Sebelum itu, bagaimana kau bisa tahu bahwa Kepala Sekolah adalah dalang dibalik semua ini, Dien?" tanya Yursa.
"Aku sudah kembali dari kematian selama sebelas kali. Setiap kehidupan yang aku jalan selalu berbeda. Dari kesebelas kehidupanku ini, semua berakhir dengan tragis ..., dan ayahku selalu jadi korban. Tetapi aku bisa bernafas lega sekarang. Situasi yang harusnya berakhir di sini, mulai berubah dan lanjut. Kurasa ini berkat kalian Si Empat Sinting," kata Dien sambil tersenyum menunjuk mereka berempat.
Semua orang langsung kebingungan dengan perkataan Dien.
"Lupakan, tujuan kita sekarang adalah Pusat Kota," kata Dien sambil menepuk pundak Lusia.
"Jadi, bagaimana kita ke sana tanpa ketahuan para guru? Aku merasa para guru mulai ke Pusat Kota," kata Kulo.
Tiba-tiba datang Rael dan Si Jagung. "Ada aku."
"Verborummu semacam portal atau sejenisnya?" tanya Kulo.
Rael langsung merobek tubuhnya sehingga muncul sebuah portal yang memperlihatkan patung yang ada di Pusat Kota. "Bisa dibilang begitu. Sekarang, masuklah."
"Terima kasih atas tumpangannya."
Mereka akhirnya masuk ke tempat robekan tersebut. Mereka keluar dan sampai di Pusat Kota. Mereka melihat sebuah suasana yang sangat-teramat parah. Pusat Kota sudah seperti medan perang. Suara tembakan dimana-mana, begitu juga dengan ledakan.
"Pusat kota bukannya terkenal dengan tempat berjualannya kan?" tanya Natur.
"Ya, aku, Delia, dan Cemara terakhir kali ke sini untuk bermain permainan papan dan memakan bubur."
"Bagaimana tumpanganku?" kata seseorang dari belakang mereka.
Mereka langsung terkejut.
"Kau perempuan yang tadi?" tanya Nika.
"Sebenarnya yang di sekolah tadi adalah kloningan jagung buatan dia."
"Hola," kata Si Jagung.
"Verborum meman aneh," kata Weka yang Verborumnya juga aneh.
"Jadi apa rencana kita?" tanya Bunga. "Tidak mungkin langsung terobos kan."
Tiba-tiba kepala melayang dari depan mereka. Mereka langsung menghindar. Kepala tersebut seperti kepala tentara dan yang lebih mengerikannya adalah kepala tersebut terlempar sangat kencang.
"Kurasa ancaman kita bukan para tentara, tetapi mereka," kata Natur sambil menunjuk orang-orang yang datang dari arah sana.
Ava melihat ke sana dengan seksama. "Bukannya mereka murid-murid dari sekolah kita?"
"Benar juga," kata Yursa.
Sementara itu, Dien yang tadinya sedikit gembira dan senang karena bisa menghentikan kejadian yang pernah dia rasakan di kehidupan selanjutnya, tiba-tiba langsung redup dalam sekejap. Peristiwa dan kejadian ini sungguh berbeda dari kehidupan sebelumnya. Di kehidupan ini dia tidak mencoba usaha apapun dalam mengubah hidupnya. Bahkan dia sudah pasrah sebelumnya. Dia terus berdiam mengabaikan panggilan teman-temannya. Badan dia langsung lemas karena terlalu banyak berpikir dan terjatuh. Lusia terpaksa harus membawa badannya. Dien sadar dari kejadian ini bahwa kekuatan yang dia pakai akan ada efek sampingnya. Ya benar, ini adalah efek samping yang dia rasakan. Sebuah kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia juga sadar sebelumnya setelah melihat Yursa, Lusia, dan Weka. Bahkan guru pindahan tersebut. Pengetahuan dia tentang kehidupan dia saat ini sudah terpenuhi sehingga dia tahu akan semua hal, tetapi itu saja tidak cukup untuk mencegah kisah tragis ini.
Mereka akhirnya menemukan tempat persembunyian.
"Entah mengapa mereka sangat bermusuhan dengan kita?" tanya Yursa.
"Aku tidak tahu," balas Kulo.
"Hancurkan. Harus hancurkan," kata Dien dengan suara pelan.
"Hancurkan apa?" tanya Ava.
"Telur kaca itu."
"Telur kaca?" tanya Ava yang semakin kebingungan.
"Bentar-bentar. Tolong jelaskan situasi ini. Kurasa ini harus dijelaskan kepada kami semua," kata Kulo.
"Aku akan menjelaskannya," kata Lusia. "Pada waktu kalian berada di ruangan kelas khusus itu, Dien memasukan kalian ke dalam sebuah bola cermin yang sudah dia siapkan sebelumnya. Itulah mengapa ada beberapa orang yang menghilang dari ruangan tersebut. Dien bisa mengendalikan semua itu. Dan terakhir jika cermin itu hancur maka kalian semua yang di dalam situ akan mati," jelas Lusia.
Natur, Yursa, dan Weka langsung terkejut karena mereka pertama kali melihat Lusia berbicara sebanyak satu paragraf.
"Kau berniat membunuh kami?" tanya Ava. dengan nada marah.
Dien hanya terdiam.
"Maafkan saja dia. Dia kebingunan untuk mencegah kejadian tragis ini," kata Natur.
"Maafkan begitu saja? Dia mencoba membunuh kami. Apa dia sudah gila? Mengapa tidak membicarakannya dengan kami," kata Ava dengan sangat marah kepada Dien.
"Maaf."
"Oh ya, aku belum menjelaskan tentang yang satu ini. Dia sudah hidup dan mati sebelas kali. Jadi dia tahu apa yang terjadi. Jika dia mati, maka dia akan kembali kepada telur kaca yang sudah dia simpan," jelas Lusia kembali,
"Aku kurang mengerti, tetapi telur kaca yang dia maksud berada dimana?" tanya Kulo.
Dien tidak menjawab.
"Dien? Dimana telur kaca itu?"
Mereka hanya melihat ke arah Dien.
"Tempat ini. Dunia yang kalian tinggali ini adalah telur kaca itu."
"Tunggu dulu, berarti kau ingin membunuh kami semua?" tanya Ava yang semakin marah sehingga dia hampir mencekik Dien.
"Tenang dulu," kata Kulo sambil menarik tubuh Ava.
Dien menarik nafasnya untuk menenangkan dirinya. "Itu tidak akan membunuh kalian."
"Syukurlah," kata mereka semua dengan lega.
"Tetapi, semua akan terulang. Telur tersebut tidak akan bisa dibuat lagi dan aku tidak akan bisa hidup lagi jika mati."
"Aaah, aku mulai mengerti. Jadi kau tidak memecahkan telur ini karena kau inign mengubah sesuatu, tetapi hasilnya menjadi tidak terkendali setelah kau menggunakan kekautan telur kaca ini?" kata Yursa yang dari tadi berpikir keras.
Dien langsung tersenyum. "Kurasa kau bisa menjadi pintar pada saat-saat yang dibutuhkan."
"Baiklah mari kita pecahkan ..., bagaimana cara memecahkannya?" tanya Yursa.
"Bunuh aku," kata Dien dengan wajah yang lega.
"Bukannya kau akan hidup kembali dan APA MAKSUDMU DENGAN MEMBUNUNHMU?" tanya Weka dengan sedikit marah.
"Selama aku mati dan tidak menggunakan kekuatan telur itu, maka telur itu akan pecah dan aku bebas dari dunia ini."
Mereka tidak percaya bahwa perkataan tersebut bisa keluar dari mulut seorang perempuan remaja SMA. Meskipun murid-murid ini telah melihat mayat-mayat di sekolah tadi, mereka tetap tidak bisa membunuh teman mereka. Mereka saling menatap karena sangat berat membunuh teman mereka, tetapi Weka berbeda. Dia tidak merasakan apa-apa seolah-olah dia pernah membunuh seseorang yang dia cintai.
"Biar aku saja," kata Weka.
"Kau yakin?" tanya Natur.
"Ya," Weka melihat ke arah Dien. "Kau siap?"
"Ya," jawab Dien dengan lega.
"Tunggu! Ambil jagung ini," kata Si Jagung.
Dien mengambil jagung tersebut. "Terima kasih. Terima kasih kepada kalian juga yang telah menemaniku."
"Ingatlah kami di alam sana," kata Yursa dengan bercanda yang membuat dirinya dipukul oleh Delia.
"Kau memang lucu."
Weka langsung menusuk ke arah dada Dien tepat di jantungnya dengan tangan kosongya. Dara keluar dari mulut Dien. Bola matanya yang berubah menjadi putih pertanda dia sudah mati. Weka langsung menutup matanya.
"Tidurlah dengan tenang."
Tiba-tiba tatapanku menjadi retak. Tak lama kemudian menjadi pecah. Dunia yang mereka tempati mulai pecah tidak berbekas apa-apa. Hanya kehampaan yang ada di situ. Kehampaan ini berubah menjadi sebuah pemandangan yang tidak asing. Dien di situ terbangun.
"Mentari? Sepertinya aku kenal," kata Dien sambil memegang kepalanya yang sedikit pusing.
Tiba-tiba dari belakang terasa dua orang merangkul kepalanya.
"Selamat datang Dewi Kaca," kata Yursa dan Weka secara barengan.
Dari balik pagar sekolah ini munculah Lusia, Ava, Kulo, Delia, Rael, Si Jagung, Natur, Bunga, Nika, dan satu tambahan lagi yaitu Cemara. Mereka semua tersenyum ke arah Dien. Dien kakinya langsung lemas karena bahagia. Dia berlutut dan menangis dengan air mata kebahagiaan yang mengalir.
Tiba-tiba Cemara berlari dan memeluk Dien. "Aku sudah mendengar cerita dari Delia. Terima kasih," sambil sedikit menangis.
"Sungguh menyentuh melihat Cemara bicara," kata Delia.
"Benar juga dia jarang berbicara."
"Akhirnya kita bisa bersekolah dengan tenang," kata Kulo sambil merenggangkan tangannya.
"Ya"
Bel sekolah pun berbunyi.
"Oh ya, tidak ada yang tahu tentang kejadian ini. Hanya kami bertiga belas yang tahu," kata Lusia kepada Dien sambil menutup mulutnya sendiri dengan jari telunjuk.
"Akan kurahasiakan," kata Dien sambil menirukan Lusia.
Mereka semua akhirnya masuk ke sekolah.
Cerita mengenai mereka telah tamat.