Chereads / They All Said / Chapter 8 - Apakah Kita Pemeran Utama di Sini?

Chapter 8 - Apakah Kita Pemeran Utama di Sini?

Dien mendengar suara dari sebelah kasurnya yang tertutup oleh tirai. Dia sadar dan langsung mendekatkan telinganya dengan perlahan ke arah tirai yang ada di sebelah kanannya. Karena semakin penasaran, dia mencoba untuk mengintip siapa yang ada di situ. Dia melihat guru yang sedang membawa dua anak laki-laki di pundaknya. Dia langsung kembali ke posisi tidur.

"Kamu sedang bolos kan? Tolong bantu ibu taruh anak ini di kasur mu," kata guru ini tanpa kesan marah.

Dien langsung membuka tirai dan menunjukan dirinya dengan gugup. "I-iya bu."

"Taruh dia di kasurmu."

Dien langsung merangkul Lusia yang tidak sadarkan diri ke kasurnya. "Berat sekali nih anak," kata dia sambil menampar pipinya dengan pelan.

"Jangan ditampar," kata guru ini sambil menaruh Wage di kasur sebelah Lusia.

Dien yang merasa tidak enak memutuskan untuk keluar UKS. "Selamat pagi menjelang siang, bu," kata dia sambil keluar dan dengan waktu bersamaan datang Natur yang sedang membawa dua orang di pundaknya.

"Ah, si pembolos. Apa kabar? Tolong permisi dulu ini darurat," kata Natur yang langsung masuk.

"Baik ..., kurasa," kata Dien sambil keluar. Dia kemudian berhenti di depan ruangan dan melihat kembali ke dalam. "Apakah ini pertanda bagus? Semua berubah drastis dari sebelumnya," kata Dien sambil berbicara tanpa di dengar orang lain. "Kemengan XI-3 dan XI-1 memang tidak terduga, haha," kata dia sambil berjalan menjauhi UKS dengan senyuman seperti dia baru saja mendapatkan Nirvana.

Sementara itu, kelas XI-6 melawan XI-5 dan XI-7. Yursa dan Weka langsung terkejut mendengar undian ini. Sebelum ke arena, mereka dihampiri oleh seseorang yang kurasa dari kelas mereka sendiri.

"Badan kekar sialan itu mengambil pintu kamarku," kata dia sambil jongkok dipundak Yursa.

"Anak siapa nih?" kata Yursa dengan kebingungan tanpa ada niatan mengusir anak itu dari pundaknya.

"Dan pintu kamarku juga," kata satu orang lagi yang muncul dari sela-sela kaki Yursa.

"Hei-Hei, bisakah kalian muncul di salah satu bagian tubuh dia? Tidak adil sekali kalian. Lagian, KALIAN SIAPA?" tanya Yursa dengan kesal dan kebingungan.

"Perkenalkan namaku Bunga," kata laki-laki dengan taxido dan bunga terompet berwarna ungu di sisi kanan bajunya ini sambil meloncat dari pundak Yursa ke samping Weka.. Bunga itu berbahaya kan?

"Dan aku Nika," kata laki-laki dengan topeng 'phantom' berwarna perak yang menutupi setengah mukanya ini sambil keluar dari sela-sela kaki Yursa menuju samping kiri Yursa.

"Nama kalian seperti perempuan," tanya Weka dengan polosnya.

Nika dan Bunga saling menatap satu sama lain melewati dua orang ini selama beberapa detik. "Ada cerita tragis dibaliknya."

"Ah, maaf sudah bertanya," permintaan maaf Weka yang merasa cukup menyesal telah menanyakan itu.

Tibat-tiba tubuh mereka hilang dan tahu-tahu sudah berada di atas arena. Arena yang mereka tempati berubah menjadi sebuah arena yang penuh dengan bencana alam. Rekan-rekan mereka sudah mulai datang begitupun dengan lawannya juga.

"Tunggu dulu mereka cuman berempat?" tanya Yursa sambil menunjuk lawan mereka.

"Tetapi mereka dari dua kelas yang berbeda," jelas Bunga.

"Cukup ..., adil kurasa. Ngomong-ngomong tempat ini adalah surga buat Natur," kata Yursa sambil melingkarkan jarinya ke arah rambutnya seperti sebuah mangkuk.

"Siapa dia?" tanya Nika.

"Seseorang yang terlihat seperti kutu buku, tetapi bisa membuat hujan 'in-door'," jawab Weka sambil memakan 'pocky'nya yang baru.

"Ah dia."

Bola api telah ditembakan ke langit, pertanda pertarungan telah dimulai. Rekan kami semua telah maju, kecuali kami berempat. Weka mencoba mencegah si kembar ini untuk tidak maju mengikuti mereka.

Yursa melihat ke arah Weka yang sedang mencegah si kembar ini. "Sepertinya aku merasakan 'deja vu'," kata Yursa sambil melihat rekan-rekannya terkena ombak tsunami yang menyeret mereka keluar arena dengan instan. "Tuh kan 'deja vu', bedanya ini gara-gara situasi arena."

"Apa kau mengerti apa artinya 'deja vu'?" tanya Weka.

"Sesuatu yang pernah dirasakan, tetapi baru dirasakan sekarang?" tanya Yursa dengan ragu.

Bunga dan Nika melihat seseorang membawa seperti dua pintu kamar di masing-masing lengannya. "Ah, itu dia si maling pintu kamar," kata mereka secara barengan.

"Ada yang mau lawan dia?" tanya Yursa sementara si maling pintu kamar tersebut berlari ke arah kami seperti banteng kelaparan.

"Mau mengundi?" kata Weka.

"Sepertinya 'gacha' lawan terlebih dahulu menarik. Mau ikut, kak?" tanya Bunga ke Nika.

"KALIAN GILA?" tanya dia sambil teriak kesal dan kebingungan.

"Santai saja. Masih jauh juga dia."

Nika hanya menepuk mukanya seperti tidak percaya apa yang dia lihat.

"Jadi, mau kita undi menggunakan apa?" tanya Bunga.

"Bentar," kata Weka sambil mengkorek-korek saku baju sekolahnya. "Ini dia," kata dia sambil mengeluarkan pensil yang ditutupi oleh tisu sehingga warnanya tidak terlihat.

"Menarik. Unik juga," kata Yursa.

"Jadi, kita harus membuka tisu ini?" tanya Nika yang tiba-tiba ikutan undian ini.

"Ya, jadi ada empa warna. Ungu, coklat, merah, dan biru. Ungu berarti harus melawan si maling pintu itu, coklat berarti harus melawan perempuan yang memakai kebaya, merah berarti harus melawan laki-laki yang kurus kering itu, dan biru berarti harus melawan perempuan yang membawa patung di punggungnya."

"Baik aku ambil pertama," kata Nika sambil mengambil salah satu pensil tersebut. "Semoga dapat si maling pintu," kata dia sambil membuka tisu. "Sial aku mendapat warna coklat. Coklat aku melawan siapa tadi?" kata dia sambil melihat-lihat ke arah lawan.

"Perempuan dengan kebaya," kata Weka.

"Astaga. Lagian kenapa dia mengenakan kebaya? Baiklah aku akan ke sana," kata dia sambil memikirkan cara menghindari si maling pintu ini. "Dia semakin dekat," kata dia kepada mereka, tetapi tidak ada yang mendengarkan. "Setidaknya balas, HEY!"

Yursa menarik salah satu pensil yang berada di tengah. "Warna ungu, mantap nih," kata dia sambil mengeluarkan rusa berwarna hitam ke arah si maling pintu tersebut. Rusa tersebut saling beradu kekuatan dengan si maling pintu tersebut. "Silahkan maju tuan Nika," kata dia dengan senyum yang menghina.

"Astaga," kata dia sambil berlari ke arah perempuan kebaya tersebut, tetapi tiba-tiba muncul sesuatu seperti tulang ke arah Nika. "Ada yang bisa bantu?"

"Bentar kita belum mengundi," kata Bunga.

"Astaga. Lupakan undian itu," kata Nika.

Bunga mengambil pensil yang ada di sebelah kiri. "Warna biru ya? Menarik juga lawanku."

"Bagus, bantu aku," kata Nika sambil menghindari tulang-tulang yang berterbangan.

"Maaf kak, aku dapat warna biru," kata Bunga dengan santainya berjalan ke arah si perempuan pembawa patung itu berada.

"Astaga," kata Nika dengan anda pasrah. "Kau, bantu aku!"

"Aku belum membuka pensil ini," kata Weka sambil menarik satu pensil tersebut.

"CEPATLAH!"

Weka menarik tisu pensil ini. "Warna abu-abu."

"Bagus, bantu aku sekarang!"

"Aku tidak menentukan warna abu-abu. Aku menentukan warna merah kan? Selamat satu lawan dua. Aku mau tidur-tiduran dulu," kata Weka sambil menguap dan menidurkan badannya.

"Bajingan."

Bunga dari tadi berjalan santai ke arah perempuan ini, meskipun dia dari tadi terkena magma dari gunung berapi dan tsunami. Semua itu bisa dia tangkal dengan Verborumnya. Dia akhirnya sampai di hadapan perempuan pembawa patung ini. Perempuan ini langsung melepaskan pengikat yang mengikat patung ini dengan punggungnya. Patung tersebut tingginya langsung bertambah.

"Apakah patung ini akan bergerak dan mulai menginjak-injak badanku?" tanya dia kepada perempuan ini sambil menunjuk patung tersebut.

"Tidak," kata perempuan ini sementara seluruh badan patung ini terbuka. Patung tersebut mengeluarkan kerangka manusia raksasa dengan api berwarna ungu di sekitarnya yang perlahan berganti menjadi warna hijau, ungu, dan gitu terus secara bergantian. Kerangka ini mulai mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.

"Apakah akan mengeluarkan laser," kerangka tersebut mengeluarkan api yang memanjang hingga kebelakang Bunga. "Kurasa tidak," kata dia sambil menghindar ke samping kanan, sementara api tersebut langsung berubah menjadi laser yang mengarah ke samping kiri dan kanan. "Kurasa ya."

Dari kejauhan Yursa berteriak. "LIAT-LIAT HEY," kata Yursa sambil menghindari laser kerangka tersebut.

Sementara itu, Nika melawan si laki-laki kurus kering pengendali tulang. Dia berhasil membelokan semua serangan pengendali tulang ini karena itulah Verborum dia, hingga akhirnya muncul pasukan yang berwarna emas dengan tombak dan perisai dari atas yang mengunci pergerakan Nika. Emasnya sangat terang.

"Sialan, aku tidak melihat ini datang," kata dia dengan dua pasukan yang menginjak badan dia dan kedua tombak yang menyilangkan lehernya. Dia langsung tidak sadarkan dia. Tiba-tiba pasukan emas yang ada di sebelah kanan menebas pasukan yang ada di sebelah kiri dan menangkis tulang-tulang yang menuju ke arah Nika. Pasukan tersebut langsung menusuk dirinya sendiri. Nika langsung terbangun dan membersihkan baju dengan tangannya. "Verborumku tidak jelas kan?"

"Tetapi kita menang dalam jumlah," kata si pria kurus kering ini. Si pria ini langsung maju ke arah Nika untuk membuat pertarungan menjadi jarak dekat. Nika yang melihat senjata pasukan emas tersebut tidak hilang, langsung mengambil tombak tersebut. Dari daerah rusuk pria kurus ini mulai keluar tulang yang terlihat keras dan tajam. Nika langsung membelokannya dengan tombaknya, tetapi badan berwarna emas yang persis seperti pria ini muncul dari belakang badan pria ini. Nika langsung pingsan, tetapi badan emas ini malah menyerang pria kurus ini.

Nika kembali bangun dari badannya yang pingsan. "Rekanmu gila atau apa? Masa teman sendiri diserang," kata dia untuk mencoba mengadu domba mereka.

"Aku tahu ini Verborummu," kata dia dengan luka di lengannya.

"Sial. Kalian solid juga tidak kayak DIA," kata dia sambil menunjuk Weka yang sedang tidur-tiduran sambil makan 'pocky'. Serius, dia beli berapa bungkus 'pocky'?

Tiba-tiba laser dari kerangka tersebut mulai mengarah ke Nika. Nika dengan cepat langsung membelokan laser tersebut ke arah perempuan kebaya ini. Perempuan ini langsung membuat lima pasukan yang melindungi tubuhnya, tetapi laser ini terlalu kuat sehingga membelah pasukan tersebut.

"Aku tidak menyangka sekuat itu," kata Nika sementara perempuan kebaya tersebut tidak sadarkan diri. "Ini baru adil, satu lawan satu."

Sementara itu, Weka memperhatikan perempuan kebaya yang tidak sadarkan diri ini. Dia curiga karena tubuh dia membelakangi dia dan teman-temannya. Dia langsung waspada. Dia merasakan ada yang aneh. Dia langsung berdiri dengan cepat dan memindahkan tubuhnya ke arah perempuan tersebut.

Dia melihat ke perempuan tersebut sambil menutup mulutnya. "Ketahuan."

"LINDUNGI LINDA!" kata si maling pintu.

"Linda?" tanya Yursa.

Bunga melihat ke arah Weka berada. "Sejak kapan dia berada di situ?" tanya dia sementara badannya melayang akibat di tendang oleh kerangka raksasa tersebut.

Semua musuh mulai mengarah ke arah Weka. Mulai dari laser, tulang, hingga piring. Serius, kenapa ada piring terbang di situ. Weka hanya melihat ke arah mereka, sementara tangan kirinya menutup mulut perempuan kebaya ini. Kurasa nama dia Linda.

"Haruskah kita melindungi dia?" tanya Yursa sambil berjalan ke arah Bunga yang habis terpental dan mendarat di mana Weka bersantai tadi. "Sejujurnya aku malas berlari."

"Aku juga, kurasa kita diam saja," kata Bunga sambil memegang tangan Yursa yang sedang membatunya berdiri.

"Kalian gila?"

"Kita lihat saja Verborum dia," kata Yursa sambil mengambil 'pocky' yang Weka tinggalkan.

"Terjebak kau," kata si pria kurus ini.

"Akulah horor dan teror dunia ini," rapal frasa Weka. Tiba-tiba mereka semua berhenti secara perlahan, berlutut, dan menutup kepala mereka. Mereka semua berteriak apalagi Linda yang mulutnya berbusa dan matanya yang telrihat sangat 'shock' hingga membuat bagian putih matanya saja.

"Apa yang terjadi? Kenapa mereka semua berteriak?" tanya Nika.

"Sejujurnya, dari segi manapun kita pasti menang. Mereka semua berasal dari dua kelas yang berbeda, jadi kerja samanya kacau," kata Yursa.

"Kita juga tidak pernah latihan bersama. Apa bedanya dengan kita?" tanya Bunga.

"Kita memiliki 'chemistry'," kata Yursa sambil memakan 'pocky'.

"Masuk akal," balas Bunga.

"Jadi harus kita apakan mereka?" tanya Nika.

"Mau mengundi lagi?" tanya Bunga.

"CUKUP dengan undian itu," balas Nika dengan kesal dan pasrah.

Sementara itu, Weka membawa mereka satu persatu ke ujung arena dan dideretkan. Satu persatu mulai dia tendang keluar arena. Weka melihat ke arah teman-temannya sambil mengacungi jempol.

"Dia ..., berada di level yang berbeda dari kita," kata Bunga.

"Dia siapa sih?" tanya Nika dan Yursa secara bersamaan, sementara Weka berjalan kembali ke tempat mereka berada. Ketika di tengah arena Weka dihadang oleh guru perempuan dengan lengan yang kekar.

"Selamat siang, kurasa," kata Weka sambil membungkuk melhat perempuan di pundaknya. Weka merasa familiar dengan perempuan yang ada di pundak guru tersebut.

"Dia sedang membolos, jadi aku mencoba memaksa dia ikut turnamen. Kalian belum menang," kata guru tersebut dengan tatapan sinis sambil menurunkan perempuan tersebut.

"Dien?" tanya Yursa sambil berlari ke arah dia. "Kurasa kau tertangkap basah."

Dien hanya berdiri dan melihat guru tersebut hingga ke semua penonton.

Yursa yang nada asalnya senang langsung berubah ke nada keraguan. "Dien?"

Nika mengangkat tangan. "Kurasa ini tidak adil, empat lawan lima."

"Kalian juga tadi sebelas lawan empat. Apa yang tidak adil?" kata guru tersebut dengan tatapan yang semakin sinis.

"Itu kasus yang berbeda. Mereka semua sampah," kata Weka dengan polos. Mereka semua melihat ke arah Weka dengan kaget, sementara Natur yang baru kembali malah menyoraki dia. "Apa yang salah?" tanya Weka tanpa memikirkan kembali ucapannya.

Guru tersebut langsung menyerang ke arah Weka, tetapi berhasil di tahan oleh mulut buaya berwarna hitam yang dibuat oleh Yursa. "Aku baru melihat guru yang langsung melakukan fisik seperti ini," kata Yursa yang nadanya langsung berubah drastis menjadi marah.

"Aturan di tempat ini berbeda dengan tempat lain," kata guru ini sambil menarik kembali tangannya yang berdarah.

"Andai saja guru lain tidak menonton di rumah," kata Yursa dengan tatapan yang dingin.

Tiba-tiba muncul sebuah lingkaran hitam dari tanah. Dari lingkaran hitam tersebut munculah Pak Dwi. Guru ini langsung berhadapan dengan guru kekar ini.

"Maafkan anak saya yang membuat masalah ini," kata dia sambil menunjuk Dien, sementara Dien sudah berada di ujung arena tanpa disadari semua orang. "Kamu, sini ikut bapak!" kata Pak Dwi sambil mengeluarkan sebuah tangan hitam dari tangannya.

Dien langsung mengeluarkan sebuah pecahan-pecahan cermin dari atas yang jatuh kebawah untuk memotong tangan hitam tersebut. Dia berhenti sejenak dan berbalik kebelakang. Melihat mereka dengan tatapan sedih. Dia langsung kembali berbalik badan dan hilang seperti dilahap oleh retakan-retakan cermin.

"Kak, aku baru merasakan drama turnamen seperti ini," bisik Bunga kepada Nika.

"Hadeuh."