Cinta adalah yang keindahannya yang tak'kan pernah luntur oleh waktu, dongeng tentang tragedi cinta memang masih membekas namun siapa yang mampu menghindari kehangatan rindu yang sanggup membakar hati yang selama ini tersegel dan membeku
***
Yang ku lakukan pertama kali tentu saja menghapus airmata ku. Aku tidak ingin terlihat konyol di hadapan cowok ini. Beberapa kali mata ku berkedip secara otomatis karena cowok ini tampak lahap menikmati nasi goreng yang sama sekali tidak disentuh oleh papa. Tanpa malu. Tanpa rasa risih. Tanpa rasa segan. Aku baru tahu ada spesies manusia yang semacam ini.
"Lanjut saja kak. Saya cuma sebentar." Kata cowok itu tenang kemudian lanjut menghabiskan nasi goreng milik papa yang ada di atas meja.
Wait! Aku yang konyol atau cowok itu yang gila? Saat ini aku masih berusaha untuk mengumpulkan kesadaran setelah papa datang menciptakan badai di kepalaku. Mengapa hari ini menjadi begitu aneh bagiku? Ada apa ini?!
"Kamu-" Aku baru saja ingin berbicara namun ia telah memotong kata-kataku.
"Aku taruhan sama teman ku." Ucapnya dengan santai.
"Heh?"
"Iya. Aku janji gak akan merugikan kakak kok." Katanya lagi.
"Heh?"
Jujur saja aku terkejut dengan perkataannya. Taruhan apa? Lalu dari mana dia tahu kalau hal ini tidak akan merugikanku? Aku tidak mengerti dan tak lama setelah itu ku lihat seorang pria menghampiri kami dengan senyuman, menyerahkan dua lembar tiket pada spesies yang ada di hadapanku ini.
"Ini tiket konsernya." Kata pria itu pada spesies yang telah menghabiskan nasi goreng papa tanpa tersisa sedikitpun.
"Thank you, Bro."
What?! Aku sekarang mengerti. Aku telah dijadikan bahan taruhan demi dua tiket konser dan spesies yang tak tahu malu ini berdiri dengan setelah menghabiskan nasi goreng dan segelas teh hangat yang seharusnya dinikmati oleh papa.
"Thank you juga, Kak." Kemudian spesies itu berlalu dengan senyumnya yang sumringah.
Pria yang memberinya tiket masih ada di hadapan ku. Rambutnya yang panjang dan tebal miliknya hampir memenuhi seluruh wajahnya dan entah mengapa matanya yang cokelat itu terasa tak asing bagi ku. Pria itu tertawa keras tanpa tahu malu sama seperti temannya tadi namun dengan porsi tak tahu malu yang agak sedikit berbeda. Aku tidak tahu siapa yang lebih parah di antara keduanya.
"Saya gak kenal kamu. Ngapain kamu bawa-bawa saya buat dijadiin bahan taruhan?!"Jujur saja aku merasa sangat kesal, namun reaksi pria itu yang hanya tertawa membuatku semakin meradang. Pria tinggi itu menatap ku dalam jarak yang sangat dekat. Mata kami bertemu. Mengapa kehadirannya menciptakan suasana yang aneh di antara kami berdua? Seolah pertengkaran semacam ini bukanlah hal yang aneh.
"I am your first." Bisiknya lembut di telinga ku namun jujur saja hal itu membuat ku merinding. Suaranya berat namun terkesan lembut. Perpaduan yang sempurna.
My first? Maksudnya? Aku mencoba mengingat sesuatu tentang sosok preman yang ada di hadapanku ini namun aku tidak dapat mengingat apapun tentang sosoknya yang urakan. Aku merasa sangat yakin bila aku tidak pernah berurusan dengan preman atau semacamnya.
Ponsel ku kembali berbunyi. Ku lihat di layar ponsel dan di sana terpampang jelas kalau Mama yang menelpon ku.
"Halo, Ma."
"Ruby katanya kamu pulang."
"Belum Ma. Habis ini langsung ini langsung pulang kok, Ma."
"Sekarang kamu dimana?" Tanya mama cemas.
Aku tidak tahu apakah aku harus mengatakan kalau aku bertemu papa atau tidak. Apa aku juga harus bilang kalau papa mengajak ku tinggal bersamanya? Kalau aku tidak mengatakan apapun pada mama, entah mengapa aku merasa seperti telah mengkhianati mama ku sendiri. Aku menarik nafas panjang dan berusaha untuk tenang.
"Ruby ketemu sama teman." Jawab ku tenang. Seharusnya aku tak perlu merasa bersalah karena pada kenyataannya aku memang bertemu dengan spesies 'teman'. Pria itu mengangkat sebelah alisnya untuk menggoda ku. Aku hanya menanggapinya dengan 'e'?!
"Teman cowok atau cewek?"Aku dapat merasakan kalau mama mulai penasaran. "Kamu ajak teman kamu ke rumah juga gak apa."
"Ma-"
"Oh iya, Mama ingatkan lagi. Jangan lupa nanti kamu ikut ke pesta Tante Astrid. Ini acara ulang tahun pernikahan Tante Astrid. Mama juga baru tahu ini. Nanti Ruby dandan yang cantik kalau perlu kamu beli baju sana."
"Hadeh Ma. kok ribet banget sih, Ma?" Aku sedikit protes karena jujur saja aku tidak suka untuk pergi ke acara semacam itu.
"Ya namanya juga diundang. Nanti Ruby pake gaun malam ya."
"Iya Ma." Akhirnya aku memilih untuk mengiyakan permintaan mama.
"Kayaknya Tante Astrid mau kenalin Ruby sama ponakan atau anaknya gitu. Mama pernah ketemu beberapa kali. Yang satu agak nyeremin emang tapi Mama rasa anaknya baik kok."
"Hadeh Ma…"
"Kamu ini ya…selalu begitu. Ya udah Mama tunggu Ruby di rumah, ya."
"Iya Ma. Ini Ruby lagi sama teman. Habis ini Ruby langsung pulang, kok." Kata ku lagi.
"Ya udah kalau gitu. Pulangnya hati-hati, ya."
"Iya Ma."
Aku tahu apa yang ada di dalam hati mama tapi untuk saat ini aku hanya ingin menikmati kesendirian ku. Mungkin sebenarnya aku belum menemukan seseorang yang dapat membuat ku jatuh cinta. Entahlah…
Preman yang tak tahu malu itu sekarang duduk di hadapan ku dengan senyumnya yang cemerlang. Aku melihatnya seperti pria di usia tiga puluhan dan aku sangat yakin kalau aku tidak memiliki teman semacam dia. Cowok itu mengenakan kaus putih dan celana jeans panjang juga sepatu kets gelap. Dia cukup fashionable kecuali rambut yang menutupi dagu serta pipinya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Satu sisi aku harus mengakui jika rambutnya yang lurus memang lebih bagus dari pada rambut ku. Mengapa laki-laki jaman sekarang punya aset yang membuat para wanita merasa iri? Dan tak jarang banyak juga pria yang lebih cantik daripada perempuan beneran?
"Maaf, saya harus pulang." Kata ku buru-buru kemudian mengambil tas dan bergerak untuk meninggalkan pria itu.
"Mau ku antarin?" Tanya pria itu denga senyumannya yang menggoda.
Tentu saja enggak. "Aku bisa pulang sendiri." Jawab ku cepat.
"Okay. Ketemu nanti, ya."
Nanti? I hope not.
Aku berharap cukup hari ini saja aku ketemu sama cowok kayak gitu. Cowok itu masih tersenyum dengan santai melambaikan tangannya pada ku yang bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Aku tidak mengenalnya. Apa mungkin aku bertemu dengan- Tidak. Aku berusaha untuk positive thinking namun mengapa hal itu terasa sulit? Aku keluar dari cafe dengan buru-buru dan segera memberhentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas di depan.
Akhirnya aku selamat.
Selama di jalan aku tidak dapat melepaskan ingatan akan preman yang menjadikan ku bahan taruhan. Berani sekali dia. Aku marah tapi mengapa tadi aku tidak memiliki keberanian untuk melakukan konfrontasi di depannya? Ah..mungkin penampilannya yang seram berhasil mengintimidasi aku. Entahlah yang penting sekarang aku telah bebas dari preman itu.