Nicho mengacak–ngacak rambutnya frustasi. Bagaimana tidak? Ia sekarang harus menjaga Fareszha di rumah sakit. Jika ia tahu Ardian menelfon nya untuk ini, maka ia tidak akan datang dan mengangkatnya.
Tadi ia sempat ingin pergi, namun si Ardian sialan itu mengacam akan melaporkan keteledoran Nicho dalam mengurus Fareszha pada oma nya. Hey, Nicho tidak munafik, ia butuh uang itu untuk hidup.
Pria ini tahu, bahwa uang itu bukan segalanya. Namun dalam kamus duniawi, segalal sesuatu itu butuh uang, benar bukan? Dalam dalil saja di katakan, bahwa manusia harus mengimbangi urusan dunia dan akhirat.
Eh, memangnya Nicho sebaik apa sampai bisa menabung untuk urusan akhirat? Ah, itu hanya tuhan dan dirinya yang tahu. Rahasia alam, begitu orang orang menyebutnya.
"Kau itu memang sangat merepotkan!"
Nicho terus menatap wajah Reszha, kepucatannya berkurang setelah ia pindah ruangan. Gadis ini, memang sangat lah cantik, pikir Nicho. Terkadang sikap Nicho baik pada Fareszha, terkadang juga sangat keji, seolah tak punya hati. Ia sendiri bahkan bingung, sebenarnya dirinya ini siap untuk memaafkan Fareszha atau tidak?
Karena tidak memiliki kegiatan lain, Nicho menaruh kepalanya, di atas kedua tangan yang ia lipat. Tentu dia melakukan itu di sebelah Fareszha, karena ia takut, ketika gadis ini bangun dan membutuhkan sesuatu akan memgambil sendiri, karena ia tidur di sofa yang jaraknya lima meter dari tempat Fareszha tertidur.
Dalam waktu lima menit, Nicho sudah terlelap dalam tidurnya, dan kini ia sedang berada dalam dunia mimpi yang sebenarnya penuh ekspetasi. Berbanding terbalik dengan Fareszha, yang seolah didorong oleh dunia mimpi itu, untuk bangun dan menjalani kehidupan realita yang sebenarnya tak pernah indah.
Perlahan, Fareszha membuka kedua bola matanya, sesekali fareszha mengerjap–ngerjapkan matanya, karena pencahayaan terang yang menyapa retina matanya begitu ia terbangun. Pandangannya kini ia arahkan keseluruh sudut kamar ini, dimana ia sekarang? Itulah pertanyaan yang kini berada dalam benak fareszha.
Netranya kini menatap sebuah kepala yang berada tepat di sebelah tanganya, siapa dia? Fareszha bahkan tidak tahu kenapa ia bisa berada disini. Terakhir, ia hanya mengingat bahwa ia merasakan sakit yang teramat sangat dikepalanya, dan setelah itu pandangannya mulai gelap.
"Ahhkr! ternyata masih sakit."
Niatnya untuk beralih keposisi duduk terpaksa ia urungkan. Ia baru menyadari, bahwa kepalanya masih terasa sakit, dan tubuhnya masih terlalu lemas untuk melakukan sebuah pergerakan. Namun sekarang ia lapar, pada siapa ia harus meminta tolong?
'Kruukk'
Suara aneh yang menyapa indra pendengaran Nicho, mampu membangunkannya dalam tidur nyenyaknya. Ya tuhan, dimalam hari yang sunyi ini seperti ini, suara dari mahkluk mengerikan mana yang Nicho dengar?
"Kau sudah sadar?" Tanya Nicho, ketika melihat kearah Fareszha.
Ada sedikit perasaan lega dan takut ketika Fareszha tahu, bahwa orang yang menunggunya saat ini adalah Nicho. Andaikan Nicho tahu, suara mengerikan yang ia dengar itu adalah suara dari monster–monster yang berada di dalam perut Fareszha.
"Apa kau mendegar suara aneh?"
Fareszha menggeleng, ia bahkan tidak sadar bahwa perutnya berbunyi saat ia terbangun tadi. Nicho hanya memutar bola matanya malas, apakah yang ia dengar itu hanya mimpi? Seharusnya itu bukan mimpi, kan?
'Kruukk'
Nicho beralih menatap Fareszha, sedangkan yang ditatap memegangi perutnya. Bagaimana ia bisa sepenakut itu? Harusnya Nicho sadar, bahwa suara yang ia dengar itu berasal dari perut Fareszha. Gadis ini, seperti tidak makan berbulan–bulan saja. Pikir Nicho.
"Apa kau lapar, huh?"
"Iya paman, aku lapar." Dengan nada yang sama dinginya, Fareszha menjawan pertanyaan Nicho.
"Tunggu disini, dan jangan pergi kemanapun."
"Kau mau kemana? Paman?"
"Jangan banyak bertanya."
Setelah menjawab pertanyaan Fareszha, Nicho menutup pintu ruangan ini, dan beralih menatap sekitar yang mulai sepi. Jam berapa memangnya sekarang? Kenapa rumah sakit sudah sesepi ini? Bahkan satu perawatpun tidak ada yang datang, atau sekedar lewat saja.
Berbeda dengan Fareszha, gadis itu sekarang sedang meruntuki dirinya sendiri. Selapar itukah dia? Sampai perutnya mengeluarkan suara yang membuatnya malu di depan Nicho. Tapi jika hal itu tidak terjadi, maka Fareszha tidak akan bisa menghilangkan rasa laparnya.
"Di jam segini, makanan apa yang bisa aku beli?"
Nicho hanya bisa menghela nafas, sembari matanya menerawang taman yang ada di depan rumah sakit ini. Mengingat sekarang sudah pukul 11 malam, dan di jam segini para pedagang kaki lima sudah mulai tutup lapak.
Ngomong–ngomong, ada yang salah dengan prilaku Nicho. Jin baik mana yang masuk ke dalam tubuhnya? Sampai–sampai ia mau turun ke bawah, hanya untuk mencari makanan? Dan kalian tahukan, makanan itu untuk siapa? Iyap, Fareszha.
"Lihat saja nanti, ketika kau sudah sembuh, aku akan melakukan sesuatu padamu bocah!"
Nicho akan tetap menjadi Nicho. Sebaik apapun dia, yang namanya oeran antagonis, harus dikalahkan terlebih dulu agar bisa jinak pada peran frotagonisnya.
Dan kini, netranya menangkap gerobak nasi goreng, beserta martabak telor. Jajanan kaki lima, walau sederhana, harga terjangkau, namun rasa tak pernah mengecewakan. Apalagi porsinya yang banyak, tentu membuat ketagihan.
"Harusnya ini cukup, bukan?" Tanya Nicho pada dirinya sendiri.
Pria tampan, dengan postur tubuh ideal ini berjalan kembali menunu rumahsakit. Langkah tegapnya, dengan cepat terus berjalan di atas lantai putih bersih khas lantai rumahsakit pada umumnya.
Sorot matanya yang tajam, rahangnya yang tegas, hidung mancung, kulit putih, namun dengan aksen sawo matang didalamnya. Wanita mana yang tidak akan tertarik dengan visual yang dimiliki oleh Nicho?
Bahkan jika Fareszha menatapnya sebagai manusia—bukan monster—ia pasti tidak akan melapas tatapannya dari Nicho. Nicho adalah seorang malaikat, dengan hati iblis yang menggelora.
"Aku hanya bisa menemukan penjual nasi goreng. Apa kau suka?"
Fareszha hanya menatap Nicho, dengab seutas senyum dibibirnya. Baginya, dibelikan makanan oleh Nicho saja sudah sangat bersyukur, jadi ia tidak akan menolak apapun makanan yang Nicho belikan untuknya.
"Tentu paman, terimakasih!"
"Sama–sama."Balasnya dingin, namun hati kecilnya berkata lain, "Sial, kenapa anak ini harus sangat manis ketika tersenyum?" Batin Nicho.
"Kenapa lagi?"
Tidak mungkin Fareszha menjawab bahwa ia bahkan tidak bisa memegang sendong, dan menahan piring ditangannya. Fareszha benar benar lemas sekarang, untuk menggerakan kepala saja sangat berat untuk ia lakukan.
Nicho yang menyadari hal itu, hanya menghela nafasnya berat. Dan kini, ia mengambil piring yang dijadikan sebagai alas untuk sebungkus nasi goreng itu.
"Buka mulut dan jangan banyak bicara."
Entah kerasukan jin baik mana, kini Nicho sudah menyodorkan satu sendok nasi goreng itu ke mulut Fareszha. Mungkin jika Ardian ada disini, ia akan menganggap bahwa ini sebuah keajaiban yang sangat luar biasa.
Menyuapi dan memberi perhatian pada seseorang yang paling kita benci, apakah itu wajar?
~~~~~