"Apa salahku pada kalian?!"
Aku menaruh tanganku dilehernya, dan menariknya kehadapanku. Mungkin aku sudah gila, karena sangat membenci gadis berusia 15 tahun ini. Namun itu bukan tanpa alasan, ada banyak alasan, yang memang mengharuskanku untuk membencinya!
"Seharusnya kau tahu apa alasanya gadis!"
"Kau tahu? Karena mu! Karena dirimu maura mendekam di rumah sakit jiwa!" Teriak Mike.
Ak benar, aku melupakan Mike, adik sepupuku. Hidupnya tidak semiris diriku, orang yang ia cintai masih hidup, namun, jiwanya mati. Maura, ia harus mendekam dibalik penjara RSJ karena traumatik yang tak kunjung sembuh.
"Cukup Nicho!"
Aku tersenyum tipis, pasalnya, kakakku dan adikku kini berada disini, menyekal tanganku yang semula berada dileher Fareszha.
"Kenapa, kak? Mike juga ada disini, loh."
"Kalian berdua itu, seharusnya sadar akan usia kalian!"
Aku hanya memasang smirk untuk membalas ucapannya, dimana letak kesalahanku? Aku sadar usiaku sudah 23 tahun. Dan tidak ada yang salah untuk itu.
"Rico, bereskan semua ini, aku akan antar Fareszha ke ruang ganti."
Aku menatap kepergian kak Chika, aku tahu, perubahan sikapnya pada Reszha sangatlah drastis. Dulu ia sangat tidak peduli dengan gadis itu, ia sendiri yang mengatakan, mendegar suara Reszha saja ia sangat tidak sudi.
"Kak, apakah kau tahu? Perasaan benci itu, bisa menjadi cinta yang abadi."
Rico yang ku beri tatapan tajam hanya tersenyum kecut kearahku. Ia memberikan botol wine kosong yang ku taruh di sembarang tempat tadi.
Cinta abadi dia bilang? Mustahil. Kebencianku, sudah berada di titik tertinggi, dan selamanya akan tetap seperti itu. Aku tidak akan merubah perasaan benci ku menjadi iba, Fareszha hanya benalu dalam kehidupan banyak orang.
"Oma mencarimu, daripada menimbulkan kecurigaan, lebih baik kau menemuinya."
"Jangan banyak bicara lagi, aku akan menyusul."
Aku membereskan tuxedo yang aku pakai, melihat dari bayangan cermin, apakah sudah rapih atau belum. Ketika aku yakin bahwa penampilanku sudah rapih, aku segera keluar dari bilik kamar mandi, dengan ekspresi datarku.
"Ada apa, oma?" Tanyaku ketika sampai dihadapan Oma.
"Ada hal penting yang ingin oma bicarakan pada kalian semua."
Aku duduk di kursi yang ada di hadapan Oma, menunggu hal penting yang ingin beliau katakan. Seberapa penting hal itu? Aku tidak tahu. Yang jelas sekarang, seluruh keluarga inti ada disini.
"Kau tahukan? Bahwa dirimu dan Ema dulu di jodohkan, nicho?"
Aku mengangguk, kami berdua tahu, bahwa kami dikenalkan lewat perjodohan ketika kami berumur 15 tahun. Dan saat itu juga, aku memang menjadikan Ema sebagai kekasihku, yang seharusnya sekarang menjadi istriku.
"Perjodohan itu akan tetap berlanjut, nak."
"Maksud oma?"
Aku menautkan kedua alisku, dengan siapa aku akan menikah? Saat itu sudah sangat jelas sekali, aku sendiri yang menaruh jasad Ema di dalam tanah.
"Rico akan menikahi adik Ema."
"Maura? Gadis yang dicintai Mike? Oma yang benar saja!" Runtukku sedikit resah.
Oma menggeleng, beliau menarik nafasnya, kemudian ia kembali membuka mulutnya untuk mengucapkan hal yang sepertinya bisa aku tebak.
"Fareszha, Rico akan menikahi gadis itu, nak."
Dugaanku benar. Apakah tidak ada gadis lain selain dirinnya? Dia bahkan tidak pantas untuk sekedar menjadi bagian dari keluarga ini. Apa yang sebenarnya Oma pikirkan? Jujur saja, aku tidak sudi jika adiku menikahi anak itu.
"Aku tidak mau, oma." Ucap Rico, dengan gelengan kecil dikepalanya.
"Kau ingat? Keputusan ahli waris ada di tanganku."
Jujur saja, aku tidak bisa hidup tanpa uang. Jika hak ku sebagai ahli waris di cabut, tamat sudah riwayat hidupku. Tapi apakah tidak ada gadis lain selain Fareszha? Bahkan gadis itu tidak pantas di tukar dengan 10 gram berlian sekali pun.
Kasihan adiku, hidupnya harus terikat dengan gadis pembawa sial itu. Jangan salah, ibunya sendiri yang mengatakan bahwa ia adalah anak pembawa sial.
"Tidak ada gadis lain, oma?" Lirihku.
"Tidak ada. Dan kau Nicho, kau akan menjadi walinya selama ia belum berumur 17 tahun. Kau yang bertanggung jawab atas hidupnya."
Aku membebelakan mataku, aku? Menjadi walinya? Hey! Yang benar saja. Tidak tidak, melihatnya saja membuat rasa benciku semakin menjadi, apalagi ketika harus bertanggung jawab atas hidupnya.
"Oma, aku tidak bisa."
"Keputusan ada di tanganku, anak muda. Dan pernikahannya akan digelar ketika Fareszha berusia 17 tahun lagi."
Aku hanya bisa menghela nafas berat, bagaimana cara ku untuk menolak?! Bicara saja aku tidak di dengar! Lagi lagi karena gadis pembawa sial ini, benar benar sial, dan sangat sial!
Nicho POV off.
******
Author POV
Fareszha hanya bisa meruntuki dirinya sendiri. Kenapa dirinya selalu lemah ketika berhadapan dengan Nicho? Pria brengsek itu bahkan tidak pantas ia sebut paman.
Setelah Chika mengatarnya, ia lebih memilih untuk pulang, ketimbang melihat wajah Nicho lagi. Ia tidak benci padanya, namun ketika melihat wajahnya, rasa kalut seolah menyerbu dirinya.
Fareszha tidak tahu, antara ingin berkata kasar, atau rasa ingin menghajar Nicho seolah lenyap ketika ia melihatnya. Dia selalu mewanti wanti dirinya, agar ketika bertemu dengan Pria itu ia bisa melawan.
Namun hasilnya selalu nihil, Fareszha seolah menjadi tikus kecil yang ketakukan di hadapan raja rimba.
"Hais, udahlah, gausah terlalu dipikirkan kejadian tadi." Ucapnya seraya menaruh pakaiannya yang basah karena wine.
Kehadiran Mike, tentu saja bukan hal hanya bagus dalam kehidupuannya. Mike juga salah satu orang yang teramat sangat membencinya. Bagai jatuh ketiban tangga.
Fareszha menoleh kearah tempat tidur, disana sudah terbaring pangeran kecilnya, Ocean Henderick Putra. Hanya ia satu satunya keluarga yang Fareszha punya, dan Ocean juga menjadi tanggung jawabnya.
"Zha, zha...kamu itu kayak idiot tau gak?"
"Mau aja di guyur pake wine, otak kamu ada, tapi ga dipake."
Tidak ada orang lain, Fareszha sendiri lah yang mencemooh dirinya. Dihadapan cermin, ia menatap lekat wajah nya. Cantik. Memang, semua orang tahu itu, namun terkadang kecantikannya menjadi boomerang untuk dirinya.
"Tampan sih, tapi sayang...badjingan."
Untuk siapa umpatan itu jika bukan untuk Nicho? Mata sinis Fareszha, mendelik kearah foto Nicho yang berada di nakas. Jika bukan karena ada kakaknya dalam foto itu, Fareszha sangat tidak sudi untuk menyimpannya.
Nicho benar, Fareszha memang tidak sepolos yang ia bilang. Reszha tau akan hal berbau Club, umpatan kasar, bahkan tempat tempat kumpul anak brandal pun ia tahu.
Tapi, bukan berarti Reszha memasuki lingkungan keji itu. Reszha juga tahu, keluarga besarnya sering datang ke club club malam tersebut.
"Ayah? Kenapa aku gabisa benci sama orang?"
"Atau sekedar melawan ketika mereka menindas? Aku tidak takut Ayah! Tapi kenapa aku sekalu diam?"
"Apakah aku terlalu manusiawi? Untuk hidup diantara para iblis?"
Fareszha berdecak kasar, ia melempar botol parfum di tangannya. Benar, Fareszha tidak pernah bisa berbuat jahat pada orang lain. Bukan hatinya yang terlalu manusiawi, namun dirinya yang masih menutup hati, agar tidak keluar dari jeruji besi.
Ingatannya kembali pada ucapan Intan, sahabatnya itu menyuruh dirinya untuk datang kembali ke SMA Negeri yang ingin ia tempuh. Dalam hati kecilnya, Reszha sangat yakin, sangat sangat yakin, bahwa Nicho lah dalang di balik semua ini.
Benar atau tidaknya, ia harus mencari tahu hal itu. Jangan sampai mimpinya kandas, hanya karena manusia sejenis Nicho.
"Kakak? Kok belum tidur?"
Dengan suara seraknya, Ocean bangun dari posisinya, hendak menghampiri Fareszha yang sedang terduduk diam dikursi belajarnya.
"Kamu kenapa bangun, dek? Kakak bentar lagi mau tidur, kok."
"Ocean mimpi. Di mimpi once, kakak itu nangis nangis sambil teriak, terus mau loncat."
Hening. Fareszha hanya diam tidak bergeming, ia tidak tahu harus mrenjawab apa pada adiknya ini. Selama ini, Ocean tidak pernah memimpikan tentang dirinya.
"Itukan cuma mimpi, sekarang once lanjut tidur lagi, ya?"
"Tapi kakak janji, kakak jangan ngelakuin hal yang ada di mimpi once, bisa?"
"Berdoa aja, supaya kaka tetap kuat!"
Ocean maupun Fareszha memasang senyum diwajah mereka. Jujur saja, Fareszha takut, jika suatu saat nanti, mimpi yang Ocean katakan benar benar terjadi.
Dalam agamanya, jelas bunuh diri dan melukai diri sendiri adalah hal yang haram hukumnya. Dalam hukum duniawi pun, kedua hal itu tidak pantas dilakukan manusia manapun.
"Kakak gabisa janji, tapi kakak percaya, kakak pasti bakal bisa ngelindungin, dan terus berada di sisi kamu, dek."
Ia mungkin tidak terlalu pada Mike, tapi Nicho, ia tidak tahu akan seperti apa jika bertemu manusia iblis itu. Melihatnya di siksa, bukannua menolong, malah menonton.
~~~~~~