Nenek tua itu segera mengusap air mata yang mendadak membasahi pipinya. Sesaat kemudian, tangannya menepuk bahu Lian dengan tepukan pelan.
"Nenek gak nyangka, kamu bisa bersikap mengharukan seperti ini. Padahal dari awal, aku menduga kalau kamu cuma anak manja yang sangat suka mengeluh," cetus nenek tua itu. Sontak saja, Lian menatap nenek tua itu dengan sorot mata tajam.
"Nenek kalau memuji, kalimat cibirannya gak usah diikutin juga dong, Nek!" keluh Lian. Langsung saja, nenek tua itu terkekeh pelan.
"Yuk, kita jalan sekarang. Waktu itu sangat berharga, gak baik jika dibuang-buang hanya untuk melakukan hal yang tidak penting," cetus nenek tua itu dengan disertai kalimat bijaknya. Namun, dahi Lian seketika mengernyit.
"Jalan? Jalan ke mana, Nek?" tanya Lian bingung.
"Seumur-umur, Lian bahkan gak pernah diajak jalan sama cowok, eh masa tiba-tiba, Lian diajak jalan sama Nenek, kan agak gimana gitu, Nek!" keluh Lian.
"Apa? Maksudnya?" tanya nenek tua itu. Perkataan Lian sungguh membuatnya bingung.
"Ehem, gini Lian, Dayang Kalbu tidak mengajakmu untuk jalan dalam artian ngedate, tapi dia mengajak kamu untuk melakukan suatu misi," jelas Mega. Detik itu juga, Lian langsung menutup wajahnya, merasa sangat malu.
"Oh gitu, ya udah yuk, Nek! Kita berangkat!" ajak Lian. Ia sudah paham mengenai misi yang dimaksud oleh Mega. Sementara nenek tua itu mulai menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ngedate? Apalagi itu artinya?" lirih nenek tua itu.
Kedua tangan nenek tua itu perlahan terulur ke depan. Hingga dalam hitungan detik, terciptalah sebuah portal berwarna putih. Nenek tua itu dengan cepat menarik tangan Lian untuk masuk ke dalam portal.
Setelah indera penglihatan Mega tidak melihat wujud Lian dan nenek tua itu lagi, Mega pun segera mendudukkan dirinya kembali ke kursi yang berada di samping ranjang Alka. Tatapan Mega tiba-tiba saja berubah menjadi sendu.
"Harusnya kamu bisa berjodoh dengan orang sebaik Lian, tapi .…"
Mega menghela napasnya, kemudian pandangannya beralih ke portal yang perlahan mulai menghilang tanpa jejak itu. Diam-diam, bibirnya membentuk sebuah senyuman penuh kemirisan.
"Sabel sudah menunggu kamu, Alka," bisik Mega di telinga Alka.
***
Nenek tua itu membawa Lian ke sebuah lorong. Jika dilihat dari bentuknya, seperti lorong gua yang terbuat dari es. Dalam sekejap, Lian merasa takjub. Bagaimana bisa ia berjalan santai menapaki lorong gua es tanpa merasa kedinginan sama sekali? Jika manusia biasa, pasti sudah bisa mati kedinginan atau cosplay jadi patung es dadakan.
Mata Lian memandang jauh ke depan. Meski tak ada lampu, jalanan di gua ini tampak begitu terang. Sangat sulit dipercaya dan sangat tidak masuk akal. Kalaupun terkena sinar matahari, seharusnya gua es ini sudah mencair, tetapi nyatanya tidak.
"Nek, kok di dalam gua bisa terang benderang kayak begini?" Lian akhirnya memutuskan untuk bertanya.
"Karena Nona Sabel mengizinkan kita untuk menemuinya," jawab nenek tua itu dengan santainya. Namun, Lian malah dibuat tambah bingung dengan jawaban nenek tua itu.
"Maksudnya?" tanya Lian.
"Kita sedang berada dalam pengawasan Nona Sabel, atau dalam istilah dunia manusia, kita sedang dikawal. Cahaya terang yang kamu lihat sekarang, itu kekuatan Nona Sabel. Jika tidak dikawal, mungkin kamu sudah mati kedinginan di dalam gua es ini," sahut nenek tua itu. Lian perlahan mulai menganggukkan kepalanya.
"Canggih juga. Ini sebenarnya abad ke berapa sih? Semuanya serba canggih gini. Alatnya doraemon mah lewat," lirih Lian.
Lian diam-diam menatap takjub ke arah cahaya yang tengah mengawalnya itu. Benaknya bertanya-tanya, siapakah yang dimaksud dengan Nona Sabel? Apa dia sudah nenek-nenek seperti nenek tua yang berada di sampingnya? Atau .…
Mata Lian membelalak lebar ketika melihat seorang gadis cantik tengah berjalan menghampirinya. Gadis itu tersenyum lebar, ah terlihat sangat sangat cantik. Hingga tanpa sadar, Lian mulai terpukau dalam kecantikan gadis dengan gaun serba warna kuning emas itu.
"Kamu yang bernama Lian?" tanya gadis itu, membuat Lian langsung tersentak kaget.
"I-iya, Kak!" sahut Lian. Gadis itu lantas terkekeh pelan.
"Issabelle, orang-orang biasa memanggil gue Sabel, umur gue sepantaran sama lo kayaknya," ucap gadis itu. Mendengar hal itu, Lian segera membulatkan matanya.
"Lo dari dunia manusia juga?" tanya Lian. Gadis itu mengedipkan sebelah matanya.
"Gue sering diam-diam ke dunia manusia, jadi, coba-coba belajar bahasa yang biasa diucapkan di sana aja. Habisnya makanannya enak-enak sih di sana. Apalagi kalau ada sambel, wuishh segala sambel gue suka!" sahut gadis itu dengan hebohnya. Mendengar hal itu, Lian seketika menggaruk tengkuknya.
"Tadi, Tante Mega bilang ke gue, katanya lo mau bantu Alka ya? Thanks!" ucap gadis itu. Lian seketika mengembangkan senyumnya.
"Jadi, lo kenal sama Alka juga?" tanya Lian. Gadis itu segera menganggukkan kepalanya.
"Kenal banget malah. Sebelum kejadian itu terjadi, gue emang udah deket banget sih sama Alka," sahut gadis itu.
"Kejadian itu?" Lian menaikkan sebelah alisnya.
"Kejadian pengambilan jiwa murni Alka, gue yakin, lo pasti udah tahulah. Tante Mega kan sempat hapus ingatannya Alka tepat setelah jiwa murninya diambil, jadi ya, Alka lupain gue dan segalanya yang berhubungan dengan dunia sihir," jelas Sabel.
"Oh iya, Dayang Kalbu. Daripada nanti encok dan bikin Sabel ribet, mending Dayang Kalbu istirahat aja di sini. Perjalanan nanti, serahin aja sama Sabel dan Lian, setuju?" tawar Sabel. Nenek tua itu segera mengembangkan senyum girangnya. Seperti habis saja mendapatkan sebuah lotre.
"Nona Sabel memang selalu mengerti saya. Terima kasih, Nona Sabel!" ucap nenek tua itu. Mendengar hal itu, Lian pun seketika memutar bola matanya.
"Giliran bicara sama Sabel, lembut banget suaranya, beda banget sama pas bicara sama Lian, uh udah kayak tikus ngomong ke kucing!" cibir Lian. Langsung saja, Sabel meledakkan tawanya dan bertepuk tangan heboh.
"Wuah Lian, baru kali ini, gue denger ada yang berani berkata seperti itu ke Dayang Kalbu. Dia di sini, termasuk sangat dihormati loh, dia bahkan sama Tante Mega tuaan Dayang Kalbu loh!" seru Sabel.
"E-eh? Dihormati? Tapi, kenapa Kakek tua itu gak ada hormat-hormatnya sama Nenek tua itu?" tanya Lian. Raut wajah Sabel tiba-tiba saja menjadi dingin.
"Oh, panglima pengkhianat itu. Emang gak ada hormat-hormatnya dia tuh!" sambut Sabel dengan nada dingin. Detik itu juga, Lian mengarahkan pandangannya ke arah nenek tua itu, tetapi, nenek tua itu segera menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya.
"Jangan pernah bicarakan tentang Kakek tua itu kepada Nona Sabel," bisik nenek tua itu ke telinga Lian.
Lian pun segera mengerjapkan kedua matanya. Sepertinya, Sabel memiliki masalah dengan si kakek tua itu. Memang sih, Lian akui, kalau si kakek tua itu memang doyan banget cari masalah sama orang.
"Oh maaf, emang sih, gue sebel banget sama Kakek tua itu. Gara-gara dia, gue jadi bangun rumah Nenek sebanyak dua kali, padahal gue udah capek banget tahu! Maaf, kalau gue udah nyinggung perasaan lo ya, Sabel!" ucap Lian sembari menggenggam tangan Sabel.
Sabel diam-diam melirikkan pandangannya ke arah Lian. Setelahnya, Sabel segera mengulas senyuman termanisnya.
"Ternyata lo beneran Lian yang gue cari," ucap Sabel tiba-tiba. Mendengar hal itu, Lian segera mengangkat sebelah alisnya.
"Maaf, lo cari gue?" tanya Lian.
"Lo salah denger kali," sahut Sabel sembari menggelengkan kepalanya.
"Maaf, gue bakal rebut seseorang yang berharga bagi lo," ucap Sabel menggunakan bahasa dunia sihir yang hanya bisa dimengerti oleh penyihir berjiwa murni. Tentu saja, Lian tidak tahu apa yang baru saja diucapkan oleh Sabel itu.
"Eh, itu tadi, lo ngomong apa? Maaf, gue gak ngerti bahasa sini soalnya," sahut Lian. Detik itu juga, Sabel mengulas senyumnya.
"Itu tadi, mantra untuk menjaga kita dari serangan sihir jahat nantinya," kecoh Sabel dengan suara lembutnya. Lian pun sontak menganggukkan kepalanya percaya.
"Terima kasih, Sabel," cetus Lian, yang sukses membuat hati Sabel tertohok ketika mendengarnya.