Lian dan Alka telah sampai di rumah Kakek tua itu. Lian dan Alka pun segera mendudukkan diri di sebuah kursi kayu ketika kakek tua itu sudah mempersilakan untuk duduk.
Alka tampak mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ruangannya hampir mirip dengan ruangan yang pertama kali dilihatnya ketika masuk ke dunia sihir. Sontak saja, Alka menyenggol sikut Lian pelan.
"Kenapa sih?" tanya Lian sembari menaikkan sebelah alisnya.
"Lo ngerasa gak sih kalau tuh kakek tua aneh sikapnya?" tanya Alka. Mendengar hal itu, Lian pun sontak mengendikkan kedua bahunya.
"Kakek itu baik, gak usah suudzon deh lo sama orang! Gak usah berprasangka buruk sama orang bisa gak sih?!" keluh Lian. Alka menggaruk tengkuknya.
"Masa sih cuma gue yang merasakannya? Auranya rada aneh gini," lirih Alka.
Sesaat kemudian, Kakek tua itu datang menghampiri Alka dan Lian sembari membawa dua cangkir yang terbuat dari tanah liat. Kakek tua itu lantas memberikan masing-masing cangkir yang dibawanya kepada Alka dan Lian.
"Minumlah, kalian pasti haus. Ramuan ini cukup untuk mengisi kembali tenaga kalian yang habis karena sudah melakukan perjalanan jarak jauh," cetus Kakek tua itu. Lian pun segera menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih, Kek!" seru Lian sembari menyeruput air di dalam cangkir dari tanah liat tersebut.
"Wah enak sekali, rasanya manis, Lian suka!" seru Lian girang.
Mendengar testimoni dari Lian yang cukup baik, membuat Alka ikut penasaran untuk mencicipinya. Alka menatap lekat-lekat isi cangkir yang dibawanya itu.
"Kakek gak minum?" tanya Alka. Sontak saja, Kakek tua itu menggelengkan kepalanya.
"Gak usah, buat kamu aja. Kalau Kakek mau, Kakek masih bisa membuat sendiri kok!" sahut Kakek tua itu.
"Udah, cobain aja, Alka! Enak tahu!" seru Lian mengompori.
Mendengar hal itu, Alka pun memutuskan untuk menyeruput minuman yang dibuat oleh Kakek tua itu. Satu kali seruputan, Alka merasa, rasanya sangat enak. Manis, seperti sedang menyeruput es teh manis. Eh bentar, es? Kulkas sudah diekspor sampai sini kah?
"Apa ada kulkas di sini? Kok seger airnya?" tanya Alka penasaran.
"Ah itu. Itu air dari mata air pegunungan asli, jadi seger," sahut Kakek tua itu. Lian dan Alka pun serempak menganggukkan kepalanya.
Alka terus saja menyeruput minuman itu, bahkan minuman Alka lebih dahulu habis ketimbang minuman Lian. Lian pun sontak memasang ekspresi sinis ke arah Alka.
"Haus atau doyan itu, Mas?" sindir Lian.
"Brisik lo!" semprot Alka.
Kakek tua itu diam-diam melirikkan matanya ke arah Alka. Sedari tadi, perhatiannya tak kunjung lepas dari Alka. Ia sungguh yakin jika laki-laki di hadapannya ini merupakan putra dari seorang Mega.
"Apa punggungmu masih sakit?" tanya Kakek tua itu.
Alka meletakkan cangkirnya yang telah kosong ke atas meja. Kemudian, Alka memandang Kakek tua itu dengan tatapan lebih teduh ketimbang tadi. Setelah meminum ramuan Kakek tua itu, benar saja, tubuh Alka seperti tidak merasakan lelah lagi. Namun, entah mengapa, punggungnya masih terasa sakit.
"Punggung masih sakit, Kek," sahut Alka. Mendengar penuturan Alka, Kakek tua itu segera mengulas senyumannya.
"Kakek bisa mijit. Pijatan Kakek enak lho, siapa tahu, itu bisa meringankan rasa sakit yang ada dipunggung kamu," ujar Kakek tua itu. Alka pun tampak berpikir sejenak.
"Pasti Kakek tua ini gak ada maksud apa-apa sama gue! Pasti Kakek tua ini bener-bener pengen ngebantu gue sama Lian," pikir Alka dalam benaknya.
Alka menghela napasnya. Kemudian, ditatapnya kakek tua itu lekat-lekat sembari menganggukkan kepalanya.
"Boleh deh, Kek!" sahut Alka.
"Ya sudah, kita pindah ke sana, yuk!" ajak Kakek tua sembari menunjukkan jarinya ke arah amben (ranjang) tua panjang yang terbuat dari bambu.
"Lian mau ikut?" tawar Kakek tua itu. Sontak saja, Lian menggelengkan kepalanya.
"Hehehe enggak, Kek! Lian gak suka dipijit!" tolak Lian. Padahal dalam hati, ia pengen sekali dipijit, tapi sama emaknya, bukan sama kakek tua itu!
Kakek tua itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, ia beranjak menghampiri Alka yang telah lebih dulu berduduk ria di atas amben.
"Kek, Lian boleh ke kamar duluan gak? Kamar Lian di sebelah mana ya?" tanya Lian.
"Oh, boleh. Kamu dari ruangan ini tinggal lurus, pintu yang pertama kamu temui itu adalah kamar kamu," ucap Kakek itu. Lian pun langsung menganggukkan kepalanya. Paham dengan pengarahan Kakek tua itu.
***
Kini, tinggallah Alka dengan Kakek tua itu. Mereka mendudukkan dirinya di atas amben dengan posisi yang sama-sama menghadap ke arah Utara. Alka telah melepaskan baju bagian atasnya. Sementara kedua tangan kakek itu mulai memijit punggung Alka secara perlahan dengan mulut sibuk berkomat-kamit.
"Bagaimana? Sakit tidak?" tanya Kakek tua itu. Alka pun sontak menggelengkan kepalanya.
"Enggak kok, Kek. Ternyata Kakek pintar mijit ya!" seru Alka kagum.
"Ah biasa aja. Bagian mana lagi yang masih sakit?" tanya Kakek tua itu.
"Bagian punggung sakit semua, Kek!" sahut Alka.
"Oke, Kakek pijit lebih keras ya, tapi kamu harus tahan," cetus Kakek tua itu.
Tanpa menunggu aba-aba, Kakek itu pun mulai mengucapkan sesuatu yang tidak bisa Alka mengerti. Kemudian, kedua tangan Kakek itu perlahan menyentuh punggung Alka yang sakit.
Namun, entah mengapa, semakin lama Kakek itu menempelkan tangannya di punggung Alka, membuat tubuh Alka semakin melemas. Awalnya, Alka masih bisa menahannya. Namun, semakin bertambahnya detik, semakin bertambah pula rasa lemas yang menyerang tubuh Alka.
"Ma-ma!" lirih Alka sebelum pandangannya benar-benar menghitam.
BRUK!
Tubuh Alka terjatuh ke belakang, beruntung sang kakek tua itu dengan sigap menangkap tubuh Alka. Wajah Kakek tua itu terlihat sangat kebingungan.
"Kenapa raga ini lemah sekali? Seperti tidak ada jiwa murni di dalamnya, tetapi aku benar-benar bisa merasakan adanya jiwa murni di dalam tubuh ini. Lalu, kenapa aku tidak berhasil?" gumam Kakek tua itu.
Ketika melihat tubuh Alka yang perlahan membiru, Kakek tua itu pun segera memejamkan matanya sembari mengatakan sesuatu. Secara perlahan, tubuh Alka yang perlahan membiru itu, kini berubah menjadi normal kembali.
"Hah, terpaksa harus kukembalikan lagi kekuatannya. Ketimbang nantinya aku malah kena omel Mega!" keluh Kakek tua itu.
Saat tengah dilanda keputus-asaan, Kakek tua itu tiba-tiba saja mendapatkan sebuah ilham. Bibirnya pun lantas mencetak sebuah senyuman miring di wajahnya.
"Sepertinya cara ini akan berhasil," ucap Kakek tua itu sembari terkekeh pelan.
***
"Alka kemana? Kok belum pulang juga?" tanya seorang laki-laki berusia kepala empat.
Hidangan makanan sudah tersaji di atas meja. Namun, personil keluarga mereka masih kurang satu: yaitu Alka. Seorang wanita yang diduga sebagai istrinya, tampak menatap anaknya yang kini sedang bermain games pada ponselnya.
"Alva, kamu tahu, Alka ada di mana sekarang?" tanya wanita itu. Namun, Alva tampak mengendikkan bahunya.
"Gak tahu, Ma! Dari tadi pagi, udah gak nongol tuh anaknya. Alva kira, dia sedang meeting dengan client-nya Papa," sahut Alva sembari menyindir laki-laki dewasa yang ada di sampingnya.
"Ashh dasar anak ini! Cepat hubungi Alka! Suruh dia kembali sekarang juga!" perintah Papa Alva dan Alka.
"Males, dia kan anak Papa! Kenapa gak Papa aja yang hubungin dia?" cibir Alva.
"Ma, cepat hubungi Alka! Papa khawatir sama Alka!" perintah Papa. Wanita itu pun mulai menganggukkan kepalanya.
"Hapenya gak aktif, Pa!" lapor Mama. Tentu saja, hal itu membuat Papa mendengus kesal.
"Ah Alka, susah sekali sih nyuruh anak itu buat ngasih kabar!" keluh Papa sembari menghela napasnya. Mendengar hal itu, Alva pun sontak memutar bola matanya malas.
"Dahlah, aku gak mood makan. Bye!" ceplos Alva sembari mengeloyor pergi begitu saja.