Sabtu pagi, tidak ada jadwal kegiatan untuk Adri. Sebagai gantinya, justru besok lah Ia banyak berkegiatan. Berurusan dengan mikroba itu membuatnya harus menurut kapan Ia harus bekerja. Namun libur atau tidak, Ia harus sarapan karena tetap saja ada hal yang ingin gadis itu kerjakan di hari libur. Adri itu senang sekali mengeksplorasi hal baru di waktu luangnya, tentang apapun itu, mulai dari hobi sampai insight terbaru terkait bidangnya. Bagi Adri, Ia tidak ingin melewatkan sedikitpun waktu untuk tidak produktif.
Adri menuangkan beberapa belas gram kopi ke atas filter V60 coffee makernya. Morning coffee, hal yang disukai Adri. Tidak perlu waktu lama untuk aroma kopi kostarika itu menguar kesegala penjuru ruangan setelah Ia menyeduhnya dengan air bersuhu 97 derajat celcius. Adri kemudian duduk di kursi meja makan, melihat kopi itu menetes dari filter sedikit demi sedikit.
"Wangi banget ini kopi," ujar seseorang, membuyarkan Adri dari fokusnya.
"Eh? Bang Adam? Kapan balik?" tanya Adri pada kakak kost nya yang sudah seminggu ini tidak terlihat berada di kost.
Adam kemudian duduk didepan Adri, ikut memperhatikan kopi yang masih menetes itu, "Kemaren malem, jam dua belasan. Alhamdulillah urusan Gue udah kelar, jadi saatnya back to campus, back to my research," ujarnya sembari tertawa renyah.
Adri ikut tersenyum seadanya, "Keren banget Bang, salut Gue sama Lo. Kerja di semester terakhir, mana kerjaan Lo decent banget kan, soal finance, pengembangan usaha," pujinya.
"Soalnya gimana ya Dri, Gue gak mau cuma gunain privilege dari orangtua Gue doang," ujarnya terdengar menggantung. Adri menyimaknya dengan seksama.
"Juga Gue akan mengambil jalur berbeda dari orangtua Gue," lanjutnya. Adri mengangguk paham, orangtua Adam adalah pejabat tinggi negara, dan karena itulah Ia memiliki banyak privilege.
"Lo emang gak ada minat sama sekali masuk ke dunia politik?" tanya Adri sembari mengangkat filter kopi.
Adam menggeleng, "Enggak, tapi bukan yang anti juga. Gue cuma gak yakin politik yang bakal Gue dapatkan kalau masuk ke ranah sana akan sesuai dengan politik seperti apa yang Gue harapkan," ujarnya. Tak perlu waktu lama untuk Adri sampai paham.
Adri memberikan satu sloki berukuran sedang berisi kopi yang baru dibuatnya itu pada Adam.
"Thanks, kopi apa ini?"
"Arabika kostarika, medium roast, V60," jawab Adri.
Adam hanya mengangguk, lalu menyesap kopi yang sangat harum dan menggugah semangat di pagi hari itu.
"Lo ngapain hari ini?" tanya Adam.
Adri menggeleng, "Gabut. Gak ada kuliah, gak ada jadwal nge lab juga," ujarnya.
"Temenin Gue yuk, cari buku, sekalian jalan."
Adri tampak berpikir, "Boleh, Gue juga ada yang mau dicari."
****
Adri dan Adam sudah berada di toko buku yang biasa mereka kunjungi. Mereka berdua itu maniak buku, dan lebih suka belanja ke tokonya langsung. Ya kecuali untuk buku-buku impor berbahasa Inggris yang agak langka, mereka akan membeli secara online.
"Lo nyari buku apa Dri?"
"Gue lagi pengen baca buku psikologi gitu sih, tapi yang gak bahas dari sisi biologi, dari sudut pandang literally mental science gitu," jawabnya.
"Oh, cari sana tuh." Adam menunjuk satu rak bertuliskan 'Psikologi dan Filsafat'.
Mereka akhirnya kesana. Adri tidak perlu menanyai Adam karena Ia tahu Adam itu cenderung random dan tidak punya tujuan khusus jika datang ke toko buku.
Satu jam berada di toko buku, mereka sudah mendapatkan apa yang ingin mereka bawa pulang sebagai bahan bacaan. Selesai membayar, mereka memutuskan untuk makan sebentar di dalam mall tempat toko buku itu berada.
Adri duduk di pojok kanan dekat dinding kaca sebuah kedai kopi, sedang Adam membawakan makanan mereka.
"Ini beneran deh, jangan dibayarin ih," ujar Adri bersikeras saat Adam sudah duduk.
"Batu banget dibilangin. Gue lebih tua dari Lo. Simpen aja buat yang lain. Kapan lagi kan Gue traktir?"
"Sering. Gak keitung Lo ntraktir Gue Bang."
"Yaudah yaudah. Intinya ambil, gausah gak enakan. Mending makan."
Adri menyerah, Ia memasukan kembali uangnya ke dalam dompet. Paham kalau Adam itu tidak suka dibantah kecuali Ia memang salah.
Mereka pun akhirnya makan bersama hidangan manis itu. Dua orang itu memesan brownies kopi, dan dua minuman berbeda. Adam yang memiliki toleransi kafein rendah itu memilih minuman nonkopi, sedang Adri? Double shot espresso.
"Eh? Bang Adam? Adriana?" tanya seseorang tiba-tiba.
Adam dan Adri melirik ke sumber suara, "Revitha?" tanya Adam pada seorang perempuan yang sedang membawa nampan berisi makanan itu.
"Kalian ngapain?" tanyanya.
Adri memutar bola matanya ke arah lain. Basa basi, pikirnya.
"Ini makan. Lo sama siapa?" tanya Adam datar.
"Sendiri. Gue boleh gabung gak nih?" tanyanya antusias.
Adam melirik Adri yang nampak jelas sekali tidak tertarik itu sekilas, "Sorry Rev, kita lagi bahas something personal. Lain kali ya," ujarnya ramah.
Revitha tersenyum canggung, "O-oh, Oke. Have fun," ujarnya kemudian berlalu ke meja lain.
"Kok Lo tolak?"
"Bermasalah sama dia?" tanya Adam cepat.
Adri diam.
"Udah paham Gue," ujar Adam membuat Adri melirik tajam padanya.
"Paham apa?"
"Dia ganggu Lo kan pas pelantikan? Gue diceritain Renatta."
Adri menghela nafas berat, lalu mengangguk, "Iya, begitu. Tapi kenapa Kak Renatta tau?"
"Disana rame kali, semua orang denger apa yang kalian omongin kalo teliti. Tapi tindakan Lo udah bener, orang kayak dia perlu digituin."
Adri tersenyum simpul, "Beda sama Januar, dia minta Gue gak urusin dia, dan gak perlu membalas kelakuan dia yang gak sopan itu," ujarnya.
"Januar memang begitu. Dia selalu baik ke semua orang."
"Lo baik-baik aja kan sama dia?" lanjutnya.
Adri mengangguk, "Ya, nothing big happened karena dia selalu berpikir dengan kepala dingin kecuali satu hal," ujarnya menggantung.
"Apa itu?"
Adri tertawa ringan, "Kak Haikal. Dia gak pernah selow masalah itu."
Adam sedikit tersedak setelah mendengar kalimat Adri tadi, "Se-serius Lo? Dia tau?" tanyanya. Ya, Adam sudah tahu perihal Adri pada Haikal.
"Iya. Intinya dia tau Gue akrab sama Kak Haikal, dan dia nanya langsung dong ke Gue."
Adam menggelengkan kepalanya, "Ini sisi lain si Januar, Gue gak percaya dia posesif."
"Emang Lo ngapain sama Haikal?"
"Ya gak ngapa-ngapain. Gue udah bilang juga, gue udah gak kenapa-kenapa sama dia," ujarnya.
Adam memperhatikan Adri seksama, lalu menaruh sendoknya.
"Jujur sama Gue, Lo belum selesai kan sama Haikal?"
"Lo cuma lagi sedang dalam proses berusaha lupain dia, tanpa memperlakukan Januar sebagai totally pengalihnya?"