Jam lima sore, Adri dan Januar masih menunggui Theo di rumah sakit. Pria itu belum siuman setelah menerima sebelas jahitan di pergelangan tangannya. Adri meringis melihat perban yang melingkar di tangan sahabatnya itu.
"Theo ... Theo, Gue bahkan speechless liat Lo begini lagi," ujar Adri pelan yang masih terdengar oleh Januar.
Januar melirik Adri cepat, "Lagi?"
Adri mengangguk, "Aku pernah beberapa kali ngeliat dia begini, sewaktu SMA, dan gak ada yang tau kecuali Aku dan mungkin Jevan."
Januar menghela nafas dalam, "I can't even ask for more, ini masalah pribadi dia, atau masalah keluarganya pasti kan?"
Adri hanya mengangguk, sekaligus lega karena baik Januar dan Adam tidak banyak bertanya apa yang menyebabkan Theo berbuat nekat dengan tangannya.
"Bang Adam hubungi orangtuanya tapi gak diangkat, padahal nyambung," ujar Januar.
Adri memejamkan matanya, tampak frustasi, "Sekarang dimana Bang Adam?"
"Dia mau nemuin adik-adiknya, dia dapet info dari resepsionis. Theo juga baru aja keluar dari rumah sakit ini kan?"
"Iya, bener."
"Kalo kamu capek mending kita istirahat, makan dulu," saran Januar.
Adri tampak sedikit berpikir, benar kata Januar. Berapa jam Ia duduk dan berdiri mundar mandir di depan ruang rawat Theo.
"Yaudah yuk, kita makan dulu," ujarnya kemudian.
****
Adri dan Januar duduk di kafeteria rumah sakit setelah selesai memesan dua porsi makan. Tampak sekali Adri kelelahan, Ia menumpukan kepalanya diatas lipatan tangannya begitu mereka duduk.
Januar membuka satu botol air mineral, "Minum dulu," ujarnya.
Adri mengangguk, meminum air mineral itu hingga habis setengah, rasanya sudah seperti Ia sedang dehidrasi.
"Kamu shock pasti?" tanya Januar.
Adri mengangguk, "Apalagi kamu kan?"
"Ya, seumur hidup, Aku gak pernah mengalami hal begini, ngeliat temenku suffering from something till they hurt themselves," ujarnya.
"Aku mau cerita ke kamu tapi ... ini terlalu personal."
"Aku ngerti. Gak perlu diceritain. Aku sebagai temen dia berusaha membantu sebisanya."
Adri tersenyum, "Thanks to you, dan juga temenmu. Siapa namanya?"
"Hanif. Mahasiswa Teknik Sipil," jawabnya.
"Salam buat Hanif kalo kamu ketemu. Gak kebayang kalo dia gak gerak cepat," ujar Adri. Ia masih merinding.
"Memang ya Dri, apa yang keliatan dari luar, gak representatif sama apa yang sebenernya dialami, dirasakan, dan dipikirkan orang itu. Aku selama ini tau Theo itu sebatas dia yang mapres, leadership dan network nya bagus."
"Kalo dia sampe begini, itu pasti karena masalah berat sampe dia frustasi dan nekat," lanjut Januar.
"Iya Jan. Kamu tau, setelah Aku melihat dia begitu beberapa kali sejak SMA dan sekarang, dia gak pernah cerita sebenarnya apa masalah dia."
"Gak pernah cerita? Tapi kamu tau masalah dia personal?"
Adri mengangguk, "Itu rasionalisasiku selama ini. Karena setiap Theo begini, orangtuanya gak pernah datang, gak panik seperti selayaknya orang tua khawatir. Yang datang selalu adik-adiknya, dan mereka nangis ngeliat kakaknya begitu."
"Itu tuh pemandangan yang bener-bener ... menyiksa batin Jan," ujar Adri menggebu dan ekspresif pada Januar.
"Iya, paham. Karena kamu merasa sebagai teman, kamu gak bisa berbuat banyak bahkan memberi solusi pun enggak," tanggap Januar.
"Iya. Begitu. Theo selalu bilang Aku orang yang tertutup, tapi dia? Lebih lebih."
"Mungkin Theo gak mau menambah beban pikir kamu sebagai temannya Dri. Tapi btw kamu pernah ketemu orangtuanya?"
Adri menggeleng, "Belum. Setiap ke rumahnya Aku cuma ketemu adik-adiknya, pembantunya," ujarnya.
"Aku pernah baca background keluarganya Theo, dan dia dari keluarga terpandang."
"Iya. Orangtuanya pengusaha besar. Selama ini Aku menekan logikaku yang bilang kalo Theo hidup under pressure, walaupun Aku gatau apa pressure nya."
Januar mengangguk paham, "Saranku buat kamu, ikutin aja apa yang mau Theo lakuin perihal masalah ini, dengan kamu sebagai temannya harus selalu stay. Siapa yang tau kapan dia bakal open up kan?"
"Iya, kamu bener. Makanya Aku gak pernah mendesak dia buat cerita," ujar Adri.
Januar tersenyum hangat, "Kamu memang teman yang baik, Dri. Theo beruntung punya sahabat seperti kamu," ujarnya.
"I'm still bad Jan."
"No, you always the best. At least for me," ujarnya tulus.
"Mau berusaha romantis di situasi kayak gini?" tanya Adri tiba-tiba.
Januar mengedikkan bahunya, "This is my way expressing my support and gratitude for you. Kamu mau nolak? Sorry gak bisa," ujarnya sedikit tertawa.
Adri menegakkan duduknya, "Out from the topic, Aku selalu bertanya begini," ujarnya menggantung. Januar sudah siap mendengarkan.
"Kenapa kamu begitu yakin?"
"Dalam hal?"
"Aku. Kita."
"Menurut kenapa Aku harus gak yakin?" Januar balik bertanya.
"Kamu gak tau sejarah hidup, personality, mindset, dan pandangan hidup Aku secara lengkap. Gimana kalau suatu saat kamu menemukan something bad about me? Itu bisa mengecewakan kamu. Dan sebaliknya," jawab Adri.
Januar mengangguk dan tersenyum, "Terus?"
"Ya ... that's all I ask you about."
"Begini Dri, menurut Aku ini masalah perbedaan sudut pandang, tentang bagaimana kita menghadapi tantangan ke depan. Semua yang kamu sebutin tadi, itu tantangannya."
Adri menyimak Januar seksama.
"Dari awal kita udah berbeda, Aku yang gak terlalu detail, dan kamu yang selalu detail dan nearly perfectionist. Kamu peduli dengan hal-hal mikro, dan setiap kemungkinan."
Januar tersenyum, "It get's you overthinking, tanpa disadari. Kalaupun kamu gak merasa, kamu sedang denial kalo kamu overthinking. Kamu takut kamu gak bisa deliver sebaik mungkin ke hubungan kita ini," ujarnya.
"Bener gak?" tanya Januar memastikan. Adri menggeleng tidak yakin, tepatnya tidak tahu. Ia tidak mempunyai jawaban.
"Di relationship kayak kita, konsepnya bukan what you're deliver is always what you get later, because people changes."
"Lalu apa? Kita itu menerima orang seutuhnya, gak bagusnya aja Dri. Kalau kamu pikir Aku finally bilang let's get closer hanya karena tau kamu itu good girl, itu salah. Aku juga paham apa risiko yang harus Aku bayar kalo misalkan pilihanku salah. Tapi Aku tetep pilih kamu, karena Aku yakin Aku bisa menerima," finalnya.
Adri mengangguk, dalam hati Ia terharu mendengar kalimat Januar barusan.
"Aku bahkan mikir, I don't deserve you."
Akhirnya, Adri mengatakan apa yang selama ini ada di pikirannya. Terlebih setelah pembicaraannya dengan Adam tadi pagi. Ia merasa bersalah pada Januar karena Haikal tentunya.
"Me too."
Baik, jawaban Januar diluar dugaan. Adri jadi berpikir, apakah selama ini mereka bersama sama dalam ketidakyakinan satu sama lain?
"Aku selalu merasa tersaingi oleh seseorang, atau mungkin beberapa orang. Sisi kompetitif Aku bahkan sampai di tahap ini Dri."
"Aku rasa itu yang terberat. Gimana caranya kita meyakinkan satu sama lain kalau kita itu cocok, belong to each other," lanjut Januar.
Adri mengangguk paham, "Dari apa yang kamu bilang, Aku ngerasa Aku yang banyak melakukan kesalahan sejauh ini," ujarnya.
"Aku minta maaf untuk itu."
Januar menggeleng cepat, "No. Insecure satu sama lain itu wajar. Baik Aku atau kamu, ditahap ini bisa sama sama melakukan kesalahan sampai ada perasaan we don't deserve each other."
"Aku juga minta maaf untuk segala pemikiran negatif yang muncul di kamu karena Aku Dri," lanjutnya.
"Kamu tau gak, Aku bicara sama Bang Adam pagi ini, soal Aku, Kamu, dan seseorang yang Aku yakin dia yang bikin kamu merasa tersaingi," ujar Adri.
Januar mengerutkan dahinya bingung, "Maksudnya? Siapa?"
"Correct me if I'm wrong, tapi apa itu Haikal lagi?"
"Terlalu peka, tapi itu bener."
"I want to make everything clear today, Jan. Aku memang ... sejak dia balik sempet bingung, maybe you see that too, dan karena itu juga kemaren kamu gak mood?"
Januar tidak merespon, hanya memperhatikan Adri serius.
"Aku cuma bingung karena dia sama sekali gak berubah, dan bersamaan dengan itu Aku sangat menghargai kamu."
"Tapi hari ini Aku tau, dan tolong percaya sama Aku. I will confirm that I don't deserve him, because I choose to have you."
"Kamu bukan pengalihan. Kamu gak perlu merasa tersaingi."