Dhea mengendarai mobil sedan hitam BMW miliknya, dengan piawai ia menyetir dan sesekali harus menahan nafas karena beberapa sopir angkot ugal-ugalan mengendarai angkot berwarna hijau itu. Puncak Bogor, selalu ramai padahal hari ini bukan hari libur.
Beberapa kali juga Dhea mengumpat sendiri dan dibuat kesal dengan ulah para sopir angkot yang berusaha membuat Dhea terpancing emosinya. Dhea paham benar, ini bukan wilayahnya dan ia lebih memilih untuk bersabar karena jika ia harus benar-benar terbawa emosi oleh para sopir angkot itu alhasil ia yang akan menjadi korban keroyokan para sopir angkot dan itu sudah sering terjadi.
Bukan kali ini Dhea lalu lintang Jakarta Puncak, seringkali ia ke tempat ini. Dan kali ini dia sengaja menyetir sendiri kendaraan pribadinya alih-alih ia memang sedang ingin membawa mobil kesayangannya itu yang hampir satu bulan tak pernah ia bawa kemana-mana.
Arus menuju puncak terlihat lengang, Dhea sudah memastikan tepat pukul 11.00 sudah sudah sampai tujuan. Ia melirik jam di pergelangan tangannya sepuluh lewat tiga puluh menit.
Paslah.. gumamnya.
Cuaca hari ini panas sekali, Dhea sengaja mematikan AC mobilnya dan membuka sedikit kaca pintu sebelah kanan. Udara puncak memang sejuk, lebih alami pikirnya. Namun, suara keroncongan perutnya mengganggu Dhea. Ia mencengkramnya dengan tangan kiri.
Ah, aku tak bisa membiarkannya. Masih setengah jam, aku butuh biscuit.
Dhea mencari supermarket untuk mencari makanan pengganjal perutnya yang memang agak sedikit bermasalah. Ia takut penyakit Maag-nya kambuh dan itu tak ingin ia ulangi kembali setelah beberapa bulan yang lalu ia pernah benar-benar harus di rawat inap hampir satu pekan lamanya karena perutnya itu tak mau kompromi dan akhirnya Dhea tak ingin hal itu terjadi lagi.
Karena tak ada persiapan dan memang sudah lama tak pernah dipakai, di dalam mobil tak ada stok bahan makanan. Dhea paling rajin untuk hal masalah stok makanan setidaknya biscuit di dalam mobil. Pun dalam tasnya, karena ia mengganti tas nya dengan tas yang biasa ia bawa, alhasil Dhea tak memiliki satu pun stok makanan.
Dhea mengurangi laju kendaraannya dan beberapa meter di depannya sebuah supermarket terlihat, dia menyalakan lampu scene sebelah kiri. Seorang penjaga parkir mempersilahkan mobil Dhea untuk masuk dan membantu parkir. Dhea mematikan mesin mobil, meraih tasnya yang tergeletak di jok sebelah kirinya, tangannya merogoh kedalam tas berhasil menemukan dompet kemudian dikeluarkan dengan susah payah.
Di dalam tas Dhea terdapat empat gadget keluaran terbaru memenuhi tas mungilnya. Dhea memang penggemar gugdet terbaru, menurutnya alih-alih menghilangkan stress bermain bersama gudget-nya itu.
Baru saja tangan kanan Dhea hendak membuka handle pintu sebelah kanan, kedua mata Dhea terbelalak melihat seorang laki-laki dan wanita keluar dari mini market, mereka berpelukan dengan mesra tertawa bersamaan.
Dhea gemetar, mengucek kedua matanya dan meyakinkan diri bahwa apa yang tengah di lihatnya itu salah. Tak mungkin, Dhea mendekap mulutnya. Kemudian melorotkan tubuhnya agar mereka tak melihat dirinya, mobil mereka parkir tepat di sisi kanan mobil Dhea.
Bersamaan dengan itu suara pesan dari ponselnya berbunyi ...
Criiing!!!
Astagfirullah …
Spontan Dhea, dengan cepat Dhea menelusup ke bawah setir. Takut suaranya terdengar keluar dan mereka melihatnya. Dhea meraih ponselnya dengan tangan kiri berusaha mengambilnya di atas jok meraba-raba.
WhatsApp dari Andini.
Dhea, udah di mana?
Lama Dhea memandangi layar handphone miliknya itu, tertegun. Ia menenangkan diri, menarik nafas dan kemudian di keluarkan perlahan. Suara mesin dari mobil sebelahnya terdengar dan kemudian melaju. Dhea akhirnya kembali duduk di jok dan dengan cepat membalas pesan dari Andini dengan tangan bergetar.
Sialan!, kenapa tangan gue gemetaran.
Udah di Cisarua Mba.
Balas Dhea.
Tak lama kemudian Andini membalasnya lagi.
Oke, hati-hati ya.
Iya Mbak. Makasih. Lagi mampir dulu neh cari biskuit nggak ada stok.
Dhea menambahkan pesannya dengan gambar emoticon nyengir.
Dhea menekan dadanya, terdiam sejenak. Dadanya bergemuruh masih membayangkan peristiwa yang baru saja ia saksikan. Dan jelas Dhea sangat mengenal keduanya.
Cliiing!
Emang lupa ya nggak bawa makanan?
Dhea membalasnya lagi.
Enggak.
Kebiasaan..
Heheheee ... Mbak udahan ya aku mau ke minimarket dulu.
Siip! hati-hati ya.
Owkeh!
Dhea memasukkan ponselnya ked alam tas, kemudian tangan kanannya membuka pintu mobil. Ia berniat mengikuti mereka kalau saja ia kini tak ada hal yang harus ia kerjakan. Apa yang mereka lakukan di sini, pikirnya. Dhea membuka pintu mini market, berdiri sesaat kedua matanya berputar ke kanan ke kiri mencari rak mana yang terdapat biskuit, matanya berhenti pada sudut sisi kiri. Dhea beranjak ke arah sana dan kemudian mengambil beberapa biskuit kesukaannya, mengambil dua botol air mineral dan membayarnya di kasir.
Tak butuh lama, Dhea sudah duduk manis di belakang kemudi, mengemil kemudian meninggalkan minimarket setelah ia memberi lembaran ribuan kepada tukang parkir dan mobil Dhea melesat dengan cepat. Dhea sudah sampai ditempat tujuan sekitar dua puluh menit.
Sebuah bangunan megah berdiri tegak di hadapan Dhea, villa bernuansa modern itu dengan bangga seakan memamerkan siapa pemiliknya. Bangunan itu merupakan salah satu aset yang dimiliki calon nasabahnya. Terpaksa Dhea sendirilah yang datang ke lokasi ini untuk men-survey sebelum pembiayaan dicairkan. Lumayan besar pembiayaan yang diajukan oleh calon nasabahnya, Dhea mengangguk-angguk takjub.
Dhea meraih ponselnya menekan angka tiga.
Andini ...
Calling ...
"Hallo ... Mbak aku sudah sampai neh."
"Oh, syukur deh. Udah ketemu siapa Dhe?" suara Andini dari balik ponsel.
"Belum Mbak." Dhea menoleh kekanan dan kemudian tubuhnya berputar ke kiri, tak ada siapa-siapa.
"Sepi Mbak."
"Belum datang kali Dhe."
"Bentar ya Mbak." Dhea berjalan ke arah sisi kanan Villa, berharap menemukan seseorang.
"Mbak Dhea."
Dhea terkejut, seorang laki-laki berpakaian kemeja putih dan dasi bergaris horizontal biru hitam berdiri tepat di belakangnya bersama seorang lelaki paruh baya mengenakan jaket lusuh berwarna hitam kusam, tersenyum padanya.
"Mbak, aku uda ketemu nih sama orangnya. Udahan ya nanti aku hubungi lagi. Daaa.."
"Oke ... Daaaa"
Klik!!
Dhea menutup ponselnya dan kemudian mendekati laki-laki itu.
"Pak Zaman?" Dhea mengulurkan tangan, dan disambut dengan ramah. Ia salah satu perwakilan dari notaris yang akan mengurusi semua masalah prosedur pembiayaan nanti dan Dhea hanya mengikuti instruksi dari Andini untuk melihat asset calon nasabahnya.
"Mari Mbak ikut saya."
Ajak Pak Zama, Dhea mengekor dari belakang.
Ketika pintu dibuka, Dhea ternganga. Villa ini dibangun dengan desain ruangan serba modern menakjubkan. Terdapat ruang tv ketika pintu dibuka, ruang keluarga tanpa sofa dan luasnya sekitar dua kali luas kamar tidurnya yang menurut Dhea udah luas banget.
Dhea kemudian masuk kedalam, ada tiga kamar tidur dengan masing-masing perabotan lengkap dan terpasang semua alat elektronik lengkap. Semua ruangan di cat warna putih, begitu juga dengan perabotannya. Ke samping kanan, ruang dapur dan terdapat mini Bar.
Dhea menoleh ke arah Pak Zaman. "Bagaimana Mbak Dhea?" tanyanya kepada Dhea. Dhea hanya tersenyum dan berusaha menutupi kekagumannya. "Oke." Hanya itu jawaban Dhea dan dibalas senyum penuh bangga oleh Pak Zaman.
"Pak, semua saya serahkan ke Bapak ya. Kami tunggu di kantor cabang untuk kelanjutannya. Tapi, benarkan ini milik Pak Hasan?" Dhea mengerling.
"Pastilah Mbak, ini saya bawakan sertifikat kepemilikannya dan beberapa dokumen." Pak Zaman membuka resleting tas selempang miliknya dan mengeluarkan map warna coklat kemudian ia serahkan ke Dhea.
"Mbak, mau minum apa?" tukang kebun menawarkan minuman pada Dhea.
"Nggak usah Pak, makasih. Saya nggak lama kok. Pak Zaman Mungkin." Dhea melirik ke Pak Zaman.
"Nggak usah Pak." Tolak Pak Zaman pula.
"Baiklah. Saya tinggal dulu." Penjaga Villa itu pamitan.
Hampir satu jam Dhea memeriksa semua dokumen dan memeriksa Villa beserta isinya, akhirnya Dhea berpamitan. Pukul dua tepat, Dhea melirik jam dinding di sebelah kanannya. Dan kemudian ia berpamitan.
"Oke Pak Zaman, saya rasa cukup. Kita bertemu lagi di kantor cabang ya Pak. Nanti bersama Mas Argo juga."
"Baik Mbak Dhea, terima kasih atas waktu dan kunjungannya. Semoga cepat selesAi prosedurnya Mba."
"Siip!"
Dhe mengacungkan ibu jarinya dan keluar menuju pintu utama. Menekan tombol Bip ... Bip ... Bip ... alarm mobilnya dan kemudian membuka pintu mobil sisi kanan. Menyalakan mesin dan melambaikan tangan ke arah luar. Pak Zaman dan penjaga Villa melepas kepergian Dhea.
Bersambung ...