Chereads / Moirai Valentine / Chapter 2 - Tidak Bisa Berkata-kata

Chapter 2 - Tidak Bisa Berkata-kata

-Moirai Valentine-

Dear, My Princess..

Aku tidak tau harus dimulai dari mana. Karna mengekspresikan dirimu adalah hal yang terlalu luar biasa untukku. Kau terlalu wah, untuk sekedar bisa disamakan dengan berlian di atas etalasa. Bahkan tidak dipungkiri setiap aku menatap semangkok bakso di kafeteria, wajahmu selalu terbayang-bayang di dalamnya.

Maura… mungkin ada dua belas bulan dalam setahun, ada tiga puluh hari dalam sebulan, dan tujuh hari dalam seminggu.

Tapi pada kenyataannya jika aku bersamamu waktu terasa berhenti detik ini juga. Aku hanya pria biasa yang beruntung bisa bertemu denganmu di tahun pertama. Pria biasa yang hanya bisa mengamatimu dari jauh.

Terkadang aku terlalu takut untuk hanya sekedar menyapamu, aku terlalu malu untuk berhadapan dengan makhluk tuhan yang paling cantik.

Sampai detik kemaren aku masih bergulat dengan pikiranku, tapi hari ini aku bertekat untuk menggakhiri semuanya.

Maura Oktavia Magen, maukah kau berkencan denganku di hari Valentine?

Aku mengharapkan jawaban ya darimu..

Salam dari pria pengagum terberatmu,

Erlangga O. Lorenzo.

Maura mengedip-kesipkan matanya beberapa kali. Iris hitamnya terfokos membaca tulisan-tulisan yang sangat rapi, jelas tanpa harus menggunakan kacamata minusnya.

Ia menghela pelan napas panjangnya beberapa kali. Seratus kali bacapun surat itu masih tetap sama absurtanya seperti sedia kala. Penuh kenistaan dan fitnahan yang terlalu jelas.

Maura bukan gadis bodoh yang termakan begitu saja dengan surat abal-abal. Kasus ini bukan yang pertamakalinya. Bahkan tahun lalu para gadis kelas dua melakukan aksi protes masal didepan kelas sang most wanted.

Pasalnya mereka mendapatkan surat yang sama secara bersamaan. Dan tentu saja langsung dibentah keras oleh Erlang dan dua sahabatnya.

'Maaf saya terlalu kaya untuk berkencan dengan rakyat biasa.'

Si kampret beruang kutub sialan!

"Fix ini namanya hoaks yang disengaja," seru Maura seraya melemparkan surat itu ke atas meja.

"Lo yakin? Bagaimana jika surat itu asli?" Luna membuka suara.

Maura tersenyum kecut kemudian mengeling pelan. Selama tiga tahun dia menuntut ilmu di sekolah ini, nama Erlangga adalah nama yang paling populer untuk dijadiakn bahan candaan di hari valentine.

Entah kenapa dia juga kena di tahun ini, sialan!!

"Jelas tidak mungkin asli," jawab Maura santai.

"Tapi, Ra. Kalau dilihat-lihat surat itu sepertinya asli," gumam Luna sedikit berbisik. Gadis itu beringsut menggeser tubuhnya semakin mendekat kearah sahabatnya itu.

Gadis muda itu berusaha agar suaranya tidak sampai terdengar oleh Pak Arman yang sedang cuap-cuap menjelaskan tentang mata pelajaran biologinya di depan kelas.

"Tau dari mana kamu, kalo itu asli?" tanya Maura tidak terlalu antusias.

"Taulah, aku pernah melihat tulisan tangannya si Erlang. Gila rapi banggat!"

Maura melirik Luna sekilas kemudian terkekeh pelan, "Memangnya kamu pernah ke kelas mereka?"

Jelas jawabannya tidak. Kelas Erlang dan mereka tidak pernah sama sejak tahun pertama. Mereka memiliki asrama dan sistem pelajaran yang jauh berbeda dengan para pribumi seperti dia dan Luna.

'Si para orang kaya dan orang jenius..'

"Ehh… ka-kalo itu tidak perlu ditanya. Jelas!!"

"Pernah?"

"Tidak pernah, hehe.." Luna menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Maura beberapa inci. "Mereka itu terlalu Lamborghini untuk aku yang Xenia," adunya dengan wajah pura-pura polos.

Maura mendesis kesal. Inilah jika boneka Anabelle dikasih nyawa, ribet.

"Ra, bagaimana jika nanti pas pulang kita mampir ke asramanya si Erlang. Minta konfirmasi sama itu bocah." Luna memberi saran.

"Ngapain, gak ah. Nanti dikira aku ganjen lagi, ogah!" bentah Maura. Ia jelas tidak setuju dengan saran tidak manusiawi dari sahabatnya itu. Dengan kata lain si Luna sengaja menceburkan dirinya ke kolam ikan lele.

Bau, kampret!!

Luna memutar matanya bosan. "Kamu tuh ya jadi cewe agresif dikit dong. Masa kalah sama cewe jadi-jadian, pantas aja masih single, sifat malu kamu tuh tolong dikondisikan, mau sampai kapan sendirian? Nunggu kelinci bertelor? Gak akan ada dodol!"

Maura melotot, tatapannya terlempar pada sosok sahabat paling kampret sedunia.

"Aku single juga gara-gara siapa. Sudah tau sahabat lo ini naksir Bara, kenapa lo embat juga, sialan!!"

Maura tidak habis pikir dengan sahabatnya itu. Mau dibuang sayang gak dibuang makan hati.

Luna adalah sabahat wanitanya satu-satunya yang mampu pertahan dalam tiga tahun terakhir. Gadis yang suka bergosib dan ceplas-ceplos dalam keadaan apapun. Dia juga tipe gadis yang menusuk dari depan tapi jadi pihak paling pertama yang ada saat Maura terluka.

Pertemanan paling absurd, dia yang menyakiti dia juga yang menghibur, ya Gusti..

Luna menggaruk tengkuk bagian belakanngya yang tidak gatal, "A-nu itu Dede lagi khilaf Kaka.."

"Ck! Khilaf aja sampai kiamat!!"

"Siapa yang khilaf sampai kiamat?" tanya seseorang.

Degh…

Maura mengenali suara itu. Kedatangannya bersamaan dengan suara gemuruh yang datang dari langit.

Maura mendongkrak perlahan. Iris gelabnya bertatapan langsung dengan Pak Arman yang berada dalam mode waspada satu. Tatapannya hampir mirip dengan badak bercula satu yang siap menghakiminya. Suara getetukan jari-jarinya terdengar mengerikan.

Ya Tuhan, tolong hambamu ini…

Glukk..

Maura meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia melirik Luna sekilas, gadis itu menunduk seraya berpura-pura membaca buku di depannya.

'Si pengkhianat kurang ajar!' gerutunya dalam hati. Mana ada orang baca buku kebalik!!

"Maura Oktavia Magen. Kamu mendengar saya?" tanya Pak Arman.

Maura mengangguk takut-takut, "De-dengar.. Pak.." cicitnya memelan.

"Masih mau belajar kamu? Atau mau keluar?" Pak Arman memberikan pilihan.

"Boleh Pak?" sambar Luna.

Nih anak kalo urusan bolos membolos pasti langsung nyambung. Dia tidak sadar apa kalau emaknya banting tulang untuk menyekolahkannya.

"Boleh, siapa yang melarang. Tapi jangan salahkan bapak kalo nilai semester kamu berubah menjadi telur rebus."

Perkataan Pak Arman otomatis membuat seluruh penghuni kelas terbahak dalam waktu bersamaan.

***

Angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Dedauan kering berterbangan, menari-nari dalam balutan arus lembut dalam beberapa detik sebelum berakhir di atas tanah, menambah daftar sampah yang perlu mereka bersihkan.

Luna mengeluh beberapa kali sejak mereka membersihkan teras kelas. Ditambah lagi dengan tumpukan daun kering yang harus mereka bersihkan sebelum pulang ke asrama masing-masing.

"Kalau aku berdoa dengan khusu, ini daun bisa berubah jadi uang gak ya?" tanya Luna tidak jelas. Sama kaya orangnya.

Maura mengangkat bahunya, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Sedangkan Luna memilih duduk di bawah pohon seraya memandang ke halaman asrama pria.

"Kenapa aku tidak terlahir dengan wajah bak Princess Aurora dan harta seperti Pangeran Dubai. Atau paling tidak salah satu anak konglomerat jatuh cinta padaku."

Maura menepuk pelan dahinya, punya sahabat yang otaknya rada halu harap dimaklumi dan bersabar.

"Itu maunya kamu, mereka mah, ogah!" seru Maura santai dan dihadiahi denggusan kesal dari Luna.

"Terserah, ngomong-ngomong urusin tuh si bocah Erlang, tanya baik-baik mumpung dia ada tuh." Luna menunjuk kearah tiga pria yang sedang berteduh di bawah pohon tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Maura meletakkan sapunya di samping pohon, kemudian melangkah pelan mendekati Luna. "Yang mana yang namanya Erlang?" tanya Maura serius.

Ia memang mengenal namanya, jelas karan popular. Tapi untuk bertemu dengan pria itu ia tidak pernah lagi. Rupanya saja sudah rada-rada buram dalam ingatannya, maklum terakhir ia bertatap muka adalah saat Mos di tahun pertama.

"Kamu tidak tau yang mana namanya Erlang? Astaga Maura, kamu hidup di jaman apa coba, ya Tuhan!! Berikanlah pencerahan pada sahabatku ini, biar jodohnya lancar hidupnya berkah."

Kampret!! Maura mendesis kasar kemudian menendang pelan kaki Luna sampai ampunya mendekik kesal.

"WOI ERLANGGA!! MAURA KATANYA MAU BICARA EMPAT MATA SAMA KAMU!!" teriak Luna.

"YAH LUNA!! KAPAN AKU BILANG BEGITU, DAMN IT!!"

Bersambung…