-Moirai Valentine-
Maura mengangguk dengan cepet. Ia menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya dengan perlahan.
"Well, Err … Erlangga, a-apa kamu yang memberikanku surat, emhh.. i-itu surat Valentine," ucap Maura dengan susah payah.
Sial! Bahkan bibirnya bergetar hebat saat mengucapkannya. Maura melirik sedikit. Tatapannya langsung berhadapan dengan sepasang iris menawan jelas, dia tergoda.
Jika ada malaikat di dunia ini maka Maura jelas menunjuk pria itu sepenuhnya. Kenapa dia tidak mengenal sosok pria itu dari dulu-dulu, damn it!!
"OHHH.. surat apakah itu?" gurau Gilang memecah keheningan. Bibirnya tersunjing seraya melirik kearah Erlang yang mendenggus kesal entah kepada siapa.
Maura menatap Gilang yang sedang bersiul pelan. Alisnya naik turun menggodanya dengan bibir tersunjing tipis.
"Eh, kamu dapat surat Maura? Biar aku tebak, itu pasti surat panggilan kematian," balas Bintang santai. Raut datarnya hampir tidak bisa dibedakan yang mana saat ia bercanda yang mana saat dia mengejek.
"Shitt!!" Maura mengumpat pelan sambil mendesis. Satu lagi celotehan dari makhluk luar angkasa yang entah kenapa bisa nyasar dan berdiri di depannya.
Suara angin semakin mendesis nyaring, menerbangkan kembali dedaunan yang sempat mereka kumpulkan tadi. Perasaan Maura semakin tidak enak.
Jika dilihat dari reaksi tiga pria itu, sudah jelas bahwa surat yang dia dapatkan palsu. Harusnya ia tidak mengikuti saran si Luna kampret untuk mengkonfirmasinya langsung.
Bukan hanya malu yang dia dapat setelah ini. Parahnya mungkin saja ia akan dicap oleh geng anak tata surya itu sebagai wanita ganjen yang kurang belaian.
'Shitt!!'
Maura melirik Luna seraya berbisik pelan. "Sudah ku bilang kan surat itu palsu!"
Luna tersenyum seraya memamerka gigi putihnya, kemudian berbalik. "Dengar dulu apa kata si Erlang." Temannya itu kadar pesimisnya sudah stadium akhir, pantas jomblo.
Maura memutar matanya bosan, surat keramat yang ia dapatkan itu halnya dengan surat tagihan hutang dalam artian lain, sama-sama menyesakkan, kampret.
Maura tidak tau lagi apa yang katakan setelah sukses mempermalukan dirinya sendiri. Apa dia harus bersembunyi di gudang setiap hari, dan keluar saat lonceng masuk berbunyi.
Apa dia harus makan siang di atap untuk menghindari tiga pria sialan itu saat di Kafeteria?
Sampai kapan? Apa sampai mereka lulus? Damn it!!
Maura menunduk sambil menghitung berapa lama lagi mereka akan lulus. Februari, Maret, April dan Mei.
Empat bulan..
Maura tertawa dalam hati, cabut nyawanya sekarang juga, kampret! Empat bulan melakukan ritual menghindaran sama halnya membunuhnya dengan perlahan serta cara paling tidak elit.
Maura bergidik ngeri saat membayangkan tubuh kurusnya ditemukan di sela-sela tumbukan bola di dalam gudung. Pipi tirus dengan mata melotot akibat kurang makan. Kulit keriput akibat kacaunya aliran darahnya.
Fix, surat itu adalah surat panggilan kematian seperti yang dikatakan oleh Bintang, mahkluk aneh yang Maura tidak yakin jika pria itu berjenis manusia.
"Surat?" Erlang melirik kedua sahabatnya yang tengah berbisik pelan kemudian mengangkat bahunya acuh.
Erlang berdaham pelan, mendongkak seraya menatap iris gelap yang penuh tanda tanya tepat dihadapannya.
'Maura Oktavia Magen.'
Erlang mengulang-ulang kalimat itu dan melapalkannya di dalam kepalanya. Alisnya terangkat pelan.
"Iya.." ucapnya setengah berbisik. Iris abu-abunya menghindar sebisa mungkin dari tatapan Maura.
"Ehh.." Maura melototkan matanya beberapa kali. Apa dia tidak salah dengar? Iya katanya?
Demi apa? Sedalam samudra dan segersang gurun sahara. Maura seperti kejatuhan dolar dalam jumlah banyak dan sayangnya mengenai kepalanya.
Sakit kampret!!
Maura masih tidak mempercayai apa yang dia dengar. Otaknya berpikir keras, bahkan lebih keras dari mengerjakan soal biostatistik dan logaritma aljabar. Apa dunia sudah mau kiamat sampai seorang Erlangga Orion Lorenzo mengakui jika dirinya yang sudah mengririmi surat cinta versi Luna dan surat keramat penggilan kematian versinya dan Bintang.
Maura berdaham. "Err.. apa itu artinya?" tanya Maura memelan.
"Ya- i.. itu," Erlang berdaham pelan. Ia menggeruk tengguk bagian belakangnya. Pandangannya masih menghindar ke segala arah.
"Err.. Maura, maukah kau berkencan denganku? Aku sudah menyukaimu sejak tahun pertama."
Erlang mengatakan kalimatnya sama seperti membacakan teks pidato permbukaan, tanpa ekpresi dan intonasi khas anak remaja yang tengah mengajak gadis impiannya kencan.
Lelocon macam apa ini?
Maura diam beberapa saat sampai makhluk pengganggu yang ada di sekitarnya cekikikan menahan tawa.
Maura mendesis pelan, bibirnya menggerutu saat menatap Gilang yang sudah berdiri di samping Luna dan Bintang yang mengambil daun besar dan mengipas-kipaskannya pada Erlang yang kesal entah pada siapa.
Memangnya mereka pikir ia dan Erlang sedang bersitegang apa? Dasar manusia kurang kerjaan, kampret.
"Jadi bagaimana?" tanya Erlang.
Maura kembali terdiam. Ia mendongkrak, mengalihkan pandangannya ke depan, menatap Erlang yang tidak seperti yang dia dengar selama ini.
'Dia mengajakku kencan?'
Maura tau dari gossip yang terlanjur beredar selama ini. Erlangga cenderung menghindari anak-anak lainnya yang tidak berasal dari asrama mereka.
'Si rasis dengan segala tingkahnya.'
Maura masih ingat saat pria itu menolak beberapa gadis tahun lalu. Telinganya jelas mendengar jika Erlangga mengatakan dirinya terlalu kaya untuk berkencan dengan rakyat biasa. Maura tersenyum kecut saat mengingat itu.
Pertanyaannya adalah kenapa si most wanted itu kini mau berkencan dengannya yang berasal dari asrama paling bawah?
Apa dunia sudah mau kiamat?
"Kamu masih waraskan? Apa kamu baru saja jatuh dari atap?" Maura tidak percaya dengan ajakan dari Erlang. Karana dilihat dari manapun semuanya tampak mustahil secara logika.
Jika pria itu jatuh dari atap dan mengalami geger otak mustahil dia berdiri tegap di depannya tanpa luka sama sekali. Sepertinya opsi yang paling mendekati adalah opsi pertama.
Dengan kata lain Erlangga Orion Lorenzo sama tidak warasnya dengan si Bintang.
Maura mengangguk-angguk membenarkan pemikirannya.
"Aku mengerti," lanjutnya. Maura berbalik menatap Luna yang melotot tidak mengerti dan meminta penjelasan.
Maura mengagkat jarinya dan menutarnya di samping pelipisnya, seolah mengatakan jika pria yang mengajaknya kencan itu sedang tidak sehat kejiwaannya, bahasa manusianya steress alis tidak waras.
Luna menganga saat mengerti isyarat dari sahabatnya. Bintang sudah terbahak-bahak menekan perutnya saat itu.
"Maura, entah kenapa aku setuju dengan pemikiranmu saat ini." Gilang menambahkan dengan santai. Tidak peduli dengan Erlang yang mengeram kesal entah pada siapa.
Pria itu menghela berat, memejamkan matanya beberapa saat kemudian mengumpat kasar, "Shitt!! Kalian pikir aku gila apa. Yang benar saja," kilah Erlang tidak setuju. Alisnya mengerut, dengan mata memutar bosan.
Erlang berbalik menatap Maura dengan tenang. " Maura.. aku serius.."
"Terima aja Maura! Kapan lagi kamu dapat teman kencan saat Valentine. Siapa tau nantinya gak jomblo lagi." Seru Luna memecahkan lamunannya tentang kemustahilan.
"Kasian!" celoteh Bintang seraya mengelingkan kepalanya.
Kampret!!
Maura mendesis pelan, kemudian kembali menatap Erlang yang masih menunggu jawabannya. Maura menarik napas panjang, menahannya beberapa saat kemudian menghembuskannya dengan perlahan.
"Err.. kamu serius? Maksudku kamu tidak bercanda bukan?"
Erlang mengangguk mengiyakan.
"Emm, ok kalau begitu." Maura memberitahu.
Erlang tersenyum aneh, antara senang tapi dia tahan. Ia menatap kedua sahabatnya yang bersiul menggoda sebelum melemparkan ranting ke salah satu dari mereka.
"Kalau begitu, aku hubungi kamu nanti.."
"Kamu punya nomorku?" seingat Maura ia belum pernah menyebar nomornya selama ini.
"Ish, jangankan nomormu, nomor lokermu saja si Erlang tau." Seru Gilang cepat.
"Dear my princess.." Bintang tertawa saat mengatakan itu.
"Aku tidak tau harus dimulai dari mana. Karna mengekspresikan dirimu adalah hal yang terlalu luar biasa untukku," lanjut Gilang heboh dengan merentangkan kedua tangannya seolah sedang membacakan puisi dadakan.
"Kau terlalu wah, untuk seke-ehmm.."
Erlang dengan cepat mendekap mulut gilang yang embernya melebihi mulut tetangga. Netra abu-abunya mengisyaratkan pada Bintang agar ikut menyeret Gilang saat itu jua.
"Err.. Maura.. kami balik ke asrama dulu. Nanti aku hubungi.." teriak Erlang seraya menyeret Gilang dengan tidak manusiawi.
Maura mengerutkan alisnya. Ada yang aneh. Irisnya menyipit penuh curiga.
'Ada yang aneh,' bisiknya.
Bersambung….