-Moirai Valentine-
--Single itu pilihan dan jomlo itu nasib, sedangkan sial itu takdir—
Curahan hati anak kelas tiga yang dilema antara pacaran dan ujian.
--Asrama Phoenix, 08.00 Pm—
Sabar adalah satu kata yang berarti banyak hal. Kesabaran konon hak hakiki dan kewajiban yang melekat erat pada kaum waras yang memiliki otak.
Walaupun terkadang kata 'Sabar' bisa memperpendek usia seseorang, namun tetap saja kata legendaris itu menjadi kalimat terakhir yang diucapkan makhluk terzalimi seperti Maura Oktavia Magen.
Seperti kata orang kesialan itu adalah takdir, dan kenapa hal itu justru menimpanya bertubi-tubi.
Maura membenamkan kepalanya ke dalam selimut dengan telinga mawas seraya mendengarkan teman satu kamarnya yang sedang membahas proyek penyebaran surat valentine yang dikirimkan oleh pangeran Phoenix itu.
Alih-alih menyembunyikan seperti permintaan Maura. Teman-teman sekelasnya itu justru berencana menyebarluaskan agar seluruh sekolah mengetahui perihal kejadian langka yang terjadi di abad ini.
Bahkan tidak tanggung-tanggung si ketua kelas yang awalnya Maura kira menjadi pihak penengah yang masih waras nyatanya justru menjadi pemicu nomor satu yang mengusulkan menyebaran itu.
Kampret!! Lengkap sudah penderitaannya.
Akhirnya dengan kejadian ini Maura jadi sadar asal muasal kenapa kelas mereka menjadi kelas F, si juara satu paling bawah.
"Jangan hanya di sekolah, kalau perlu kita sebarluaskan di seluruh media social, biar seluruh negara pada tau." Seru Mira.
Wait?? Yang benar saja!!
Maura meremas bantal guling yang dia peluk. Masih mendengarkan dengan berpura-pura tidur.
"Lo gila ya!! Bapa-nya si Erlang kan Kepala kementrian. Bisa-bisa kita jadi prekedil setelah ini." Itu suara Luna.
Maura tersenyum kecil, akhirnya teman kampretnya itu ternyata sadar juga yang mana kolam piranha yang mana kolam ikan lele.
"Ya justru itu. Kan biar si Maura terkenal sebagai calon mantunya Bapak Mentri."
"Lo kalau mau mati ya mati aja. Jangan bawa-bawa kita. Meskipun kita tidak sejenius anak-anak Phoenix, tapi Alhamdulillah otak kita masih setingkat lebih dari lumba-lumba." Seru Melda.
Ternyata kapasitas otaknya sebanding dengan kapasitas bobot tubuhnya.
"Wahh, kalian ngejek aku gitu?"
"Sudah-sudah, gak perlu membahas hal yang tidak penting di luar isi rapat dadakan kita. Pertanyaan gua sekarang mana file yang akan kita perbanyak?" Luna buka suara. Tidak ada yang bicara setelah itu dalam beberapa menit. Maura tergoda untuk mengintip sejenak tapi ia urungkan saat itu juga.
"Ish, Lun kayanya ketinggalan di kelas terakhir."
"Lah kok gak dibawa?" Seru Luna meninggi, itu satu-satunya file yang mereka curi sebelum surat yang asli di ambil oleh ampunya. "Gimana kalo ada yang ngambil?"
"Gak bakalan ada orang kelas kita yang terakhir masuk."
"Sudahlah Lun, yang penting filenya aman. Gak ada juga yang mau ke sekolah malam-malam gini." Melda mencoba menenangkan.
Luna menghela berat, ia menatap kesal kearah temanya itu, "Lagian kenapa pakai acara ketinggalan sih."
"Lupa gua, keasikan belajar soalnya."
Luna memutar matanya bosan. Sejak kapan teman yang satu ini sudi belajar. Buru-buru mendengarkan penjelasan, orang kerjaannya kalau tidak menggambar, coret-coret buku ya tidur.
Sejahtera benar hidupnya..
"Ah gampanglah, besok kita ambil lagi."
***
Setelah satu setengah jam kemudian Maura menyusup keluar asrama saat teman-temannya sudah tertidur karena kelelahan.
Ia melompati pagar dengan gerakan cepat sebelum berlari menyusuri lorong-lorong gelab yang sudah menghadanganya.
Maura menghela berat, kenapa disaat penting seperti ini dia malah kelupaan untuk membawa sentar, jangankan sentar ponselnyapun tidak ada di saku hoodienya.
"Jalan lurus saja Maura, di paling ujung belok kiri." Maura berguman sendiri sambil mempercepat langkahnya.
Setelah sampai di dalam kelas ia langsung menggeledah kolong meja yang tadi siang di tempati oleh Mira.
Di saat yang bersamaan langkah kaki mendekat, suara sepatu yang berbenturan dengan lantai terdengar menggema jelas di telinganya.
Maura menghentikan kegiatannya dan langsung bersembunyi di bawah meja.
"CK!! Kenapa pengawas sekolah datang secepat ini sih!!" gerutunya setengah berbisik. Kertas-kertas hasil gambaran Mira juga ikut terjatuh menimpa kakinya.
Damn it!!
Ceklak..
Suara pintu terbuka berhasil terdengar di telinganya. Cahaya sentar masuk ke dalam ruangan disusul dengan suara pintu yang kembali ditutup.
Maura mengerutkan alisnya semakin bingung. Siapa yang datang? Yang jelas bukan pengawas sekolah. Pengawas sekolah biasanya hanya menjengok sebentar dan melanjutkan patrolinya.
"Tidak ada hantu di dunia nyata Erlang, jangan jadi pengecut!" Suara itu berdengung dan entah kenapa terasa tidak asing untuknya.
Maura menyipitkan matanya. Tidak ada yang bisa ia lihat, semuanya gelab. Hanya cahaya sentar kecil yang sangat minim.
"Dapat.." bisiknya seraya mengangkat sesuatu.
Meskipun tidak yakin tapi Maura merasa jika orang itu adalah seorang pria. Apa siswa lain ada yang memiliki kebodohan meninggalkan sesuatau seperti temannya tadi?
Maura terkekeh pelan, setidaknya dia bisa meminjam sentar siswa itu untuk mencari file milik Mira.
Srek.. srek..
Maura bangkit berdiri, secara tidak sengaja tumpukan kertas yang tadinya menimpa kakinya langsung meluncur jatuh dan membuat suara pelan yang berisik.
Degh…
Maura menghela napas panjang sebelum melangkah mendekati pria itu. yang entah kenapa dia merasa jika pria di depannya sedang dalam posisi mematung.
Pluk..
Maura menepuk lembut bahu pria itu.
"A-A-Anu, tuan dan Nyonya hantu. Tolong jangan makan saya, daging saya pahit, tubuh saya banyak lemaknya dari pada dagingnya. Selain wajah saya yang tampan yang lainnya tidak ada kelebihannya. Saya juga masih jomblo, belum pernah berkencan sekalipun. Baru juga mau ini."
Maura mengerutkan alisnya bingung. Apa yang dibicarakan pria ini. Kenapa malah membahas perihal daging dan status jomlo segala.
Memangnya dia kira ini acara makan memakan apa, yang benar saja.
Maura mendecih pelan. Kemudian terdiam beberapa saat. Alisnya mengerut.
'Sepertinya aku mengenali siapa pemilik suara ini?' gumam Maura dalam hati.
Erlang? Benar, ini suara milik Erlang. Maura melototkan matanya tidak percaya.
Kenapa di sekian banyak orang malam ini dia malah bertemu dengan pria yang membuatnya tidak bisa hidup tenang lagi sejak beberapa hari yang lalu.
Damn it!!
"Jika Tuan dan Nyonya setan mau melepasakn saya, maka saya akan balas budi dengan harga pantas, meskipun saya Cuma punya, rumah dua belas, tanah berhekter-hekter, kartu kredit tanpa limit, mobil sport tujuh dan pesawat jet pribadi."
Tunggu!!
Ini orang mau merendah apa meninggi?
Dari semua pengakuannya tidak ada satupun yang mencerminkan penyesalan yang hakiki, malah terkesan pamer, sialan!! Kenapa dia yang jadi kesal ya?
"Saya sama sekali tidak pernah pamir, sungguh saya anak baik dan rajin menabung."
Itu lo baru saja pamer sialan!! Ingin rasanya Maura berteriak terpat di depan telinga si Erlang.
Tampan-tampan songongnya luar biasa.
Damn it!!
Maura tidak tau harus berkata apa lagi. Mungkin ini adalah keberuntungan diatas kesiaalan yang dia alami. Dengan sengaja ia melepaskan pegengannya dari pundak Erlang.
Erlang menghela lega, "A-anu terimaksih Tuan dan Nyonya hantu. Lain kali saya akan balas budi." Ucapnya kemudian berbalik dan mendapati syok terapi kedua.
Satu detik.. dua detik.. tiga de-
"SETANNNNN!!"
"AHHHH!! SETAN!! MANA SETANNYA!! MANA!!"
"LO SETANNYA SIALAN!!" teriak Erlang.
Maura melototkan matanya. Walaupun wajahnya tidak secantik Princess Aurora, tapi ini seumur-umur dia dikatai setan, sialan!
"Enak aja!! Aku manusia tau!!" teriak Maura tidak terima.
Erlang menghentikan histerianya. Pria itu terdiam sambil mengamati beberapa saat, "Kamu Maura?" tanyanya.
"Bukan!! Ini boneka Anabelle kedua." Ketus Maura kesal.
Bersambung…