-Moirai Valentine-
--Selain dilema tentang percintaan, keraguan yang menduduki posisi kedua bagi siswa yang akan segra lulus adalah Universitas mana yang akan menampung otak ala kadarnya ini?--
----Moirai Valentine----
Sebenarnya, ada beragam alasan yang bisa digunakan Maura Magen untuk menghindar dari jelmaan boneka Anabelle dan yang lainnya. Mengingat rasa kesal dan kesialannya tadi malam sudah cukup menjadi alasan terbesarnya.
Tapi, berhubung temannya cuma mentok di kelas F, Flower doang. Kelas lain ogah temenan sama makhluk yang kadar kepintarannya di bawah bahkan sejajar dengan rata-rata.
Alhasil tidak ada pilihan bagi Maura untuk menghindar, selain itu dia juga cukup memafkan kelakuan absurd teman-temannya itu. Mungkin hanya rasa kesal yang masih tertinggal.
"Masih pagi gini kok sudah ngantuk sih Ra?" Luna penepuk bagian belakangnya sampai ia terbangun dari tidur singkatnya.
Maura mengucek matanya beberapa saat kemudian menghela berat. Mau bagaimana lagi, tadi malam dia tidur sudah pas mau subuh, itupun tidak lama, karna Luna dan Mira bergosip tentang idol mereka.
Maura mengedip-kedipkan matanya, dia menatap keadaan sekitar yang sudah tampak ramai, bahkan beberapa dari mereka mengenakan ruang kelas sebagai stadio tari dadakan, damn it!!
Inilah kenapa kelasnya selalu menjadi paling belakang, orang muridnya kelakuannya setengah waras semua.
"Ngantuk gua Lun!!" seru Maura.
"Emang lo balik dari jam berapa coba? Lagian ya lo kenapa pakai acara sembunyi-sembunyi nyariin file itu?" Luna sudah mengetahui tentang Maura yang mencari file kampret itu di tengah malam ke sekolah, tapi ia tidak menceritakan jika saat itu ditemani oleh Erlang.
Bisa hancur dunia persilatan jika Luna and dkk tau.
"Mau bagaimana lagi, itu semua gara-gara kalian yang iseng!!" ketus Maura kesal.
Setelah dia menceritakannya subuh tadi, eh ternyata Mira si kampret bin oon malah baru ingat jika dirinya menyelipkan file itu di album idol yang baru sampai tadi sore.
Sialan!!
Kampret jilid dua, damn it!!
"Sorry Ra!! Gua khilaf barusan pas manatap wajah oppa-oppa yang gantengnya minta ampun." Mira berteriak dari bangku paling ujung.
Entah kenapa toh bocah masih bisa mendengar pembicaraan mereka.
Luna mengelus pelan punggung tangan Maura, "Sudahlah, yang pentingkan kita sudah janji gak bakalan menyebarkannya tanpa seizin lo."
"Janji ya!"
"Iya janji, benaran ini. Jadi jangan marah lagi ya. Soalnya kalo lo marah perang dunia ketiga bakalan pecah."
"Ck!! Sialan Lo!!"
Luna tertawa begitu pula dengan Maura. Beginilah pertemanan mereka yang kekampretennya sudah mendarah daging.
"Ngomong-ngomong sejak kapan lo punya catatan biokomia setebal ini?" Luna mengambil sebuah buku yang tadi tidak sengaja di bawa oleh Maura. Gadis itu jelas mengetahui jika kapasitas otak sahabatnya itu tidak tercipta untuk bergelut dengan rumus-rumus serta hapalan.
Pertanyaan Luna langsung membuat gadis itu tersadar, ia langsung bangkit dan merebut buku catatan itu dari tangan Luna. "Temenin gua bentar Lun, buruan!!"
"Ngapain? Mau kemana?"
Luna ikut berdiri dan melangkah cepat mengikuti sahabatnya yang sudah berlari jauh di depan.
"Ke kelasnya Erlang mau balikin nih buku, mereka mau ujian hari ini."
----Moirai Valentine----
Maura berjalan mondar-mandir sambil menggigit jari-jarinya saat mereka sudah berdiri di depan kelasnya Erlangga Lorenzo.
Rasa gugup yang tadinya tidak ada sama sekali tiba-tiba muncul saat merasakan betapa sunyinya kelas dari asrama Phoenix itu. Berbeda jauh dari asrama mereka yang ributnya melebihi pasar malam.
Glukk..
Maura meneguk ludahnya sekali lagi.
"Ck!! Lo mau berapa lama lagi berdiri di sana, buruan di ketuk," seru Luna setengah kesal melihat kebimbangan sahabatnya itu.
"Tu-tunggu bentar Lun, aku lagi menyiapkan diri ini."
"Lama."
Tanpa menunggu aba-aba dari Maura, Luna langsung turun tangan dan mengetuk dengan keras pintu kelas itu sampai Maura mengeram kesal.
'Teman gak ada akhlak ya seperti ini.'
Maura tersenyum sinis, "Terimakasih sudah membantu membuat masalah lagi, jelmaan Anabelle," ketus Maura setengah kesal.
Luna terkekeh pelan.
Ceklek..
Suara pintu terbuka langsung terdengar di telingannya. Maura mendongkrak ke atas saat menemukan sosok Bintang di depan pintu. Pria itu mengerutkan alisnya tinggi-tinggi sebelum akhirnya menyeringai.
"Ngapain ke sini? Kangen?" serunya asal.
Maura langsung mendenggus, ya kali dia kangen. Yang ada dia enak liatnya.
"Maura?" suara lain memanggilknya di balik pintu itu.
Gilang muncul sambil membuka lebar-lebar pintu kelasnya, bahkan kini Maura bisa melihat secara keseluruhan seperti apa kelas dari anak-anak asrama Phoenix itu.
Jawabannya jelas beda jauh.. seperti kata Luna, mereka hanya rakyat biasa, damn it!!
Luna yang berdiri di sampingnya kali ini tidak banyak bicara seperti sebelumnya. Sahabatnya itu hanya melirik sekilas dan sisanya dia lebih memilih menatap ponselnya.
"Mau cari Erlang?" tanya Gilang.
Bersamaan dengan itu seluruh mata dari siswa di dalam kelas langsung tertuju kearahnya. Membuatnya bergidik ngeri saat menatap puluhan pasang mata yang seakan menatapnya penasaran dan menghakiminya.
Maura langsung memutuskan kontak dengan mereka. Gadis itu kembali menatap dua pria di depannya sambil menganggukkan kepalanya.
"Mana Erlang?"
"Sayang sekali, Erlang lagi dipanggil ketua asrama tadi. Dia lagi menghadap toh di ruangannya. Kenapa emangnya?"
Maura mengerutkan alisnya, "Memangnya dia salah apa sampai disuruh menghadap?"
Menurut gossip yang dia dengar Erlangga adalah penyumbang terbanyak donasi sekolah dan juga penghargaan akedemik, disusul oleh Bintang Pradipta.
Pertanyaannya adalah mustahil pria yang menjadi kesayangan pada guru itu dipanggil, terlebih lagi oleh kepala asrama.
"Kamu tidak tau ya, si Erlang tadi malam gak pulang ke asrama. Pas sidak dari kepala asrama Erlang tidak ada di tempat."
"Dia tidak pulang? Lalu kemana dia setelah mengantarku tadi malam?" gumanya memelan.
Bintang yang berada paling dekat dengan Maura otomatis mendengarnya.
"Lo sama Erlang tadi malam?"
"Serius??" Gilang membulatkan matanya.
"Lah, lo kok gak cerita sama aku!!" Suara Luna yang tiba-tiba ikut bergabung sukses membuat keributan dari dalam kelas yang secara tidak langsung mendengarnya.
Bisik-bisik mulai terdengar menghakiminya.
"Bukannya Erlang mengambilkan bukunya Sella tadi malam?" Seorang wanita dari dalam kelas membuka suara, dan diangguki oleh beberapa teman wanita lainnya.
"Ah, kamu yang namanya Sella Amzella?" tanya Maura tiba-tiba.
"Sella?"
Seorang wanita cantik dengan rambut lebut dan rapi berdiri. "Saya Sella Amzella," ucapnya. Suaranya bahkan tidak kalah lembut dan anggun dari kulitnya. Bahkan nada bicaranya sangat formal.
Maura tersenyum kikuh, wanita itu mendekat dengan langkah gemulai dan luar biasa anggun. Kulitnya putih bercahaya dan terlihat mulus, bibirnya tipis dengan warna merah muda alami. Secara keseluruhan dia lebih mirip malaikat dari pada manusia.
Terlalu sempurna, sangat membuat orang iri saja.
Maura menghela pelan, ia mengangkat buku catatan yang dia bawa. "Ini milikmu?"
Wanita itu mengambilnya dengan perlahan, membukanya sekilas kemudian tersenyum mengiyakan, "Benar ini milik saya, terima kasih sudah mengambilkannya."
"Err.. tidak masalah. Syukurlah jika itu milikmu, kata Erlang kalian mau ujian hari ini bukan?" tanya Maura canggung. Ia merasa jika seluruh pasang mata itu sedang menatapnya curiga.
"Anda tau tentang ujian kelas kami?" tanya Sella.
Maura menganguk pelan, "Sebenarnya Erlang yang mengambilnya dari kelas tadi malam, dia menitipkannya padaku tapi lupa mengambilnya balik."
Tidak ada yang bicara, mereka hanya saling pandang kemudian Luna mengakhiri kekakuan ini, "Sudah kan? Ayo buruan kelas pertama kita olahraga," seru Luna tanpa memberi kesempatan untuk berpamitan.
Dan akhirnya tiga orang di depan pintu itu hanya menatap Maura dengan pikiran berbeda-beda.
"Itu artinya Maura bersama dengan Erlang sepanjang malam tadi? Apa yang mereka lakukan?"
"Dia siapanya Erlang?" tanya Sella.
Bintang mendenggus kesal, dia mengangkat bahunya dan melengos ke dalam kelas.
Bersambung…