-Moirai Valentine-
Teman yang menusuk dari depan lebih baik dari pada teman yang menusuk dari belakang. Setidaknya mereka lebih baik dari si pengecut yang berpura-pura menjadi malaikat dan iblis dibelakangnya.
Tapi bagi Maura Magen dua-duanya tidak ada yang bagus. Si kampret Luna dengan segala keanehannya.
"WOI ERLANGGA!! MAURA KATANYA MAU BICARA EMPAT MATA SAMA KAMU!!" teriak Luna.
Doubel shitt!!
Maura mendenggus kesal, bibirnya memayun dengan tatapan jengkel luar biasa, "Terima kasih, wahai jelmaan Anabelle," sindir Maura.
"Sama-sama jelmaan Barongsai.." jawab Luna santai.
Kampret!!
Maura berbalik, iris hitamnya terdiam beberapa detik saat menatap tiga laki-laki yang sedang menoleh kearah mereka.
"Yang di tengah itu namanya Erlang." Luna memberitahu tanpa menunjuk langsung dengan jari jemarinya. Matanya berbinar-binar seperti menemukan setumpuk berlian bukannya tiga pria tampan.
Maura menyipitkan matanya. Ketiga laki-laki itu terlihat terkekeh pelan dengan sesekali memukul pelan bahu Erlang, pria paling tampan di antara kedua temannya. Pandangan mereka bertemu beberapa saat sebelum ia membuang muka.
"Huhhh.." Maura menghela napas panjang. Ia menekan dadanya yang terasa tidak nyaman.
Maura memang tidak terlalu mengenal Erlangga, setidaknya rupanya. Tapi untuk yang lainnya, ia sedikit mengetahuinya dari para gadis yang selalu bergosip di dalam kelas.
Erlangga Orion Lorenzo, si popular dari asrama Phoenix. Kumpulan anak orang kaya yang iQ-nya di atas rata-rata. Dia pria sempurna yang selalu dihayalkan oleh anak-anak gadis dari asrama lain dan juga Putra tunggal dari keluarga paling dihormati di negara ini.
Tubuhnya bagus, tinggi dengan kulit putih pucat yang menawan. Rupanya bak dewa Yunani dengan hidung mancung, alis yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Matanya cekung dan dalam dengan iris abu-abunya. Dilihat sekilas Pria itu lebih dominan dengan genetik Eropa bahkan Amarika.
Selain itu dia juga kaya. Hampir semua orang mengetahui jika ayahnya Erlang adalah Perdana Mentri yang keluarganya memiliki cakar dan taring dipemerintahan.
He is perfect…
Hanya saja, kelakuannya sangat di luar batas kewajaran. Kata orang Erlangga itu adalah casanova yang selalu berpetualang dengan banyak wanita di balik sifat dinginnya. Tapi ada juga yang mengatakan jika Erlangga itu tidak tertarik dengan wanita dalam tanda kutip.
Maura meringis saat mengingat itu. Jika dilihat-lihat tidak ada satupun gadis-gadis di sekolahnya yang pernah ia ajak berkencan atau sekedar berjalan bersama di koridor bahkan di aula besar.
Si beruang kutub itu lebih sering menghabiskan waktunya dengan teman se-asramanya dibandingkan berbaur dengan murud-murid lain. Sistem kasta kurang ajar!
Kata orang hidup itu sangat tidak adil. Itu bukan hoaks, tapi kenyataan.
Di sekolahnya bahkan memiliki tiga asrama yang jelas berbeda. Pertama asrama Libra yang diperuntukkan untuk anak-anak kelas bawah yang orangtuanya tidak bekerja di pemerintahan. Maura dan Luna berasal dari asrama ini.
Kedua asrama Pegaseus yang diperuntukkan untuk anak-anak kelas menengah yang orangtuanya bekerja di pemerintahan tapi sebagian besar hanya anak buah, atau mereka sering menyebutnya para pemburu. Bara dan Gio, sepupunya Luna juga berasal dari asrama ini.
Ketiga Asrama Phoenix, asrama anak-anak emas yang sebagian besar orangtuanya orang-orang penting di pemerintahan. Anak-anak phoenix memiliki sifat buruk dan mementingkan kelas dan kedudukan. Mereka cenderung menghindar dari anak asrama Libra dan Pagaseus. Mereka menganggap diri mereka lebih tinggi dibandingkan asrama lainnya. Karena mereka akan menjadi penerus orangtuanya kelak.
Maura selalu mengeluh tentang hal itu pada tahun pertamanya. Ia bahkan sudah terlalu sering membujuk orangtuanya agar dipindahkan ke sekolah lain saja. Tapi tetap saja. Sekali masuk sekolah ini akan tetap bertahan sampai hari kelulusannya.
Itulah yang membuat Maura sangat tidak yakin jika si beruang kutub itu mengiriminya surat cinta. Jika kata orang Erlangga mengirimi surat cinta sama mustahilnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami.
"Mereka mendekat!!" seru Luna tiba-tiba. sahabatnya itu menekan lengannya dengan tidak berprikemanusiaan.
Maura terkejut, ia mendongkrak. Detik itu juga jantungnya seakan berhenti berdegup. Aliran darahnya memanas, mendidih sampai ke otak.
Pandangannya sekali lagi bertemu dengan iris abu-abu yang menatapnya penasaran. Bibir tipis yang tersenyum dengan terpaksa. Langkahnya semakin mendekat, hanya berjarak beberapa meter dengan mereka. Melompati pagar tanaman dengan sangat elite.
Maura meneguk ludahnya dengan susah payah. Bibirnya membeku seketika, saat ketiga pria itu menyapanya. Bukan tapi hanya satu temannya yang menyapa mereka.
"Halo gadis-gadis," ucapnya seraya mengangkat tangannya, menyapa.
Gilang Jupiter, Maura mengenalinya. Ia juga anak emas yang berasal dari asrama Phoenix. Tubuhnya sama menawannya dengan kedua temannya hanya saja pembawaannya lebih santai dengan senyuman tipis yang tidak pernah hilang dari bibirnya.
Gilang adalah laki-laki lebih ramah dan lebih sopan dibandingkan Erlang yang cenderung dingin. Hanya saja ketampanannya tidak bisa mengubah statusnya yang jomblo sejak lahir.
Keadilan yang tidak disangka-sangka.
"Ha-halo… juga," cicit Maura gugup. Ia melirik Luna yang tersenyum mengulurkan tangannya lebih dulu. Si ular kecil kurang ajar.
"Aku Luna, teman baiknya Maura." Seru Luna.
"Oh, halo Luna. Aku Gilang kau mengenalku bukan." Gilang mengedipkan sebelah matanya serya tersenyum kecil. "Di sampingku, Erlang dan yang paling ujung itu Bintang." Gilang memberitahu.
Maura langsung melirik sekilas pada laki-laki yang tengah menghela napas panjangnya. Dia Bintang Pradipta, sahabat Erlang yang tidak kalah popular dari si pangeran phoenix.
Bintang tersenyum kecil sebelum mengangguk. Dia adalah tipe pria absurd, tukang buat onar dan pecinta kebersihan, yang otaknya lebih aneh dari pada alien. Maura sering berpapasan dengan Bintang di perpustakaan. Bahkan beberapa kali pria itu mengerjainya.
Maura mendesis pelan saat mengingat itu. Jika orang lain ke perpustakaan untuk belajar, maka Bintang keperpustakaan hanya untuk mencari tempat untuk tidur. Kampet!!
"Oi Maura si kegelapan abadi, lama tidak bertemu," seru Bintang tiba-tiba dengan nada santainya.
Luna dan Gilang langsung tertawa, sedangkan Erlang hanya mengangkat alisnya tidak peduli.
Maura memutar matanya kesal, "Ck! Si tukang tidur. Mau apa kamu menyapaku? Sudah kehabisan stok wanita kamu?"
"Wanita masih banyak, hanya saja aku terlalu bagus untuk dimiliki oleh mereka," balasnya.
Alasan klise bagi para jomblo. 'Terserah, dasar pria aneh,' gumannya dalam hati.
Menurut pengalaman Maura, dia tidak akan pernah menang jika berhadapan dengan yang namanya Bintang Pradipta. Bukan karana dia lebih pintar hanya saja Maura merasa dia terlalu waras untuk berdepat dengan pria itu, tidak lebih.
"Ehmmm…" Erlangga berdaham keras, seolah mengatakan jika dia masih berdiri ditempat yang sama. "Jadi.." ucapnya.
Suaranya semerdu burung kutilang sekaligus serak dan seksi. Maura yang tadi mengeluh langsung tersadar jika satu lagi pria berbahaya yang ada di depannya.
Si Prince Phoenix..
"Apa yang ini kau tanyakan padaku?" serunya.
Maura tidak bisa berkata-kata. Lidahnya terkunci secara tiba-tiba. ia melirik Luna yang mengangkat bahunya sambil melotot. Bibirnya bergetar, mengisyaratkan sesuatu tanpa mengeluarkan suara.
'Bicara dodol!'
Maura mengakat alisnya tidak paham. Luna mendecih kemudian berbisik pelan ketelinganya. "Bicara Dodol! Buruan, kapan lagi kita bisa bicara dengan si most wanted," bisiknya pelan.
"Apa yang kutanyakan dasar medusa!"
"Tentang surat, wahai princess lemot! Lo jadi cewe pintaran sedikit dong!' desis Luna setengah kesal.
Maura menggerutu pelan. Mereka kembali ke tempat awal mereka sambil memandangi ketiga pria tampan yang mengerut bingung kearah mereka.
"Jadi … apa sudah selesai rapat kalian?" tanya Erlangga dan ditawakan pelan oleh Bintang.
'Dasar pria kampret!'
Maura mengangguk dengan cepet. Ia menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya dengan perlahan. "Well, Err … Erlangga, a-apa kamu yang memberikanku surat, emhh.. i-itu surat Valentine.." ucap Maura dengan susah payah.
Bersambung…