Abis Maghrib kami beranjak pulang, biasanya juga begitu. Sholatnya paling berenti di Masjid tepi jalan.
Sampe di rumah kira-kira lima belas menit menuju Isya. Hari ini, aku minta di antar sampai depan rumah. Pengen juga terlihat berharga, diantar-jemput, dari dan ke rumah. Nggak kayak biasanya, aku ngerasa rendah aja, seolah dibuang di jalan.
Mau nggak mau Aldo mengikuti, meski kelihatan banget dia masih berat buat ngelakuinnya. Namun, harus, usia kita udah nggak remaja lagi, sama-sama dua puluh lima tahun.
Aku nggak tahu masalahnya Aldo ini di mana, kenapa takut banget ketemu Ayah.
Mobil Aldo udah terparkir di depan pagar. Jujur, aku juga deg-degan, tapi, ini harus dilakukan, ngenalin Ayah sama Aldo.
Pas aku turun, Aldo juga turun, dan Ayah sama Ibu udah nunggu di teras.
Kulihat Aldo menunduk saat sorot tajam mata Ayah menatap ke arahnya. Dia berjalan di belakangku. Wajah Ibu juga terlihat tegang. Hah, entahlah apa yang akan terjadi? tapi kalau nggak sekarang, kapan lagi aku harus menunggu waktu yang tepat menurut Aldo. Aku juga mau dihalalin, direstui.
Aldo menyalami Ayah dan Ibu.
Dan ia pun terpaksa diajak masuk ke dalam rumah, sebab merujuk pada prinsip Ayah tentang memuliakan tamu. Suka tidak suka, tamu tetap harus disambut dengan kata-kata baik dan wajah riang.
Aku tahu, susah payah Ayah melakukannya. Tapi, sikap beliau cukup patut untuk kuacungi dua jempol.
"Dari mana, Nak Aldo?"
Pertanyaan Ayah ambigu, jangankan Aldo, aku aja nggak tahu mau jawab apa.
"Tadi jemput Nada ke kantornya, Pak. Katanya nggak bawa motor."
Aldo tampak sungkan, ia lebih banyak menunduk, nggak berani membalas tatapan Ayah.
Tak lama Ibu datang membawa nampan berisi dua gelas teh, dan sepiring kue kering.
"Diminum dulu, Nak. Kuenya juga jangan sungkan-sungkan."
Ibu juga nggak kalah ramah. Aku sampai terheran dengan sikap orangtuaku. Kalau tahu begini, mending dari dulu aja dikenalin. Kulirik Aldo masih lebih banyak nunduk. Sementara Ayah, memperhatikan penampilannya. Bisa kulihat roman kurang sreg dari wajah Ayah. Tak masalah, soal penampilan bisa dirubah, yang penting dapat restu dulu.
Aldo meminum air yang diletakkan Ibu seteguk, kemudian ditaruhnya kembali.
"Nak Aldo sudah lama kenal Nada?"
Pertanyaan dari Ayah memaksa wajah Aldo terangkat.
"Teman kuliah saya, Pak."
Sekilas, sinar mata Ayah tampak terkejut, ia melirikku, dan aku pun ikut menunduk.
"Jadi dekat sudah lama sekali ya?"
Meski Ayah tetap tersenyum, tapi bisa dirasakan betapa terdapat penekanan dalam nada ucapannya itu.
Aldo tampak bingung, tapi ia cepat paham maksudnya.
"Dekat baru empat tahun ini, Pak."
Ayah mengangguk, sambil menatapku dan Aldo bergantian.
"Empat tahun kok tidak pernah datang berkenalan dengan kami, orangtua Nada."
Tutur kata Ayah terdengar ramah, tapi nyesek, bagiku dan Aldo.
"Maafkan saya, Pak, bukan maksudnya saya begitu ... tapi ... ."
Aldo tiba-tiba jadi gagu. Aku harus membantunya.
"Aldo belum siap ketemu sama Ayah dan Ibu. Siapnya baru sekarang,"
Aku hanya niat bantu Aldo. Namun, Ayah menatapku tajam. Apa yang salah?
Di saat situasi genting seperti ini, terdengar suara adzan, syukurlah, Ayah pasti mau ke Masjid, jadi Aldo juga bisa pulang.
"Nak Aldo, ayo kita sholat jama'ah."
Aldo menatapku bingung.
"Ayah sholat ke Masjid?" tanyaku, saat Ayah melewati hendak ke belakang.
"Jama'ahnya di rumah saja, mumpung ada Nak Aldo."
Perasaanku nggak enak.
Ternyata, benar yang kukhawatirkan, jama'ah di rumah, dengan Aldo sebagai imamnya. Apa dia bisa?
"Silahkan, Nak, yang muda harus terdepan."
Ayah sudah berdiri di syaf belakang imam, aku dan Ibu juga sudah berdiri di belakang Ayah. Di rumah ini, memang ada satu ruangan, yang di desain Ayah menjadi musholla kecil.
"Bapak saja, nggak enak saya jadinya."
Aldo tampak berkeringat dingin. Jujur aja, meski kami sudah menjalin kasih selama empat tahun, tapi untuk melihat Aldo sholat secara langsung merupakan suatu momen langka untukku.
Setiap kami berhenti untuk sholat di Masjid saja, tak pernah kutemukan ia berada di syaf laki-laki, kalau keluar mobil paling lama, sehabis sholat, justru dia sudah ada di dalam mobil.
Dibilang nggak sholat, rambutnya tampak basah, kupikir itu air wudhu.
Akhirnya, Aldo terpaksa menjadi imam. Pada saat pembacaan Surah Alfatihah, Aldo terdengar salah dalam pengucapan. Ayah bantu membenarkan. Pada ayat pendek juga, terdengar kekeliruan, dibantu lagi oleh Ayah.
Hingga sholat pun berakhir, dengan kesalahan pembacaan ayat yang fatal oleh imam. Sehabis sholat, Aldo menekur lama, mungkin dia merasa malu. Sampai pundaknya disentak Ayah pelan.
Aldo terkejut dan menoleh ke belakang.
Ayah tetap tersenyum sampai Aldo izin pamit. Kami mengantarnya hingga pagar, setelah bayangan mobil itu benar-benar menghilang.
Pagar pun ditutup oleh Ayah, yang paling terakhir masuk ke dalam rumah.
"Nada... !"
Ayah memanggilku agak keras, padahal baru masuk ke dalam kamar. Sengaja, takut dan malu banget ketemu Ayah. Aldo malu-maluin.
"Nada, Ayah mau bicara, Ayah tunggu di ruang tamu."
Aku menelan saliva. Sudah pasti ini tidak menjadi hal baik untukku. Hah! Seharusnya kurencanakan dulu jauh-jauh hari soal pertemuan ini.
"Ya, Yah. Nada tarok tas dulu."
Aku pun keluar dan langsung diiringi sorot tajam Ayah, serta tatapan cemas Ibu.
"Siapa itu tadi?" tanya Ayah sangar, jauh berbeda gurat wajahnya dengan yang tadi.
Ayah terlihat garang, tampak sangat marah. Aku jadi takut.
"Dia Aldo, Yah," jawabku pelan.
"Ayah tahu namanya Aldo, tapi siapa dia buat kamu?"
Apa mesti kujawab saja, kalau Aldo itu pacarku, yang selama empat tahun menjalin hubungan diam-diam denganku, tanpa sepengetahuan Ayah, tak diketahui Ibu. Jujur saja kah? Aku sampai berkeringat dingin. Ayah tak pernah semarah ini.
------------