Chereads / SEIN KIRI, BELOK KANAN / Chapter 8 - PERMINTAAN SEORANG AYAH

Chapter 8 - PERMINTAAN SEORANG AYAH

Minggu pagi, Alan tiba-tiba saja mendapat telepon dari Pak Abdul. Jelas, ia sangat terkejut, di hari libur begini, kenapa tiba-tiba Pak Abdul menghubungi. Tak mungkin ada masalah dengan perangkat yang mereka pasang di kantor lurah tersebut. 

Tak enak membiarkan telepon berdering terlalu lama, Alan yang tengah mencuci sepeda motor pun mengangkatnya. 

"Assalamualaikum Pak Abdul."

"Waalaikumsalam, Nak Alan. Maaf Bapak mengganggu waktu libutnya."

Suara Pak Abdul terdengar bersahaja. 

"Nggak apa-apa, Pak. Nggak ganggu juga kok, saya lagi santai." 

Alan pun memilih menghentikan sejenak aktifitasnya.

"Siang ini apa Nak Alan ada waktu bertemu?" 

Perasaan Alan jadi tak karuan. Ia ingat dengan tawaran Pak Abdul saat mereka terakhir bertemu. Perihal mencarikan jodoh. Kala itu Alan mengiyakan saja. Meski sejatinya, ia tak ingin merepotkan Pak Abdul soal itu. 

"Boleh Pak. Saya bisa. Di mana Bapak ingin saya temui?" 

Pak Abdul terdengar senang. Ia lalu menyebutkan satu lokasi tempat makan favoritnya. 

Alan mengiyakan. Pan Abdul sudah sangat baik padanya, jadi tidak enak rasanya jika menolak ajakan bertemu seperti ini, minimal buat menjalin tali silaturahmi. Sehingga hubungan mereka, tak hanya sebatas keterikatan profesional saja, tapi lebih dekat dari pada itu. 

------------

Selepas Zuhur, Alan sudah berada di lokasi. Saat memasuki rumah makan tersebut, Pak Abdul sudah tampak melambaikan tangan padanya. Alan pun segera menyusul.

"Assalamualaikum, Pak. Maaf saya telat."

"Waalaikumsalam, tidak kok, Nak Alan. Bapak saja juga baru sampai."

"Bapak sudah pesan?" tanya Alan memastikan. Sebab, ia belum melihat makanan di depan Pak Abdul.

"Belum, Bapak juga baru duduk."

"Dihidangkan aja ya, Pak."

Seraya dengan anggukan dari Pak Abduk, Alan lalu memanggil pramusaji restoran. Pak Abdul memiliki selera yang sama dengan Alan, mereka penyuka masakan Padang. 

Setelah makanan terhidang, Alan dan Pak Abdul pun menyantap makanannya. Mereka hanya sesekali berbalas kata saat makan, belum masuk ke pembahasan berat yang akan diusung oleh Pak Abdul.

Meja sudah kembali dibersihkan, sekarang hanya tinggal dua gelas teh es dingin, yang berada di hadapan masing-masing. 

"Nak Alan, ingat soal tawaran Bapak untuk mencarikan jodoh buat Nak Alan."

Dugaan Alan ternyata tidak meleset. Benar saja, Pak Abdul membahas soal ini. 

"Iya, Pak. Saya ingat." 

Alan tersenyum lebar sambil menyembunyikam kekakuannya.

"Bapak sudah menemukannya."

Dan entah kenapa, perasaan Alan kembali tidak enak. 

"Wah, saya jadi gugup. Siapakah gerangan gadis itu, Pak?" 

Alan mencoba untuk menutupi perasaannya, yang sesungguhnya. Sesuatu yang malah menjadi beban tersendiri untuknya. 

"Nada, anak Bapak sendiri."

Alan seketika menjadi pucat pasi. Bagaimana bisa ia akan menjalani proses perjodohan dengan gadis, yang diawal perjumpaan, justru dalam momen tidak mengenakkan sama sekali. 

"Kenapa, Nak Alan?" 

Pak Abdul menangkap kecemasan dari wajah Alan, hanya saja, ia seolah ingin mengabaikan. 

"Nggak kenapa-napa, Pak." 

Buru-buru Alan meminum teh es miliknya. 

"Apa Nak Alan sudi, Bapak jodohkan dengan anak Bapak sendiri?" 

Pertanyaan dari Pak Abdul ini bahkan lebih berat dari sidang skripsi atau interview pekerjaan. 

"Saya sih, nggak masalah, Pak, cuma Mbak Nadanya mau tidak sama saya."

Pak Abdul tersenyum kemudian. 

"Nada itu usianya sudah dua puluh lima tahun, dan sebagai orangtua, kami memiliki keresahan tersendiri   akan masa depannya. Bukan soal uang atau tahta. Ini lebih kepada akhiratnya, Nak Alan. Jadi kalau Nak Alan mengkhawatirkan soal Nada, itu sudah menjadi urusan Bapak, tak perlu pikirkan akan hal itu."

Bagaimana ia tidak akan memikirkannya? Menikah bukan urusan gampang. Ini lebih kepada kesediaan satu sama lain untuk saling terikat. Jika salah satu pihak merasa terpaksa menjalani, dampak ke depannya tentu juga akan menjadi rumit.

"Bapak tentu mau Nada mendapatkan jodoh, yang mengutamakan agama di atas segalanya. Bapak tidak mau menyerahkan Nada ke orang yang salah."

Pak Abdul menghela nafas. Ia mungkin ingat kejadian kamis malam lalu. Saat, dengan tegas ia katakan, akan mencarikan jodoh terbaik untuk Nada, mau tidak mau, suka tak suka. 

Alan mengangguk saja mendengarkan penuturan Pak Abdul.

"Bapak harap, Nak Alan mau mempertimbangkannya."

Mendengar permintaan Pak Abdul tersebut, Alan jadi merasa tidak enak. Ia seolah berada dalam kebimbangan. Perasaan yakin terhadap Nada jelas belum ada sama sekali, hanya saja rasa ketertarikan itu memang sudah ada, mengingat dirinya adalah pria normal, yang juga suka melihat keindahan. 

"Boleh beri saya waktu, Pak. Sebab ini menyangkut masa depan juga. Sama seperti halnya Bapak, saya juga ingin tak ada penyesalan nantinya, terlebih untuk kami yang menjalani."

Pak Abdul mengangguk, "Nak Alan mau memikirkannya saja, Bapak sudah sangat senang sekali."

Alan tersenyum canggung, sambil menatap jauh ke depan. 

------------

Di rumah, Alan juga membicarakan perihal ini kepada Bapak dan Ambunya. Sebab, orangtuanya itu juga sudah resah dan gelisah, di usia yang mau tiga puluh tahun, Alan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan menikah. 

"Ambu jadi tak sabar ingin ketemu." 

"Bapak juga, Lan. Bawa lah dia ke sini, kenalkan ke Bapak dan Ambu."

"Ke Lana juga dong, kan calon Kakak Ipar Lana."

Alana adik Alan, yang berusia lima belas tahun menyela pembicaraan Kakak dan orangtuanya. Ia mendorong kursi roda hingga ruang tamu, tempat di mana Alan tengah duduk bersama Bapak dan Ambu. 

Alan tersenyum melihat adiknya, yang mengalami disabilitas tampak ceria mendengar kabar tersebut. 

"Aa' belum bisa bawa calon kakak ipar Lana, sebab dia masih dalam proses penilaian."

"Aa' ada fotonya, sini Lana terawang."

Mendengar ucapan lugu dari si bungsu, membuat orangtua serta Alan tertawa. 

"Belum punya, Dek. Kamu mau kakak ipar yang kaya apa?"

Alan menarik kursi roda adiknya semakin mendekat. 

"Lana mau yang cantik, yang baik, yang sayang sama Lana, kayak Aa' sayang Lana."

Alan tersenyum sambil mengusap kepala adiknya. 

"Nanti Aa' cari dulu ya." 

Lana mengangguk. Ia tersenyum lebar.

"Bapak, Ambu. Saya nggak yakin, tapi, nggak ada salahnya kan, kalau mencoba mengenalinya dulu," tukas Alan sambil menatap kedua orangtuanya lekat. 

"Kamu yang menjalani kehidupan ini kelak sama dia. Bapak dan Ambu tak ada masalah, selama kamu nyaman dan yakin dengan pilihanmu. Seperti kata Lana tadi, hendaknya yang juga sayang sama keluarga kamu, Lan. Jangan cuma mikirin kamu saja."

Benar kata Ambu. Sejatinya pernikahan itu adalah menyatukan dua kepala, yang pastinya akan terdapat banyak perbedaan, dengan tujuan untuk saling melengkapi.

Bisa menerima kekurangan satu sama lain, menjadi wadah untuk mempersatukan dua keluarga sehingga terciptalah keluarga besar, yang juga akan saling melengkapi. 

"Jadi kapan kamu bawa ke rumah, Lan?"

Lhaaa, Bapak!

------------