Chereads / SEIN KIRI, BELOK KANAN / Chapter 9 - TAK KENAL MAKA TAK SAYANG

Chapter 9 - TAK KENAL MAKA TAK SAYANG

Tiga hari berikutnya, telepon dari Pak Abdul kembali masuk. Alan sedang bersama Zylan, makan siang di ruangannya. 

Alan sempat termangu. Ia belum tahu apa keputusan yang akan diambil, mengingat, antara dirinya dan Nada belum saling mengenal. Bahkan, mungkin saja, Nada masih menyimpan sakit hati atas perlakuannya beberapa waktu lalu. 

"Pak Abdul? Kok nggak lo angkat?" 

Zylan melirik layar ponsel Alan yang tergeletak di atas meja. 

"Gua nggak tau mau jawab apa."

Tak hanya pada keluarga, Alan juga menceritakan permintaan Pak Abdul ke Zylan, satu-satunya sahabat yang ia percaya dan kenal baik. 

"Kalo liat perawakan Pak Abdul dan sikap santunnya, gue rasa anak gadisnya itu pasti cantik dan lembut."

Alan menatap Zylan protes, saat kata lembut itu disematkan pada Nada. Ia belum menceritakan tragedi yang dialami bersama gadis itu.

"Cantik, iya. Tapi, lo akan berubah pikiran setelah denger cerita gue ini."

Alan pun menceritakan kisah tragis dimaki-maki Nada saat berkunjung ke rumahnya. Hal itu, cukup menjadi bukti betapa gadis itu sangat jauh dari kata lembut.

Zylan sampai tak menduga, bahwa yang baru saja diceritakan oleh Alan tadi sebuah kenyataan.

"Pengen liat langsung."

"Lo mau ngapain emang kalo ketemu dia?"

"Pengen gue nilai lah, cocok nggak buat loe."

Alan hanya tertawa sambil geleng-geleng. Ia telah membereskan sisa makannya, sementara Zylan masih berkutat dengan macam-macam sambal yang belum juga habis. 

Telepon dari Pak Abdul kembali berdering. 

"Udah angkat aja. Mana tahu bukan soal itu. Kali-kali Pak Abdul ada kendala sama sistem yang dibeli dari kita."

Ada benarnya juga. Alan pun kemudian menjawab telepon tersebut. 

"Assalamualaikum, Pak."

"Waalaikumsalam, Nak Alan. Maaf nich, Bapak ganggu waktunya."

"Saya yang harusnya minta maaf, tadi nggak sempat angkat telepon Bapak."

Beberapa detik, mereka seolah saling berbalas senyum dari sambungan telepon. 

"Oh iya, ada apa, Pak? Apa ada kendala sama software atau perangkatnya?" 

Alan mencoba berinisiatif menanyakan hal yang semestinya dijadikan penyebab, kenapa Pak Abdul sampai menghubunginya. Namun, ternyata dugaannya salah. 

"Soal komputer, semua alhamdulillah baik-baik saja, Nak."

Tawa renyah Pak Abdul terdengar dari balik ponsel, membuat Alan merasa, seolah Pak Abdul sedang berada di sampingnya. 

"Alhamdulillah kalau nggak ada kendala, Pak."

"Iya, Nak Alan. Cuma ini, soal yang Bapak bahas waktu itu."

Pak Abdul terdengar ragu-ragu, walaupun Alan sudah tahu maksud dan tujuan sebenarnya. 

Alan tak menjawab, pemuda itu hanya memperdengarkan tawa kecilnya, demi mengusir perasaan gundah gulana di dalam dada.

"Bagaimana Nak Alan? Keputusannya?"

Jantung Alan berpacu kencang. Baru kali ini ia menemukan kondisi serupa yang dialami sekarang. 

"Jadi begini, Pak. Bukannya saya menolak, hanya saja, saya juga perlu mengenal sosok yang akan dicalonkan dengan saya. Meski dengan Bapak saya terbilang cukup dekat, tapi tetap saja, perlu sekali untuk bisa tahu, bagaimana sikap dan prilaku Mbak Nada yang sebenarnya."

Alan sudah bersusah payah mencari kata-kata yang tepat untuk digunakan. Dan ia sangat berharap, semoga Pak Abdul tidak tersinggung dengan penyampaiannya barusan. Secara halus, Alan menolak, sebab Nada bukanlah tipe ideal, yang ia rasa saat ini.

"Nak Alan boleh melakukan ta'aruf. Bapak akan dengan senang hati menerima. Bukankah memang disarankan melakukan proses ini dulu sebelum memantapkan hati memilih calon pendamping."

Alan menepuk dahi pelan. Ternyata kalimat penolakannya memang sangat tidak tepat. 

"Bapak tidak ingin Nada terjerumus ke dalam dosa-dosa maksiat. Jujur saja, Bapak sangat cemas memikirkan dia. Saat ini, Nada sedang dekat dengan seorang laki-laki,  yang sama sekali tidak memiliki kriteria untuk menjadi imam yang baik bagi Nada. Karena itu lah, Bapak memberanikan diri meminang Nak Alan untuk Nada."

Kalimat Pak Abdul tersebut, lebih terdengar seperti sebuah curahan hati. Alan bisa paham keresahan seorang Ayah, yang tidak ingin melihat anaknya bergaul bebas dengan laki-laki yang bukan mahromnya. 

"Saya bisa paham, Pak Abdul. Hanya saja, Nadanya bagaimana? Kalau memang seperti yang Bapak ceritakan, saya rasa dia akan menolak untuk dijodohkan dengan saya."

Akhirnya Alan menemukan alasan yang tepat. Menurutnya. 

"Soal Nada, Bapak pernah bilang, Nak Alan tak perlu risau, itu urusan Bapak. Karena pada dasarnya, Nada anaknya nurut kata orangtua."

Tak ada lagi yang dapat dilakukan Alan, selain mencoba untuk mengenali Nada dengan caranya. 

Sejak putus hubungan dari Yani, tujuh tahun silam, Alan terus menerus memperbaiki diri, mendalami ilmu agama, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. 

Karirnya semakin menanjak. 

Sehari setelah putus dari Yani, ia ditunjuk menjadi Eksekutif di perusahaan yang sekarang, Indonesian Machine Company atau sering disingkat IMC. 

Sejak menjadi CEO di IMC, perlahan Alan membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih layak. Membelikan rumah yang bagus untuk Ayah, Ambu dan Reyna. Ia juga tidak memperbolehkan Pak Ali, Ayahnya terus berjualan bubur keliling. 

Sebagai anak laki-laki, Alan memang memiliki cita-cita untuk membahagiakan keluarganya. Memberikan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Berangan-angan ingin membuat Reyna dapat merasakan berjalan seperti dirinya, meski dengan bantuan kaki palsu.

Dan, yang paling utama dari semua itu adalah, bisa menginjakkan kaki ke tanah suci berempat, atau mungkin berlima dengan istrinya kelak. 

"Baiklah, Pak. Saya akan lakukan," ujar Alan pada akhirnya. 

Pak Abdul juga seorang Ayah yang patut untuk diberikan kebahagiaan. Jika dengan cara ini, sudah bisa membuatnya senang, Alan akan lakukan, sambil terus berdo'a, agar Allah permudah segala urusannya. 

Jika memang Nada tak bisa dipaksakan untuk menjadi istrinya, ia tidak akan melakukannya. Namun, Alan percaya, bahwa apa yang dipilihkan Allah, adalah yang ia butuhkan, meski terkesan tidak diinginkan. 

Semoga saja, ia akan dapatkan yang terbaik. Bukankah wanita baik-baik untuk lelaki baik-baik, pun sebaliknya. Jodoh adalah cerminan diri. Alan percaya,  siapapun gadis yang akan Allah tetapkan untuk menjadi istrinya, adalah memang yang terbaik dari yang baik. 

Permasalahannya sekarang, bagaimana cara meyakinkan diri, bahwa seseorang itu memanglah dia yang dipilihkan oleh Allah. 

"Terima kasih, Nak Alan. Bapak sangat senang sekali mendengarnya. Kalau begitu, Bapak tutup dulu teleponnya ya. Assalamualaikum,"

"Baik, Pak. Waalaikumsalam."

Alan tercenung, "Apa yang harus gue lakukan, Bro?" tanyanya pada Zylan, yang tengah sibuk memotong daging.

"Meneketehe."

------------