Chereads / SEIN KIRI, BELOK KANAN / Chapter 27 - CEMBURU (2)

Chapter 27 - CEMBURU (2)

"Sudah, kamu diam aja. Biar saya urut, supaya sakit kepalanya mereda. Abis itu kamu boleh istirahat." Alan seolah tak mempedulikan peringatanku tadi. Ia terus mengoleskan minyak angin di tanganku, lalu mengurutnya. 

"Auw! Sakit!" 

Rasanya sakit, saat ia menekan daging di antara jari telunjuk dan jempol ini. 

"Kamu itu masuk angin, ini aja keras kok. Udah, tahan sebentar, nanti juga enakkan."

Enakkan apaan? Dia terus membuatku terpekik. 

Menit kemudian, rasa sakitnya memang jauh berkurang, apalagi saat ia mengurut di bagian kepala. Entah bagaimana selanjutnya, aku sudah tertidur pulas. 

Saat bangun, tak kutemukan ia di dalam kamar. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Apa dia ke masjid? Aku bangkit dari atas tempat tidur, berencana hendak mencarinya. 

"Bu, liat dia nggak?"

Kebetulan bertemu dengan Ibu, yang sedang mengurus tanamannya di teras. 

"Dia siapa? Tidak jelas pertanyaannya," jawab Ibu tanpa menoleh padaku, tetap sibuk dengan aktifitasnya.

"Si Alan."

"Hust, kamu itu, nyebut suami kok kasar begitu. Dosa tau, meskipun dia tidak mendengar, tapi Allah dengar lho kamu nyebut dia seperti apa."

Duh, iya deh. 

"Aa' Alan, Ibu. Ke mana suami Nada? Ibu lihat, tidak."

Ibu tersenyum, "Nah begitu dong, enak didengar. Tadi, abis bikin kamu teriak-teriak di kamar, Nak Alan bilang mau keluar sebentar, ada urusan, Ibu nggak tau ke mana."

Ha? Ibu ngeres nih, aku dikira ngapa-ngapain sama Alan tadi di kamar, padahal hanya mengurut tangan dan kepala saja, kok. 

"Senyum Ibu kok gitu?"

"Ibu paham, Ibu juga pernah begitu. Meski sudah hari ke sekian, tapi sakitnya memang tetap terasa," jawab Ibu sambil menepuk-nepuk lenganku pelan. 

"Apaan maksud Ibu? Gitu-gituan? Enggaklah, orang Nada lagi datang bulan." Aku harus segera meluruskan. Gila saja, siang bolong teriak-teriak karena itu. 

"Owalah, gagal dapat cucu toh." Kekecewaan terekam jelas di wajah Ibu.

Maafkan Nada, Bu. Anakmu ini belum siap, terlebih harus memperjelas dulu hubungan Alan dan Yani, apaan? Kalau memang hanya sekedar mantan, untuk apa ia harus datang lagi, 'kan Alan sudah bilang jika ia telah menikah. 

Hanya seorang istri yang berani melakukannya, dengan alasan memperjuangkan haknya sebagai istri, yang tercampakkan. Inilah yang kupikirkan sejak tadi. Entah kenapa, rasanya aku merasa dibohongi. 

Bagaimana kalau bertanya pada teman-temannya? Zydan itu mungkin. Namun, aku tak punya nomor kontaknya. Mau ke kantor mereka, juga tak tahu alamatnya. Statusku saja yang istri dia, segala sesuatu tentang Alan, sama sekali tidak begitu kuketahui. 

Inilah kelemahanku, mungkin. Coba kutelepon saja dia. 

[Assalamualaikum.]

Cepat sekali diangkatnya. Baru pertama kali memang, mendapat telepon dariku. 

"Aa' di mana?" tanyaku, tentu saja dengan rasa ingin tahu yang besar. 

[Ini. Saya sedang ada pertemuan dengan klien, karena tidak berada di kantor, jadi Zydan mengarahkan untuk bertemu di luar saja. Mereka butuh cepat soalnya.]

Klien? Kenapa pikiranku langsung tertuju pada wanita itu?

"Kenapa harus sama Aa'? Katanya masih cuti." Sebagai istri, aku protes dong, selagi cuti, waktunya harus penuh untukku. Kami 'kan harus saling mengenal dulu. 

[Iya, tapi meskipun begitu, saya tetap harus memberikan kontribusi penuh terhadap perusahaan.]

Mana ada dalam kamusku hal seperti ini. Cuti, ya cuti. Tidak boleh ada gangguan atas nama pekerjaan. Aneh saja Alan ini, sebegitu amat.

"Aa' pasti ada penggantinya, 'kan? Atau jangan-jangan klien ini penting lagi?" Pikiranku memang sudah terkontaminasi.

[Setiap klien itu penting, Nada. Saya akan selalu memberikan layanan terbaik untuk semua klien yang datang ke perusahaan.]

"Bukannya ada Mas Zydan itu. Dia 'kan bisa menghandle. Waktu cuti itu nggak boleh diganggu untuk urusan pekerjaan, A'," protesku berkelanjutan.

[Iya, saya paham maksud kamu, tapi klien ini hanya mau langsung saya yang menangani. Impactnya luar biasa untuk perusahaan, karena mereka ingin membeli dengan jumlah banyak, karena itulah, Zydan pun terpaksa meminta saya untuk menyediakan waktu bertemu dengannya.] 

Apa pun alasannya, tetap saja tak bisa kuterima. "Siapa sih? Apa yang kemaren nelpon?"

[Iya, perusahaan tempat Yani bekerja. Saat ini, kami sedang bersama pimpinannya juga. Ya sudah, nanti bicara lagi di rumah, ya. Saya lanjutkan dulu meetingnya, biar bisa cepat pulang.]

Kembali, hatiku seolah diserang puluhan sayatan silet, perih sekali. Aku bahkan sampai meremas ponsel di tangan, mematikannya tanpa aba-aba, lalu masuk ke dalam kamar juga tanpa memedulikan Ibu di luar, yang sejak tadi memperhatikanku. 

Kubanting pintu kamar dengan kuat. Sakit sekali hati ini. Ia tega meninggalkanku di rumah, saat keadaanku sedang sakit seperti sekarang, hanya untuk bertemu dengan wanita itu. Menjengkelkan sekali!

------------