Chereads / SEIN KIRI, BELOK KANAN / Chapter 28 - KEBETULAN YANG KURANG SIP (1)

Chapter 28 - KEBETULAN YANG KURANG SIP (1)

Semalaman, aku diamkan saja dia. Malas rasanya memulai untuk bicara, karena tidak ada hal yang akan dibicarakan. Sejak dia pulang, hingga keesokkan harinya. Aku berdiam diri saja di bawah selimut. Saat ditanya, kujawab sedang sakit datang bulan. Jadi, dia urung dengan sendirinya. 

Siang ini, aku pindahan juga ke rumah baru sesuai kesepakatan, meski perasaan masih belum enak. Kurasa memang lebih baik tinggal berdua saja, karena ketika bermasalah seperti ini, bisa bebas untuk menyelesaikannya tanpa hambatan. Terserah mau melakukan apa pun di sana. Kalau di rumah Ibu, aku masih tertahan untuk mengeluarkan rasa, padahal di dalam dada sudah 'nyelekit' sekali, hendak dimuntahkan. 

"Kamu baik-baik di sana. Jangan bangun kesiangan, jangan tidur terus kerjaannya. Bantu-bantu beresin rumah. Jangan ngelawan sama suami," bisik Ibu saat memelukku. Rasanya ingin menangis, tapi tidak jadi, karena melihat Ayah dan Ibu cerah sekali wajahnya melepas anak semata wayang keluar dari rumah ini. 

Ya Allah, rasa sedih karena merasa dibuang, kembali merayapi rongga dada. 

"Dadah, Ayah, dadah, Ibu. Nada pasti akan sering pulang," kulambaikan tangan dengan mata berkaca-kaca, tetapi sekali lagi senyum Ibu bertambah lebar. Ya Allah, teganya Ibu, tidak ada sedikit pun kesedihan di wajahnya. 

Saat sampai di rumah, tak ada lagi yang perlu dibereskan, semua sudah tertata dengan rapi. Hanya barang-barangku dan sedikit pakaian Alan, yang perlu dibenahi di kamar tidur kami. 

"Saat ini kita telah tinggal berdua. Apa kamu tidak keberatan jika kita tidur di kamar, dan ranjang yang sama?" Pertanyaannya membuat dadaku panas. 

"Aku 'kan udah robek kertas itu, kenapa Aa' masih ungkit-ungkit aja terus!" Bawaannya ingin marah saja. 

Alan tampak terkejut, tapi memang dasar kurang peka. Ia tak bertanya lagi, apa yang terjadi padaku. 

*

Hari-hari berlalu normal saja. Ia pun telah masuk kerja kembali, selang tiga hari kepindahan kami ke rumah ini. Seperti biasa, sebisa mungkin kubuatkan sarapan untuknya. 

Setelah mengoles roti dengan selai, kuletakkan di atas piring, kemudian kubuatkan teh manis hangat untuknya. Saat dia turun ke bawah, aku langsung beranjak ke sofa tengah, menghidupkan televisi layar lebar sekali itu, dan menyetel acara gosip di pagi hari, sambil menikmati roti yang juga sudah kuolesi selai coklat. 

"Nada, kenapa kamu suka sekali nonton acara gosip?"

Ah, kupikir ia akan santap sendirian di meja makan, tahu-tahunya malah mendekat ke tempatku. 

"Eh, kenapa memangnya? Aku suka dengar gosip artis," jawabku sewot. 

"Kenapa kamu suka mendengarnya?" 

"Karena hiburan, 'kan jadi tau tentang kehidupan mereka."

Alan tersenyum, ia mengunyah roti tawar yang sudah kuolesi coklat tadi. 

"Jadi, mendengar berita tentang kehidupan orang lain itu hiburan, ya?" Alan mengangguk-angguk seolah sedang mencemoohku. 

Tatapan tajam seketika melesat ke arahnya. "Ya nggak semua juga kali, artis mah hidupnya konsumsi publik, lain sama yang ono, nggak jelas beud." Aku bicara menirukan gaya-gaya anak 'alay', sambil membolak-balikkan bola mata dan mengubah suaraku seperti orang tercekik. 

Alan menyemburkan makanan yang sedang ia santap, "Astaghfirullah." Ia lalu terkikik sambil berdiri, dan kembali ke meja makan. Tak lama, ia pun balik lagi untuk mengelap bekas semburan roti di lantai, dengan tisu. 

"Makanya, kalau makan, jangan suka ketawa nggak jelas. Aneh," gerutuku sambil terus asik dengan tontonan. 

Alan tak menggubris, ia lantas bersiap hendak pergi bekerja. 

"Saya berangkat dulu. Nanti kalau mau makan, kabari saya ya, biar saya kirimkan go food ke rumah," ujarnya seraya menyodorkan punggung tangan ke wajahku. 

Duh, nutupin orang nonton saja. Segera kuraih tangannya itu, lalu ditempelkan ke dahi. "Iya, nanti aku WA." Begitu saja caraku menjawab, memang istri tidak tahu diuntung. 

Aku mengantarnya hingga pagar, lalu menutupnya kembali. Namun, saat akan masuk ke dalam, seseorang terdengar memanggil namaku. 

***