Kenapa Alan menuduhkan sesuatu yang sebenarnya memang kulakukan? Kenapa dia bisa dengan santainya mengatakan hal tersebut? Meski mengetahui aku menguping pembicaraannya. Mengapa dia tidak tergagap atau memberikan ekspresi yang bagaimana gitu, khas orang ketahuan melakukan suatu kesalahan? Kenapa dia biasa-biasa saja lagaknya? Menyebalkan sekali.
"Ya ngupingnya, 'kan cuma satu arah, omongan Aa' aja, dia bilang apa, aku 'kan nggak tahu." Aku duduk di atas tempat tidur sambil melihatnya berganti pakaian.
"Sudah, jangan banyak tanya dulu, ganti pakaianmu." Dia memintaku berganti pakaian lagi.
Ya sudahlah, dengan keengganan yang teramat sangat, kuganti juga pakaian tidur ini.
Tak lama terdengar percikkan minyak disemprotkan, seketika tercium aroma lembut, yang menurutku wangi sekali. Tatapan curigaku langsung menyorotnya.
"Kenapa pake parfum segala sih, A'?" tanyaku setengah protes.
"Biar nggak bau aja. Tadi, 'kan saya udah tidur, terbangun karena mendapat telepon."
"Nggak bau kok! Mentel banget mau ketemu mantannya, pake wangi-wangian segala. Ketemu sama Allah, baru wajib wangi." Eh, mulutku kembali lancang. Ya Allah.
Detik kemudian, Alan membuka pakaian yang tadi ia percikkan dengan parfum, lalu mengambil pakaian lain untuk ia kenakan.
"Makasih, ya, kamu udah ingetin. Saya tunggu di mobil," ucapnya sambil tersenyum ramah. Tidak marah sama sekali, memang lelaki sempurna. Aku terpesona.
*
Sesampainya di sebuah rumah, aku diminta Alan untuk ikut turun. Rumah ini pagarnya tak dikunci, jadi kami bisa masuk dengan leluasa. Saat berada di depan pintu, Alan mengetuknya sekali seraya mengucapkan salam.
"Assalamualaikum."
Entah kenapa, jantungku berdegup dengan kencang. Ada rasa lain di dalam jiwa ini, mana kala menemani suami sendiri berjumpa dengan sang mantan, di rumahnya pula.
Tak lama, terdengar suara sahutan dari dalam. "Waalaikumsalam." Mengibakan sekali bunyinya, apa dia sakit?
Saat pintu dibuka dan ia melihatku, matanya sedikit melebar, mungkin terkejut. Tidak menyangka 'kan, Alan datang bawa istrinya. Begini yang namanya lelaki sejati, meski semenarik apa pun mantannya, istri tetap akan menjadi prioritas utama. Akal bulus Yani terguncang, ketika kenyataan, tak sesuai dengan ekspektasinya. Aku tahu itu, sesama wanita harus saling mengerti.
"Mbak, mukanya pucat, Mbak sakit?" Dari pada Alan yang melakukan hal ini, lebih baik aku. Segera kusongsong Yani, lalu memapahnya kembali ke dalam, untuk duduk di ruang tamu rumahnya.
Tubuhnya sedikit menegang saat tanganku menyentuh lengannya. Kenapa? Tak suka gelay, ya? Kalau disentuh suamiku, mau? Enak? Dasar gatel.
"Iya, Mbak. Saya sedikit pusing." Jawabannya membuat dadaku semakin panas. Sedikit pusing saja, harus ya, memanggil suami orang datang ke rumahnya malam-malam. Ulet bulu sekali anda. Ingin kucakar-cakar wajahnya itu, tapi harus kutahan, demi harga diri. Wanita cantik itu hendaklah selalu elegan, meski hati tertekan.
"Gimana, apa jadi diantar ke kliniknya? Saya sudah jauh-jauh datang lho ke sini. Untung istri saya mau menemani," ujar Alan pada si Ulet.
Tatapanku langsung tertuju pada wanita itu, yang bersandar lemas di sofa. Ia kemudian mengangguk lemah, dan menatap Alan dengan sorot yang bisa kupastikan, itu tatapan zina. Sebagai istri aku harus menyelamatkan suami dari perangkap kenistaan. Meskipun, Alan tak membalas tatapannya, tetapi justru sibuk mengarahkan pandangan pada ponselnya, aku harus tetap waspada membentengi.
"Kalau begitu, ayo, Mbak. Sini aku bantuin, buat ke mobil."
Mendengar ucapanku tersebut, Alan pun berdiri dan keluar, sementara aku, membantu si Ulet untuk berjalan menuju mobil.
"Aduh, saya bisa sendiri, Mbak," katanya terkesan risih dengan bantuanku.
"Oh, nggak apa-apa, Mbak. Katanya sedikit pusing, nanti jatuh, 'kan bisa jadi bertambah-tambah pusingnya," balasku dengan penekanan, agar ia paham, kalau aku tidak suka tindakannya ini.
Ia tetap melepaskan diri dan tanganku, yang mencoba terus memapahnya.
"Saya nggak sakit-sakit banget kok, jadi lepasin aja, ya, Mbak, saya bisa jalan sendiri," ucapnya terdengar ketus kepadaku.
Kok aku jadi merasa aneh sendiri, seolah-olah akulah ulet bulu yang sebenarnya. Apakah memang benar, dia istri sah dan aku pelakornya? Kulihat ke arah mobil, Alan tampak memperhatikan, entah siapa yang ia lihat, aku atau wanita ini?
------------