"Selamat pagi, Mbak Diara."
"Ini saya, Keanu. Ayahnya Genta. Kita tadi bertemu di tempat fitness."
"Kemarin juga kita bertemu di sekolah Genta."
"Maaf, saya lancang meminta kontak Mbak Diara pada Bu Anye."
"Jika ada waktu luang, bolehkah saya mengajak Mbak Diara makan malam?"
Anye menatap deretan pesan di layar ponsel Diara. "Umurnya padahal baru 34, tapi kok ... formal gini, ya, bahasanya."
"Cowok kalau kebanyakan kerja gitu. Definisi lelaki cool masa kini. Bersikap dingin, bicara seperlunya dan tanpa basa-basi. Terus kalau ketemu sikapnya kaku," cerocos Diara.
"Lo kayak yang udah paham banget cowok?" Anye tersenyum miring.
"Kalau gue hitung, sepuluh jari ini ...." Diara menyimpan bungkusan snack di atas pahanya, mengangkat seluruh jemarinya ke atas. "Enggak cukup buat menghitung jumlah lelaki yang udah nembak gue!"
"Slow aja, Bu. Enggak usah sewot. Gue percaya banyak cowok ngantri buat jadi kekasih elu," sindir Anye. Lalu menyimpan ponsel Diara di atas meja. "Terus, kenapa enggak dibales?"
"Males, lah. Gue niatnya 'kan, cuma buat minta tolong, tapi kok ... dia kayak yang udah nerobos lampu merah duluan, ya?"
"Nah, itu. Gue juga heran. Padahal gue belum bilang apa-apa. Kalian ketemu kemarin juga itu dadakan, enggak sengaja nyuruh dia datang ke TK. Tapi kok, dia ...." Anye tampak berpikir. "Jangan-jangan, dia udah jatuh cinta pada pandangan pertama sama lo, Di?"
Diara yang sedang mengunyah keripik kentang, menganga seketika. "Bullshit," cibirnya kemudian.
"Cobain aja dulu. Gimana?"
"Cobain apanya?"
"Makan malem sama dia," ucap Anye kesal.
Diara meraih botol minuman di depannya. "Lo inget, ya, Nye. Niat gue itu, jalan sama dia di tanggal 14, doang. Cuma beberapa jam. Paham?" Lalu meneguk jus jeruk itu.
"Cih, gue kira ... dengan ini lo ...."
"Lo mau gue menjalin hubungan serius sama dia?" tebak Diara sambil menyimpan kembali botol di atas meja.
Anye menyandarkan tubuh, pandangannya menerawang. "Pertama ketemu Mas Keanu, jujur gue juga tertarik sama dia. Ganteng, ramah, sopan, sayang anak. Tapi ... gue juga takut kalau mesti terlalu jauh menyukainya."
Diara mengalihkan pandangan. Jelas mengerti kondisi yang dialami sahabatnya. Terkadang, ketika sedang berdua seperti ini dan saling mencurahkan problema masing-masing, Diara merasa jika takdir sengaja mempertemukannya dengan Anye, agar mereka bisa saling menguatkan dalam nasib buruk yang menimpa mereka.
Hanya segelintir orang yang tahu, keadaan macam apa yang dialami Anye. Diara salah satunya.
***
Sagara menepikan mobil, karena merasa ada sesuatu tak beres yang terjadi pada kendaraannya. Ketika dibukanya kap bagian depan, benar saja. Asap mengepul keluar. Membuat sesak dan mata perih.
Segera dia menjauh, merogoh ponsel di saku celana untuk menghubungi pihak asuransi. Beruntung akan ada orang bengkel yang membawanya beberapa menit lagi. Akan tetapi, masalah bukan hanya itu. Sagara harus cepat pergi ke kantor. Ditekannya aplikasi ojeg online di layar ponsel.
"Saya segera menuju ke lokasi," pesan si pengemudi.
Sagara bernapas lega. "Kenapa hari Senin harus dimulai dengan hal seperti ini?" keluhnya. Kemudian masuk ke dalam mobil untuk membawa tas kerjanya.
"Selamat pagi. Benar Anda Pak Sagara?" seorang lelaki dengan jaket khas, menghentikan motornya di samping mobil Sagara.
"Ah, ya. Benar," sahut Sagara cepat. Dia pun keluar dari mobil. Duduk di atas jok belakang. "Cepat. Saya hampir terlambat," pintanya.
"Baik," sahut si pengemudi. Memberikan helm pada Sagara, lalu melajukan motor setelah mendengar kata 'siap' dari orang di belakangnya.
Sepertinya Sagara tidak salah memilih sopir ojeg online. Kurang dari setengah jam, dia sudah sampai di depan kantor.
"Ini." Sagara memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu.
"Aduh, maaf, Pak. Masih pagi, belum ada kembalian. Saya juga lupa enggak bawa uang dari rumah," ucap sang sopir.
"Ambil saja semua." Sagara menyodorkan kembali uang di tangannya. Bisa dilihatnya sepasang mata yang berbinar itu.
"Tapi, Pak ...."
"Sudah ambil saja." Sagara meraih tangan sang sopir. "Berapa umur kamu?" tanyanya setelah menyimpan uang itu di telapak tangannya.
"Tiga puluh tahun, Pak," sahut sopir ojeg itu terharu.
"Aku setahun lebih muda darimu. Sudah menikah? Punya anak?"
"Saya memiliki ibu dan tiga orang adik yang masih bersekolah," sahutnya. Sebagai sesama lelaki, Sagara pasti mengerti apa maksudnya. Tanpa melepas helm, sopir ojol itu mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
Suara klakson terdengar berulang kali. Sagara memalingkan wajah. Mobil sedan berwarna hitam yang sudah tak asing lagi, menunggu di depannya. Dilihat dari wajah si pengemudi, sepertinya dia sudah tak sanggup untuk menunggu.
"Baiklah, silakan," ujar Sagara pada sopir ojeg.
Sopir itu menyalakan starter motornya, lalu melaju beberapa meter dan berbelok. Berhenti di samping mobil sedan hitam untuk menyeberang. Mobil itu pun belum berpindah sedikit pun, karena ternyata Sagara masih menghalangi jalannya. Diliriknya perempuan di dalam mobil. 'Cantik', hanya itu kata yang cukup menjadi gambarannya.
"Apa Anda belum merasa pegal, Pak Sagara?!" teriak Diara. Mengeluarkan sebagian kepalanya dari jendela mobil.
Sagara masih terlihat santai. Berdiri dengan memasukkan kedua tangannya. Senyum mengejek terukir di bibirnya ketika Diara menekan kembali klakson mobil berkali-kali.
Sang sopir ojeg tertawa melihatnya. Diara yang menyadarinya, berpaling segera.
"Ada masalah?" tanya Diara.
"Mbak lucu."
Diara menautkan kedua alis. "Do you want to die?" gertak Diara.
Sang sopir malah tersenyum. Lalu menarik pedal gas untuk melaju ke arah jalanan.
"I hate monday," desis Diara. Ketika berpaling ke arah depan, Sagara sudah tidak ada. Tanpa menunda waktu, ditekannya pedal gas segera.
.
Diara menghentikan gerak jemarinya di atas keyboard saat melihat ponselnya bergetar. Sebuah pesan baru masuk, dari Keanu.
Sudah dua hari ini, Keanu terus mengirimi Diara pesan. Menanyakan kabar, tentang aktivitasnya saat itu, juga makan malam yang belum mendapat jawaban.
Tak satu pun pesan dari Keanu yang Diara balas. Anehnya, pria itu pun tidak mempertanyakannya. 'Apa benar Keanu jatuh cinta padaku?', pikirnya. Alhasil, itu membuatnya uring-uringan selama hari Minggu. Anye sampai dibuat kesal karenanya. Terlebih setelah kini dia merutuki kesalahannya sendiri, karena mengiyakan permintaan Anye datang ke sekolah TK agar bisa bertemu Keanu.
Dibukanya pesan itu. "Selamat menikmati hari Senin," tulis Keanu, disertai foto sebuah gelas berisi cappuccino. Yang membuatnya lebih terkejut, ada bentuk hati yang terukir di atas foam. "Apa-apaan?"
"Mbak Diara, kenapa?" Bandan menegurnya.
Diara terkesiap. "Ah, enggak." Disimpannya kembali ponsel di atas meja.
"Permisi, Pak Bandan. Ini pesanannya," ucap seorang OB.
"Terima kasih," sahut Bandan.
Diara meliriknya. Bandan memesan cappuccino rupanya.
"Bu Diara, mau saya buatkan minum juga?" tanya OB yang ternyata masih berdiri di depan meja Bandan.
"Air putih aja," jawab Diara.
OB memberi sebuah anggukan. Berlalu dari pandangan Diara.
"Permisi, Mbak Diara." Gina berdiri di sampingnya.
"Ada apa?" Diara menoleh.
"Saya sudah merevisi cerbung Duda Keren Itu Mantan Suamiku untuk edisi bulan depan. Bisa dicek kembali sebelum saya tambahkan ilustrasinya?"
"Ya, kirimkan saja ke email-ku," sahut Diara.
"Baik."
Diara menatap lurus kembali komputernya. Tak lama, pesan dari Gina masuk ke alamat surelnya. Diara membukanya langsung. Membaca dengan cermat isi cerbung yang akhir-akhir ini ratingnya semakin melejit.
"Gibran itu makhluk Tuhan yang memiliki tiga hal idaman perempuan ; tampan, mapan dan hartawan," ucapnya pelan. Membaca salah satu dialog perempuan yang menjadi tokoh utama. Seketika, muncul bayang Keanu di benaknya.
Diara mengusap wajah. "Astaga."
"Ada yang salah, Mbak?" Gina bertanya cemas.
Diara pun menggelengkan kepala. "Aku ke toilet dulu," pungkasnya. Kemudian pergi sambil memijat kening dengan jemari kanannya.
Di ruangannya, Sagara menatap kalender di atas meja. "8 Februari. Itu artinya enam hari lagi." Lalu memukul meja dengan tangan kanan yang mengepal. "Kenapa seperti ini?" racaunya.
Sagara merasakan hal itu. Kalah sebelum berperang. Jika tahun-tahun sebelumnya, dia bisa dengan angkuh menunjukkan kebersamaan dengan pasangannya, entah kali ini. Hanya demi apa? Agar Diara bisa mengetahui jika seorang Sagara bisa berlanjut tanpa seorang Diara. Itulah tujuannya selama ini, hingga membuatnya berganti-ganti pasangan.
Kendati Diara tidak pernah datang, tapi Sagara yakin karyawan lain akan memperbincangkannya di kantor. Berharap Diara merasa cemburu atau marah atas perilakunya. Pancingannya memang berhasil. Diara menganggap Sagara adalah seorang playboy. Padahal, tak ada satu pun dari perempuan-perempuan cantik itu, yang benar-benar menjadi kekasihnya.
Suara ketuka pintu membuyarkan lamunan sang manajer. "Ya, masuk!" perintahnya.
"Selamat siang, Pak Sagara," sapa Violeta--asisten Pak Guntur.
"Selamat siang, Vio," sahut Sagara dengan senyum ramah. Memberi isyarat agar duduk di depannya.
"Pak Guntur sudah menyetujui laporan yang Anda buat," ujar Violeta lembut setelah mengempaskan tubuhnya di atas kursi. Disodorkannya sebuah map.
"Terima kasih," ucap Sagara sembari meraih map itu.
"Pak Sagara," panggil Violeta.
"Ya?" Sagara menyahut dengan mata dan tangan sibuk membuka isi map.
"Siapa kali ini?"
Sagara menghentikan gerak tangan, menoleh sejenak. "Maksud kamu?" Dengan sorot mata kurang mengerti.
"Pasangan Anda."
Sagara tersenyum simpul. Melanjutkan aktivitasnya lagi. "Masih seminggu," jawabnya.
Violeta menautkan alis. Lelaki tampan di depannya semakin membuat penasaran. "Apa Anda memiliki kekasih saat ini?"
"Kamu sepenasaran itu pada hidupku?" tukas Sagara.
"Setiap bulan Februari, bukankah Anda selalu menjadi perbincangan hangat di antara kaum hawa kantor kita ini?"
"Oya, aku tidak tau," dalih Sagara.
"Semua perempuan yang Anda bawa, cantik dan memesona. Tapi, sayangnya mereka bukan karyawan di perusahaan ini. Ya, anggap saja saya mewakili rasa penasaran dari para karyawati di sini."
Sagara menutup mapnya, menyimpan di atas meja. "Apa itu?" tanyanya kemudian.
"Tahun ini, apa perempuan yang Anda bawa, berasal dari kantor lain lagi, atau ...."
Sagara tertawa sembari memalingkan wajah. Lalu kembali menatap Violeta. "Atau dari kantor ini. Begitu?"
Violeta tidak menjawab. Dia malah mengalihkan pandangan ke arah jendela, seolah ada sebuah buku yang dia baca di sana. "Saya merasa tahun ini, karyawan yang akan menjadi topik perbincangan adalah Diara. Semenjak dia mengatakan tentang kekasihnya di rapat minggu lalu, banyak orang penasaran. Siapa lelaki itu? Seperti apa? Apa pekerjaannya hingga dia tinggal di luar negeri?"
Sagara merasakan debar dadanya mulai bertalu.
"Selama ini Diara memang tidak pernah terlihat dekat dengan lelaki, apalagi karyawan di sini. Itu semakin menguatkan asumsi saya, tentang level dari pria itu."
Sagara mengembuskan napas.
"Rasanya ingin segera melompat ke tanggal 14," sambung Violeta. Kembali memalingkan wajah ke arah Sagara.
Sedang Sagara sedang merasakan debar kebencian semakin mendalam. Tatapannya menyalang entah ke mana. Ternyata, bukan hanya dirinya yang merasa penasaran tentang siapa lelaki yang menjadi kekasih Diara. "Bukankah ... Diara belum memutuskan akan datang ke pesta itu?"
"Anda belum tau? Kenan menantang Diara untuk membawa kekasihnya ke pesta nanti."
"Kenan?" Bola mata hitam Sagara kembali mengarah pada Violeta.
"Ya. Karena dia juga orang pertama yang mengatakan jika Diara ...." Violeta berdehem. "Homoseksual," lanjutnya.
"Hah?" Sagara terkejut luar biasa.
"Anda baru tau juga?" Violeta tertawa sekejap. Dia pun berdiri. "Baiklah, saya akan kembali ke meja saya. Oh, saya sampai lupa menyampaikan ini. Pak Guntur meminta Anda untuk mengirimkan rincian anggaran promosi."
Sagara mengangguk. "Ya," sahutnya. Lalu membuang pandang dari tatapan perempuan di depannya.
"Pak Sagara," panggil Violeta.
Sagara menoleh.
"Jika tidak ada perempuan dalam hidup Anda saat ini, saya menawarkan diri untuk menjadi pasangan Anda di pesta nanti."
Sagara bergeming.
Violeta menganggukkan kepala sebagai tanda berpamitan. Kemudian berlalu dari hadapannya.
Tanpa sadar, Sagara mematahkan balpoin yang entah sejak kapan berada di tangannya.
.
Diara menekan tombol kunci otomatis di tangannya dari jarak lima meter. Ketika hampir sampai di pintu mobil, tiba-tiba Sagata sudah berdiri di sana.
Diara menghentikan langkah. Menatap lelaki itu dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas. "Anda ingin menumpang pulang dengan saya?"
"Jadi kamu menerima tantangan Kenan?" Sagara bertanya dengan ekspresi datar.
"Ah, itu." Diara teringat kejadian di kantin, ketika dia menikmati makan siang. Kenan mempertanyakan kebenaran ucapannya tentang siapa kekasihnya itu.
"Tak perlu repot-repot bergelut dengan rasa penasaranmu itu. Pastikan kamu datang di pesta nanti, dan aku akan memaksa dia untuk menemaniku," tandas Diara, yang berhasil membungkam bibir Kenan.
Sesungguhnya, hanya rasa penyesalan yang tersisa di hatinya sekarang. Berawal dari ucapannya di rapat minggu lalu, Diara tak menyangka ternyata orang-orang masih meragukan perkataannya.
Diara kembali fokus pada lelaki di depannya. "Apa Anda juga termasuk ke dalam orang-orang yang penasaran itu?" tukasnya.
Sagara melangkah lebih dekat. Berhenti di depan Diara, dengan jarak satu langkah. "Ya. Aku orang yang paling ingin tau, lelaki seperti apa yang bisa mematahkan prinsip seorang Diara Oktavia, untuk tidak pernah jatuh cinta selama hidupnya?"
Diara mengedipkan mata, masih dengan ekspresi datar.
Sagara pergi dengan langkah cepatnya.
Diara masih terdiam, bahkan setelah Sagara sudah sangat jauh dari tempatnya berdiri. Kedua kakinya seperti tak sanggup bergerak. Beruntung Diara memarkirkan mobilnya di tempat yang cukup sepi, hingga tidak ada seorang pun menyadari perubahan yang terjadi padanya.
Diara merasakan lembab di telapak tangan. Detak jantungnya berubah lebih kencang dari biasanya. Kedua matanya mulai menghangat. Perlahan, rasa perih tak tertahan lagi. Diara meluruhkan tubuhnya, hingga terduduk di atas paving blok. Kedua tangannya terangkat, menutupi wajah dengan telapak tangan yang terbuka. Diara menangis tersedu-sedu.
.
"Di, baru pulang? Katanya enggak bakal pura-pura lembur lagi?" Anye keluar dari kamar ketika mendengar suara pintu berdentum.
Diara berjalan lesu ke arah kamar.
"Di," cegah Anye ketika sahabatnya akan membuka pintu. Diangkatnya wajah Diara yang tertunduk. "Lo kenapa lagi?"
Diara menggelengkan kepala samar. Bibirnya bergetar. Air mata kembali menetes. "Gue benci sama hidup gue sendiri."
Anye memeluk Diara, mengusap punggungnya. "Bertahan, Di. Gue mohon bertahan. Temani gue, yang juga sama membenci hidup ini."
***
Diara mematut dirinya di depan cermin. Kemeja putih dan rok hitam sepan selutut, terlihat cocok di tubuhnya. Kemudian berjalan ke arah rak sepatu. Hari ini dia ingin memakai wedges putih yang dibelinya sebulan lalu. Tak lupa sling bag hitam sebagai pelengkap.
"Di, sarapan."
"Ya," sahut Diara. "Eh, Nye. Sini bentar," panggilnya kemudian.
"Apa?" Anye bertanya setelah membuka pintu.
"Gimana?" Diara memperlihatkan penampilannya.
"Good. Sejak gue kenal sama lo, lo satu-satunya perempuan yang bikin gue iri karena selalu terlihat cantik dengan pakaian apa pun."
"Cih," ejek Diara. Lalu berjalan ke arah pintu. "Tapi gue cukup tersanjung akan pujian itu," ucapnya. Lalu tersenyum manis.
"Eh, tersanjung sih, tersanjung. Itu bekas kompresan simpen dulu ke dapur!" teriak Anye. Melihat baskom berisi air--yang semula adalah es, masih berada di bawah meja rias.
"Bu Guru aja yang beresin!" sahut Diara yang sudah mulai menikmati roti panggangnya.
"Terakhir kali lo ngompres mata, enggak sengaja gue depak. Akhirnya lantai kamar lo basah," omel Anye. Menyimpan baskom yang dia bawa di atas wastafel.
Diara tak berkata apa pun. Itu kadang yang membuat Anye harus banyak bersabar akan tingkah Diara. Sifat kekanakan, manja, egois, cengeng, keras kepala, sombong dan sejumlah keburukan lainnya. Namun, Diara juga baik dalam segala hal. Anye tahu itu.
"Gimana? Lo udah pilih restoran buat makan malem nanti," tanya Anye seusai menyantap habis sarapannya.
"Dia yang pilih. Gue bilang, gue jarang makan malem di luar, jadi enggak tau restoran-restoran di luar sana," sahut Diara. Menyeka mulutnya dengan tisu.
"Lo ngerendahin diri lo kayak gitu?" sindir Anye.
"Itu bukan ngerendahin. Gue cuma mau dia entar enggak kaget, kalau pas tau tujuan gue terima ajakan makan malemnya."
Anye menggelengkan kepala. Diara berpamitan untuk berangkat ke kantor, Anye pun bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
.
Diara menyandarkan punggung. Melepas kaku di tubuhnya karena sudah duduk selama dua jam.
"Mbak Diara, saya mau ke pantry. Mau saya bawakan sesuatu?" tawar Bandan.
Diara melirik jam di sebelah kanannya, 03 : 05 pm. Kemudian menatap wajah Bandan. "Cappuccino."
Bandan memberi ekspresi tak percaya.
"Aku ingin mencoba sesuatu yang baru. Bukankah itu bisa menghilangkan kantuk juga?" dalih Diara.
"Tentu saja," sahut Bandan semringah. Dia pun bangkit dan pergi ke tempat tujuannya membawa senyum bahagia.
Diara terdiam setelah kepergian Bandan. 'Aih, apa maksudnya?', batinnya. Namun, memang entah kenapa hari ini Diara merasa hatinya begitu ringan. Sejak pagi dia belum merasakan emosi sedikit pun. Padahal, kurang dari 24 jam lalu Diara menangis tersedu-sedu di parkiran.
Apa ini karena rencana makan malamnya dengan Keanu?
Diusapnya wajah, berusaha menghilangkan rasa aneh yang dirasakannya.
"Jangan sampai jatuh cinta. Ingat, ini hanya sementara," bisiknya.
Suara dering ponsel dalam volume rendah terdengar. Walau tidak menjadi perhatian karyawan lain, tetap saja itu mengganggu.
"Ponsel siapa?" Diara bertanya pada Gina.
Gina yang sedang menatap layar komputer, menyempatkan menoleh ke arah Diara. "Pasti Bandan. Dia selalu lupa menonaktifkan dering hapenya."
Diara berpaling kembali. Suaranya sudah berhenti, tapi beberapa detik kemudian terdengar lagi. Merasa tak nyaman, Diara bangkit dan mendekat ke arah sumber suara. Rupanya Bandan menyimpan ponsel di samping keyboard sebelah kanan.
Ditatapnya layar ponsel. Diara tercengang, melihat foto profil si penelepon.
"Mbak Diara, maaf. Pasti ini menganggu Anda." Bandan tiba-tiba datang membawa dua cangkir di tangannya. Diberikannya satu pada Diara. Setelah cangkir berpindah, segera diraihnya ponsel yang masih berdering itu. "Halo, Bang. Apa? Titip Genta. Makan malam sama siapa, tumben."
Diara duduk kembali dengan satu tangan memegang cangkir berisi cappuccino. Menatap dari samping Bandan yang sedang mengobrol dengan seseorang di seberang sana.
"Iya, iya. Nanti aku jemput. Ya." Bandan menyimpan ponselnya. Lalu duduk, meraih cangkir yang sempat dia simpan tadi. "Maaf, Mbak. Kakak saya memang begitu. Kalau telponnya belum diangkat, dia pasti neleponin terus."
"Kamu punya kakak?" tanya Diara.
"Iya. Saya punya satu kakak dan satu adik perempuan. Kakak saya duda anak satu, sedangkan adik saya masih kuliah," papar Bandan. Ada rasa senang yang membuncah di hatinya, karena untuk pertama kalinya, Diara bertanya tentangnya.
"Oh. Aku pikir kamu anak paling besar di keluargamu," pungkas Diara. Disimpannya cangkir di samping komputer, lalu meraih ponsel di dekat tempat penyimpanan balpoin. Membuka aplikasi WhatsApp.
"Bagaimana kalau besok? Tentang makan malam yang Mas Keanu inginkan."
"Benarkah? Saya pikir ini tidak akan terjadi."
"Tolong pilih tempatnya. Saya tidak cukup tau tentang restoran yang bagus."
"Ya, saya janji akan memilih restoran terbaik untuk nanti malam."
Itulah percakapan lewat chat semalam. Antara Diara dan Keanu.
Diara menekan foto profil Keanu. Gambarnya sama persis, dengan si penelepon yang menghubungi Bandan.
'Jadi ... Keanu itu ... kakaknya Bandan?', batin Diara.
Akhirnya, hasrat untuk meminum cappuccino dan merasakan rasa yang baru di hidupnya, musnah sudah.
*****
--bersambung--