Chereads / DIARA / Chapter 10 - 10. Perpisahan

Chapter 10 - 10. Perpisahan

"Di sini?" tanya Dirga.

"Hm. Kamu juga?" sahut Andin.

"Sudah berapa kali?"

"Baru kali ini. Setiap tahun dia selalu berganti pasangan."

Dirga berdecak.

"Kamu?"

"Baru kali ini, dan ini pertama kalinya juga dia datang ke pesta seperti ini," terang Dirga.

Andin berhenti di meja khusus minuman dingin. Sedang Dirga masih tetap berjalan. Percakapan itu terjadi ketika secara tak sengaja mereka melangkah bersamaan selama 10 detik.

Sagara melihat Dirga yang sedang menuju arah toilet, memutuskan sesuatu.

"Ke mana?" tanya Andin yang berpapasan dengannya.

"Aku ke toilet dulu," jawab Sagara.

Andin hanya memberi sebuah anggukan.

Diara yang sedang asyik mengobrol dengan Saskia dan tunangannya, menoleh ke samping ketika melihat kepergian Sagara. 'Dirga ke toilet, Sagara juga,' batinnya. Tiba-tiba resah menyergap hatinya. 'Semoga tidak ada apa-apa.'

Dirga selesai mencuci tangan. Ketika berbalik, dia sedikit kaget karena hampir menabrak Sagara.

"Siapa kamu?" tanya Sagara.

Dirga tersenyum dengan satu sudut bibir terangkat. "Ada masalah?"

"Aku ingat. Kamu ... sopir ojeg online yang pernah mengantarku ke kantor," tukas Sagara. Satu tangannya naik, memegang kerah kemeja Dirga. "Beraninya kamu membohongi Diara," desisnya.

"Kenapa? Memang ada yang salah denganku?"

"Tadi Diara bercerita pada Saskia, kalau kamu sudah lama tinggal dan bekerja di London." Sagara semakin mempererat pegangannya. "Untuk apa kamu membohongi Diara, hah?"

"Semua kebohonganku tidak ada yang merugikan Diara," sahut Dirga santai.

"Brengsek! Aku akan--"

"Kamu tidak akan berani mempermalukan Diara di depan umum. Aku tau itu," sela Dirga.

"Kamu pikir aku tidak bisa?" geram Dirga.

"Tidak." Dirga masih terlihat tenang. "Tidak mungkin seorang lelaki, mempermalukan perempuan yang dicintainya."

Sagara melepas tangannya.

"Kamu cemburu padaku. Aku tau. Tapi ... tenang saja. Hubunganku dengan Diara, akan berakhir malam ini."

Sagara menautkan kedua alis.

Dirga mundur selangkah. Menepuk-nepuk kerah kemeja yang tersentuh tangan Sagara. "Sebagai lelaki sejati, kamu tidak mungkin menghancurkan kebahagiaan Diara malam ini," tandas Dirga. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana, dan satu tangan lain menepuk pundak Sagara.

Sagara terdiam, melihat kepergian Dirga.

Sementara itu, Kenan masih belum merasa puas atas semua usahanya mencelakai Diara. Baginya, dendam harus benar-benar dibalaskan.

"Ke mana, Ken?" tanya Christie melihat Kenan keluar dari meja membawa segelas wine.

Kenan tidak menjawab. Dia duduk di kursi milik Dirga.

Diara yang melihatnya hanya mendelik.

"Tidak minum?" tanya Kenan.

Diara menatap tak suka. "Terakhir kali aku minum, ada seorang lelaki yang hampir mencelakaiku. Tepatnya, dia memanfaatkan situasi ketika aku mabuk."

Dirga dan Sagara yang baru datang, mendengar itu semua.

Kenan membuang muka. Jelas saja dia merasa tersindir, karena lelaki yang Diara maksud adalah dirinya.

Dirga berdiri di samping Diara, memegang dua gelas wine.

Diara menoleh, melihat kedua tangan Dirga. "Tapi kurasa malam ini tidak masalah kalau aku mabuk. Ada kamu yang akan menjagaku. Iya, 'kan ... Sayang?"

Dirga mengangguk. Memberikan gelas di tangan kirinya. Diara menerimanya disertai senyuman.

Saskia mengangkat gelasnya. "Toast, untuk ratu pesta kita malam ini. Diara!"

.

Pesta usai menjelang tengah malam. Karena memang perusahaan memberi kebijakan untuk libur di esok hari, para karyawan pun tidak merasa khawatir. Ballroom mulai tampak lenggang, hanya ada bebeberapa yang juga sedang bersiap pulang. Diantanya adalah Diara dan Dirga, juga Sagara yang masih duduk bersama Andin.

Sagara menatap Diara. Dia sudah merasa ada sesuatu yang tak beres dengan perempuan itu.

"Pusing?" tanya Dirga

"Sedikit," sahut Diara.

"Diara jarang minum. Kenapa kamu enggak cegah dia--"

"Sudah, tidak apa, Pak Sagara," sela Diara.

"Ini gara-gara Mas Kenan," ujar Saskia. "Kalau aja dia enggak ngajak Diara minum," tuduhnya.

"Aku jamin Diara baik-baik aja," ucap Dirga menenangkan. "Ayo, aku bantu," lanjutnya sambil menarik kedua lengan Diara.

Sesampainya di lobi gedung, Dirga mendudukkan tubuh Diara di atas kursi tunggu. "Tunggu di sini, aku bawa mobil."

Diara mengangguk.

Dirga pun bergegas pergi.

Sagara yang masih merasa cemas melihat keadaan Diara, belum bisa tenang sebelum Dirga benar-benar membawanya pulang. "Andin, tunggu di depan."

"Baik," sahut Andin.

Diara memegang pelipisnya. Kepalanya terasa berat. Padahal Diara hanya meminum empat gelas, tapi mungkin memang karena memang sudah lama, Diara merasa seperti meminum sebotol bir.

"Diara, kamu baik-baik aja?" tanya Sagara.

Diara hanya menggerakkan tangan. "Silakan duluan, Pak Sagara."

"Diara," panggil Sagara lagi. "Kenapa ... kamu melakukan ini?"

Diara menyipitkan mata. "Apa saya tidak boleh minum di pesta seperti ini? Saya sedang merayakan kebahagiaan saya."

Sagara memejamkan mata. Bukan itu yang dia maksud. Sagara ingin tahu, kenapa Diara sampai harus berbohong memiliki kekasih?

"Diara." Sagara duduk di sampingnya. Menatap Diara yang sedang merunduk.

Dirga memerhatikan dari pintu lobi. Dia semakin yakin, jika Sagara benar-benar mencintai Diara.

"Diara, kenapa ... harus Dirga?"

Diara mengangkat wajah. "Maksud Pak Sagara apa?"

"Selama ini, apa penantianku masih kurang?"

Diara bergeming.

"Apa aku tidak lebih baik dibanding Dirga?"

Diara mulai tidak nyaman.

"Apa yang harus aku lakukan, agar kamu percaya sama aku?"

Plak!

Sagara merasakan perih di pipi kanannya.

"Jauhi aku. Itu saja cukup," sahut Diara. Kemudian dia bangkit. "Dirga?" Menyadari sosok itu berdiri memerhatikannya.

Dirga tersenyum. Kemudian menghampiri Diara. "Ayo, kamu harus segera beristirahat."

Dirga kembali membantu Diara berjalan. Membukan pintu, dan memastikannya duduk dengan nyaman. Ditutupnya lagi pintu mobil. Ketika berbalik, Dirga melihat Sagara masih duduk dengan menundukkan kepala. "Kacau," ucapnya pelan.

Andin yang mendengarnya tersenyum. "Aku coba menanganinya," timpalnya. Lalu masuk kembali ke dalam ruang lobi.

Dirga pun segera masuk ke dalam mobil. Sempat dia menatap Diara yang masih memegang pelipis. Dirga tersenyum kembali sambil menggelengkan kepala.

'Sebenarnya aku masih penasaran, seperti apa dilema hidupmu, Diara. Tapi, sepertinya itu bukan tugasku,' batinnya.

***

Diara membuka mata. Melirik ke arah nakas. "Jam berapa sekarang?" gumamnya sambil bangkit dari tidurnya. "Ah, aku benar-benar mabuk," umpatnya. Menyadari masih memakai gaun semalam.

"Di, udah bangun?" Anye mengetuk pintu.

"Ya," sahutnya.

Anye pun membuka pintu. Ternyata dia membawa segelas teh jahe untuk Diara. "Minum dulu ini, biar baikan," ucapnya sambil melangkah, lalu duduk di tepian ranjang.

"Makasih," sahut Diara sambil mengambil cangkir itu. Meminumnya segera karena memang merasa membutuhkan itu. "Ke mana Dirga?"

"Pulang," jawab Anye singkat.

Diara memberikan gelas itu lagi pada Anye. "Dia ... langsung pulang gitu aja?"

"Hmm. Padahal gue suruh dia buat tunggu lo bangun, tapi ...." Anye menggantung kalimatnya.

"Dia hanya menepati janji. Hubungan kekasih palsu sudah berakhir," ujar Diara pelan. "Gue mandi dulu," tandasnya.

.

"Mau ke mana?" tanya Anye ketika melihat Diara sudah berdandan rapi.

"Nengok Bandan," sahutnya.

"Oh." Anye menganggukkan kepala.

"Sekalian ketemu Dirga. Gue belum sempet bilang makasih," tuturnya lagi. "Gue berangkat. Bye!"

"Bye!" Anye yang sedang sibuk menulis, menyempatkan membalas lambaian tangan Diara. "Dirga ... Diara. Kenapa, gue merasa mereka cocok, ya?" gumam Anye.

.

Di lain tempat. Dirga pun masih terlelap tidur. Semalam dia menginap di kontrakan Ridwan. Tidur sebentar hingga Subuh, lalu pulang ke rumah setelah mengganti baju. Ridwan mengejeknya kembali, menggoda dengan macam-macam kalimat. Akan tetapi, seperti biasa. Dirga hanya akan menjawab dengan perkataan tak jelas.

Amel sudah siap berangkat sekolah. Dia berdiri di depan pintu kamar Dirga. Beni yang melihatnya, jelas mengerti. Amel tidak mungkin berangkat ke sekolah sendirian.

"Dek, ayo Kakak anterin," ajak Beni.

"Bang Dirga belum bangun?" tanya Alya.

"Tadi pulang Subuh. Udah, jangan diganggu." Beni segera mengamit tangan Amel.

Ibu Ratih hanya bisa melihat ketiga anaknya dari pintu dapur. Jauh di lubuk hatinya, terselip kekhawatiran untuk Dirga.

Baru saja keluar dari teras, Ridwan datang membawa motornya. "Ayo, Ben!" ajaknya.

"Eh, Bang Ridwan. Enggak apa, kita naik angkot aja," tolak Beni.

"Jangan. Entar yang ada Abang kamu yang marah sama Bang Ridwan. Udah, ayo naik, Amel, Alya."

Amel dan Alya menurut. Sedang Beni masih ragu. Sempat menengok ke belakang, Ibu Ratih sedang berdiri di muka pintu. Tak ingin membuat ibunya khawatir, Beni pun naik segera.

Begitulah Dirga. Jika tak sempat mengantar jemput adik-adiknya, maka dia anak menyuruh Ridwan untuk menggantikannya.

Hingga jarum jam menunjukkan angka satu, Dirga belum bangun juga. Dia terlalu kelelahan akhir-akhir ini. Dua pekerjaan memang cukup menguras waktu.

Dering ponsel terdengar dari samping bantalnya. Dirga terhenyak. Meraih benda itu masih dengan mata terpejam. Menyipitkan mata, melihat siapa si penelepon. "Diara? Mau apa lagi dia?" gumamnya. "Halo, Diara?"

"Halo, Dirga. Apa aku ganggu?"

"Enggak," sahut Dirga sambil mengangkat tubuhnya. "Ada apa?"

"Bisa kita ketemu sore ini?"

Dirga melirik jam kecil di atas meja. "Oke. Di mana?"

"Di kafe Bougenville. Nanti aku share alamatnya."

"Ya."

Percakapan terputus. Dirga menatap layar ponselnya. "Dia bilang hanya sampai pesta usai," gumamnya.

Dirga mengerjapkan mata. Mengusap rambutnya hingga ke belakang. Ini yang dia takutkan. Entah kenapa, semenjak melihat perempuan berkulit kuning langsat itu, dia merasa suatu hari nanti dirinya dan Diara akan terikat dalam sebuah hubungan yang lebih dari sekedar kekasih palsu.

Bukan merasa sombong atau memiliki kadar percaya diri yang tinggi, tapi entah kenapa dia merasakan firasat itu. Sedang selama ini, Dirga tidak suka jika ada perempuan yang menghubunginya jika bukan untuk urusan pekerjaan.

.

Diara menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah. Cukup sederhana, dengan halaman yang dipenuhi bunga-bunga. Sebenarnya dia ingin menengok Bandan dari kemarin, hanya saja dia berpikir jika hari Sabtu Minggu, Keanu pasti sedang libur. Diara malas bertemu dengan lelaki itu jika seandainya dia ada di rumah orang tua Bandan.

"Mbak Diara?" Bandan terkaget ketika membuka pintu.

"Sore, Bandan," sapa Diara.

"So-sore. Silakan masuk." Bandan membuka pintu lebih lebar.

Diara pun masuk, duduk di sofa ruang tamu. "Sepi. Ke mana orang tua kamu?"

"Oh, mereka lagi ke rumah Mas Keanu. Kebetulan pengasuhnya sedang pulang kampung dan Mas Keanu ada urusan kerja ke luar kota," papar Bandan setelah ikut duduk.

Diara merasa lega. "Ah, ini. Buat camilan." Disimpannya kantong belanjaan berukuran lumayan besar.

"Ya ampun, enggak usah repot-repot Mbak Diara," ujar Bandan canggung.

"Enggak apa. Dibanding pertolongan kamu waktu itu, ini bukan apa-apa."

Bandan tersenyum, mengingat kejadian itu. "Mm, siapa lelaki itu?" tanyanya pelan.

"Dirga. Dia pacar aku," sahut Diara.

Bandan menganggukkan kepala. Berusaha menyembunyikan kesedihannya.

"Oya, gimana lukanya? Masih sakit?"

Bandan meraba wajahnya. "Udah baikan, Mbak. Terima kasih, udah bawa saya ke klinik. Terus, menanggung biayanya juga."

"Itu tanggung jawab aku karena kamu udah nolong aku. Terima masih juga." Diara tersenyum.

Lagi-lagi Bandan merasa canggung melihat senyum Diara.

"Kalau begitu aku pamit sekarang. Kebetulan ada janji buat ketemu Dirga." Diara berdiri.

"Astaga, saya lupa menawarkan minum." Bandan ikut berdiri.

"Tidak apa. Aku pamit," ucap Diara.

"Iya, Mbak. Hati-hati di jalan." Bandan berdiri di ambang pintu. Memerhatikan Diara yang kembali masuk ke dalam mobil. Kemudian menghilang seiring waktu.

"Dirga," gumam Bandan. "Dari namanya saja sudah tampak jika dia bukan lelaki sembarang."

.

Diara memasuki kafe. Memilih meja di sudut ruang dekat jendela. Tak lama pelayan pun datang membawa menu.

"Saya pesan Mint Choco Vanilla Milkshake," jawab Diara.

"Makanannya mungkin?" tawar si pelayan.

"Nanti saja. Saya masih nunggu temen," tandas Diara.

Pelayan itu mengangguk, kemudian melenggang pergi.

Diara pun membuka layar ponselnya. Belum ada pesan dari Dirga. "Masih di mana?" tulisnya. Sayang, selama hampir satu menit masih centang abu-abu.

Diara menekan bagian atas layar. Melihat foto profil Dirga. Lelaki itu berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana jin, memakai kaos putih dan jaket bomber berwarna merah. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya terangkat. "Keren," gumamnya.

"Hai."

Diara mengangkat wajah. Dirga berdiri di depannya. Memakai pakaian yang sama dengan yang di foto. "Hai," sahutnya sedikit gugup.

"Lama?" Dirga duduk di kursi. Mereka duduk berhadapan.

"Baru datang. Minuman aku aja belum datang. Oh, aku cuma pesan satu. Kamu mau minum apa?"

"Ice Cappuccino aja."

Diara pun melambaikan tangan. "Ice Cappuccino-nya satu," ucapnya pada pelayan yang datang menghampiri.

"Baik, silakan menunggu," ujar si pelayan.

"Udah enggak pusing?" tanya Dirga setelah pelayan meninggalkan mereka.

"Enggak. Kamu sendiri gimana? Nyenyak tidurnya?"

"Lumayan," sahut Dirga.

Diara tersenyum. "Maaf, aku ganggu kamu lagi. Aku cuma belum sempat meminta berterima kasih sama kamu."

"Enggak masalah." Dirga menyahut santai.

"Pasti kamu pikir aku ini perempuan payah, yang terlihat kuat dari luar padahal rapuh di dalam."

Dirga menyandarkan punggung. "Bukannya hampir semua perempuan begitu. Mereka berusaha menutupi kelemahannya."

Diara tersenyum. "Ya. Ada beberapa hal yang memaksa kami untuk bersikap seperti itu." Kemudian merunduk. "Kadang aku selalu merasa iri pada mereka yang bisa dengan bebas menjalani hidup tanpa harus memikirkan beban hidupnya."

Dirga menatap seksama. "Diara."

"Ya?" Diara mengangkat wajahnya.

"Kamu percaya sama aku?"

Diara mengedipkan mata. "Entah. Yang pasti, aku merasa kalau kamu pantas untuk aku percaya."

Dirga tersenyum.

Pelayan datang membawa dua minuman. Menyimpan Ice Cappuccino dan Mint Choco Vanilla Milkshake.

Diara meraih minumannya. "Mau mendengar ceritaku?"

Dirga pun meraih minumannya. "Jika itu tidak mengurangi rasa percaya kamu sama aku, aku akan mendengarnya."

Diara menyesap minumannya. "Kamu lihat gedung tinggi itu?" tunjuknya ke arah jendela.

Dirga berpaling. "Adibrata Company?"

"Ya. Itu perusahaan Papaku. Ayah kandungku."

Dirga memberi ekspresi tak percaya.

"Namaku Diara Oktavia Adibrata. Dalam Afrika, Diara artinya hadiah. Aku lahir di bulan Oktober. Dan Adibrata, adalah nama ayahku. Dalam bahasa sansekerta artinya tingkah laku yang unggul. Sayangnya, Papa tidak seperti itu."

Diara kembali mengingat masa kecilnya yang terbilang cukup suram dan menyakitkan.

Saat itu, dia masih berusia enam tahun. Untuk pertama kalinya, Diara melihat Papanya membawa seorang perempuan belia ke rumahnya.

"Siapa, Kak?" tanyanya polos pada Davin.

"Tante," sahut kakaknya.

Sejak saat itu, Diara kerap melihat Papanya membawa perempuan yang berbeda. Bahkan tak segan mengajaknya ke sekolah Diara ketika ada rapat pertemuan atau pengambilan raport.

Awalnya, Diara tak peduli. Namun, lama kelamaan teman lelakinya sering mengejeknya dengan sebutan Anak Tante. Hingga akhirnya Diara tahu siapa tante-tante itu. Diara berusaha bertahan, di usianya yang masih terbilang anak-anak.

Akan tetapi itu tidak berlangsung setiap waktu. Ada kalanya Diara tak sanggup menahan kesedihannya. Jika sudah begitu, Diara akan menjatuhkan air matanya di atas pangkuan Mamanya. Ya, Nyonya Cantika Adibrata. Sesuai namanya, dia cantik. Bak bidadari yang diturunkan dari langit. Namun, sejatinya tidak ada manusia sempurna di dunia.

Ketika usia Diara lima tahun, sang mama mengalami kecelakaan, yang mengakibatkan kakinya lumpuh permanen. Itu lah sebabnya dia tak kuasa melarang suaminya untuk bermain gila dengan banyak perempuan.

Ketika usia Diara dua belas tahun, Nyonya Cantika memutuskan untuk menggugat cerai suaminya. Tanpa menunda waktu, Tuan Tanu Adibrata mengabulkan permintaan perempuan itu.

Diara ikut dengan mamanya, sedang Davin ikut dengan sang ayah. Naas, di usia lima belas tahun, Nyonya Cantika meninggal dunia karena penyakit kanker yang tak sempat diketahui oleh keluarganya.

Akhirnya, Diara tinggal bersama papanya. Lagi-lagi dia harus melihat kegilaan sang ayah. Diara bertahan selama bertahun-tahun. Berusaha menutup telinga dan matanya. Hanya Davin dan Anye, yang menjadi sahabatnya.

Suatu hari, Davin memperkenalkan kekasihnya Nabila. Diara senang, karena mendapatkan calon kakak ipar yang baik dan cantik. Sayangnya, dua bulan menjelang pernikahan, Davin mengetahui jika Nabila sedang mengandung anak dari lelaki lain.

Davin memutuskan pergi ke Kanada, dan Diara yang baru lulus jenjang S1, juga memutuskan untuk keluar dari rumah. Tuan Tanu berang dan murka, melihat tingkah kedua anaknya. Namun, Diara dan Davin tak peduli itu.

"Sejak saat itu, aku tinggal dengan Anye. Aku belum pernah bertemu lagi dengan Papa," ujar Diara.

Dirga tak menyangka, jika kisah hidup Diara hampir mirip dengannya. "Jadi itu alasan yang membuatmu tidak percaya laki-laki?"

"Lebih tepatnya aku tidak percaya dengan yang namanya cinta."

Dirga mengangguk. "Lalu Sagara?"

Diara tertegun.

"Dia mencintaimu sejak SMA, 'kan?" tukas Diara.

Diara membuang muka. "Aku tidak suka dia yang sekarang. Kupikir setelah menolaknya, dia akan berusaha dan berjuang lebih keras. Tapi, sebaliknya. Dia selalu mengejekku, bahkan kerap menggoda karyawan perempuan di depanku," dalihnya.

"Karena dia sedang berusaha membencimu. Sayangnya, semakin dia berusaha, cinta yang dia rasakan malah semakin dalam," tukas Dirga.

Diara bergeming.

"Lalu Kenan. Seperti apa dia?" tanya Dirga.

"Dia cuma laki-laki brengsek. Dia hampir memperkosaku, jika saja Anye terlambat datang."

Dirga mengerti sekarang. Sagara dan Kenan, juga mungkin Pak Guntur, pernah mencintainya, tebaknya.

"Aku selalu menganggap, cinta yang mereka katakan hanya bualan. Aku pernah merasa iri pada Anye, karena memiliki tunangan yang begitu baik dan menyayanginya. Meski dia tau, Anye ... tidak bisa melahirkan seorang anak dari rahimnya. Tetap saja, menjelang pernikahan Brian memutuskan hubungan mereka. Alih-alih keluarganya tidak setuju  dan Brian harus memiliki keturunan."

Dirga cukup terkejut mendengarnya.

"Selama ini aku selalu berdoa, semoga aku tidak pernah jatuh cinta," pungkas Diara.

.

Malam telah larut, ketika Diara menghentikan mobilnya di tempat biasa Dirga meminta turun.

"Terima kasih atas waktunya," ucap Diara.

"Sama-sama," sahut Dirga sambil melepas sabuk pengaman.

"Eh, tunggu. Aku lupa sesuatu." Diara turun dari mobil, berjalan ke arah belakang.

Dirga pun turun, memerhatikan Diara yang sedang membuka bagasi mobil.

"Ini." Diara memberikan sebuah kantong belanjaan.

"Apa Ini?" Dirga meraihnya.

"Buka aja.

Dirga mengangguk. Dibukanya kantong itu. Ternyata Diara memberinya sebuah jaket berwarna hitam. "Jaket?"

"Aku enggak tau harus kasih apa. Tapi tiap kali kita ketemu kamu selalu pakai jaket. Jadi ... ya, aku beli jaket aja."

Dirga tertawa. "Teori yang bagus," ucapnya. "Tapi aku enggak punya hadiah buat kamu," sambungnya dengan nada sedih.

"Udah, enggak apa. Kamu mau jadi pacar semalam aku aja, aku udah seneng," ujar Diara.

Dirga menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Aku cuma bisa kasih dua saran."

"Saran dan permintaan?" Diara terheran.

Dirga mengangguk. Dia mengelilingkan pandangan, kemudian berjalan beberapa langkah. Setelah berhenti, Dirga membungkukkan badan. Lalu kembali menghampiri Diara. "Ke marikan tangan kamu," pintanya.

Diara mengangkat tangan kanannya dengan telapak terbuka. Tanpa diduga, Dirga menyimpan sebuah batu kecil di atasnya.

"Batu?" Diara semakin terheran.

Dirga menyimpan kantong di atas kap mobil. Tangan kirinya memegang bagian bawah telapak tangan Diara. "Kalau kamu merasa kondisi hatimu memburuk, genggamlah batu ini." Tangan kanannya membimbing jemari Diara agar menutup. "Kamu kumpulkan semua rasa itu, ke sini."

Diara mengalihkan tatapan dari tangannya. Menatap Dirga tanpa berkedip.

"Setelah semua pindah, kamu buang batu ini." Dirga melepas kedua tangannya.

Diara menarik tangannya. "Satu lagi?"

"Saran yang kedua, kamu hapus isi chat kita. Kalau bisa, sekalian aja hapus nomor aku. Toh, enggak akan berguna lagi, 'kan?" Dirga tersenyum. Kemudian mengambil kembali kantong belanja pemberian Diara.

Diara tersenyum kelu. Entah kenapa, dia merasa ini seperti perpisahan yang sangat berat baginya, bahkan melebihi ketika dia harus melepas Davin ke Kanada. Diara memberikan sebuah anggukan.

"Pulang," ucap Dirga.

"Kamu aja dulu," elak Diara.

"Ingat malam itu, kamu yang lebih dulu mendatangiku. Sekarang, kamu juga yang harus lebih dulu meninggalkanku," tandas Dirga.

Diara mengangguk kembali. Dia berbalik, untuk kembali masuk ke dalam mobil.

"Diara."

Diara yang hendak membuka pintu, berpaling kembali.

"Boleh minta satu lagi?"

"Apa?"

"Jangan pernah merindukanku."

Diara bergeming. 'Kenapa ini? Kenapa terasa sesak di dada?', batinnya. Diara berusaha tersenyum. "Ya. Aku pulang."

"Ya. Hati-hati." Dirga melambaikan tangan.

Diara membalasnya. Kemudian masuk ke dalam mobil. Dilajukannya segera. Sempat dia melirik ke arah kaca spion, Dirga masih berdiri di sana.

Perlahan, kedua mata Diara berkabut. Rasa sesak dalam dadanya, semakin terasa mendesak.

Mendesak air matanya agar keluar.

*****

Tidak akan ada lanjutannya, dikarenakan pindah tempat. Maaf.