Diara keluar dari kamar. Dilihatnya Anye sedang menyiapkan sarapan. Diara menggelengkan kepala sambil tersenyum. Padahal sejak semalam Anye belum berbicara sepatah kata pun padanya, tapi tetap saja dia tidak meninggalkan kebiasaannya di pagi hari.
Diara menyimpan totebag-nya, lalu duduk di kursi lain. Diliriknya lagi Anye yang kini sudah duduk. Dia masih memasang wajah cemberut.
Sarapan yang biasanya dilalui dengan suasana hangat dan diselingi beberapa obrolan, kini semua tak ada. Dua perempuan yang sudah bersahabat selama hampir dua puluh tahun itu saling membisu.
Diara meneguk sisa susu di gelas. Kemudian bangkit, meraih tasnya. Ditatapnya sekali lagi perempuan di depannya. Anye tak menoleh sedikit jua. Akhirnya Diara pergi tanpa sepatah kata pun.
Diara jelas bukan orang seperti itu. Meminta maaf untuk sesuatu hal yang bahkan masih tak jelas letak salahnya di mana, baginya.
'Kenapa Anye harus marah hanya gara-gara makan malam itu?', pikir Diara.
.
Diara melihat angka di jam digitalnya, 10 ; 05 am. Itu artinya belum terlalu malam di Kanada.
'Apa aku harus melakukan ini?', pikirnya. "Baiklah, tidak ada jalan lain," gumamnya sambil mengambil ponsel dalam tas. Diara menekan salah satu kontak. Setelah beberapa detik menunggu, terdengar deringnya berhenti.
"Apa?"
"Jutek amat," ketus Diara.
"How many times do I have to say, look at the clock if you want to call?"
"Ya, sorry. Tapi ini urgent banget. Sumpah," ucap Diara.
"Masih soal kemarin?" tukas Davin.
Diara berdehem. Melirik kanan kiri. Walau pun Bandan dan Gina terlihat sibuk, tapi telinga mereka bisa saja masih bekerja dengan baik. "Aku ke toilet dulu," ucapnya.
"iya, Mbak." Bandan dan Gina menyahut bersamaan.
"Bentar," ujar Diara pada kakaknya. Setelah dirasa cukup aman, ditempelkannya lagi ponsel di samping telinga. "Halo, Kak."
"Hmm."
"Please, cariin temen Kakak--"
"Astaga, Diara! Kamu pikir gampang, hah? Lelaki baik mana yang mau pura-pura jadi kekasih buat semalam, doang?!"
"Paling lama juga lima jam," sahut Diara. "Atau ... gini aja. Aku pulang duluan, deh! Empat ... empat jam, atau ... tiga jam."
Davin tak menjawab.
"OK, dua jam. Gimana?"
Masih belum ada jawaban.
"Kak, enggak mungkin kalau cuma satu jam. Entar temen-temen aku curiga," rengek Diara.
"Kenyataannya emang kamu bohong," tukas Davin.
Diara terdiam. Merasa putus asa dengan cara terakhir yang dia pilih. Tanpa berbicara lagi dia mengakhiri panggilan. Menggenggam ponsel dengan erat, hingga buku-buku jarinya memutih.
Diara masih duduk, di atas kloset. Hanya saja entah kenapa kali ini dia enggan menangis. Mungkin karena lelah, atau karena sudah terlalu merasa putus asa.
.
"Siapa pacar Diara?"
Saskia menoleh. "Mas Kenan?"
"Siapa pacar Diara?" tanya Kenan lagi dengan nada lebih menekan.
"Aku enggak tau. Diara enggak pernah cerita," jawab Saskia takut.
Kenan menatap Saskia tajam. Sepertinya dia masih menuntut jawaban.
"Aku sama Diara emang lumayan dekat, tapi cuma sebatas teman karena kita udah kenal sejak kuliah. Diara itu bukan tipe perempuan sembarang yang bisa dekat sama siapa aja, baik perempuan atau laki-laki. Aku cuma tau teman dekatnya itu ...." Saskia terdiam ketika melihat Sagara berdiri tak jauh di belakang Kenan. "Any ... Anye. Teman serumahnya. Mereka udah bersahabat sejak kecil," pungkas Saskia. Pikirnya, hanya itu satu-satunya cara agar Kenan percaya.
"Anye? Guru TK itu?" tanya Kenan.
"Iya. Kok, Mas Kenan tau?" Saskia terheran.
Kenan tak menjawab. Dia memilih pergi meninggalkan Saskia yang masih termangu.
Saskia menatap kepergian lelaki itu. "Dasar, bule be ... eh, Pak Sagara." Saskia berusaha meredam keterkejutannya karena melihat lelaki itu sudah berdiri di depannya, menggantikan posisi Kenan.
"Jangan sampai orang-orang tau, aku pernah dekat dengannya," ujar Sagara. Pelan, tapi tegas.
Saskia menelan saliva. Mengerti apa yang dimaksud oleh Sagara. Itu karena keteledorannya dua hari lalu. Ketika sedang berdua bersama Sagara di dalam lift, perempuan itu dengan polosnya bertanya, "Pak Sagara, kenapa tidak bersahabat lagi dengan Diara?"
Hanya karena satu kalimat, Saskia merasa dunia kerjanya menjadi banyak ancaman. Karena sejak hari itu, Sagara selalu menatap Saskia. Seperti mengintimidasi dirinya. Padahal sebelum kejadian itu, Sagara selalu bersikap baik dan manis padanya. Terutama jika sedang bersama Diara. Saskia bahkan pernah merasa malu sendiri, berpikir jika sikap Sagara yang lembut padanya adalah ungkapan rasa.
"Denger, ya, Sas. Lo jangan pernah percaya sama Sagara," pesan Diara ketika Saskia mencurahkan perasaannya.
"Kenapa? Lo cemburu?" Saskia merasa kesal.
"Enggak sama sekali. Asal lo tau, dulu gue pernah dekat sama dia waktu SMA. Tapi sejak dia masuk kantor ini, gue menetapkan dia sebagai musuh."
"Lo pernah jadi pacar Pak Sagara?"
"Temen deket. Just friend. Udah, jangan dibahas lagi. Cuma masa lalu. Awas, jangan sampai orang lain tau," peringat Diara.
Saskia berusaha menepatinya. Namun, entah kenapa karena rasa penasarannya yang sudah dia simpan selama bertahun-tahun, secara tak sengaja harus dia luapkan pada Sagara. Alhasil bukan jawaban yang dia dapat, tapi malah bendera permusuhan. Saskia kebingungan sendiri melihat perubahan Sagara. Kenapa harus marah? Menurutnya, yang dia lakukan itu adalah sebuah usaha, agar Sagara dan Diara tidak bertengkar lagi.
Saskia terkesiap ketika menyadari Sagara sudah membungkukkan setengah badannya.
"Siapa?"
"Siapa?" Saskia malah mengulang pertanyaan Sagara.
"Siapa pacarnya Diara?" desis Sagara.
Saskia memejamkan mata. "Ak-aku ... sumpah, aku enggak tau," ucapnya dengan nada bergetar. Dua jarinya terangkat ke atas. Lima detik kemudian dia membuka mata. Sagara sudah tidak ada. Helaan napas lega berembus dari mulutnya. Dipalingkannya kepala, lelaki itu sudah berjalan menjauh. "Ckckck, kenapa bisa Diara punya musuh dua cowok ganteng dan keren? Gue harus kasian apa iri," gumamnya.
.
Langit jingga menghiasi bumi. Hiruk pikuk kota berubah lebih ramai. Para pekerja berebut jalan agar bisa segera sampai di rumah. Akan tetap, itu tidak terjadi pada Diara. Dia masih duduk di balik kemudi, di tempat parkir kantor. Padahal sudah tidak ada mobil lain, hanya ada mobilnya.
Punggungnya bersandar, dengan satu tangan bergerak menaik turunkan layar ponsel. Diara sedang mencari informasi tetang 'lelaki sewaan'. Di jaman seperti ini, hal semacam itu memang mudah ditemukan. Banyak orang yang menerima jasa 'sewa lelaki' entah untuk menjadi teman curhat, pura-pura menjadi pacar, bahkan untuk menemani tidur. Diara bergidik ngeri ketika ada seorang lelaki muda menuliskan kalimat iklan 'Siap Menerima Tante Yang Kesepian'.
"Umur dua puluh sembilan, apa udah pantes disebut tante," gumam Diara kesal.
Entah berapa alamat website yang Diara buka, lalu tutup lagi setelah melihat iklannya. Dia tak mengerti kenapa setiap akan menekan nomor telepon yang tertera, hatinya merasa ragu.
'Bagaimana kalau lelaki itu mengenalnya?'
'Bagaimana kalau ternyata lelaki yang dia sewa adalah temannya sewaktu SMA, SMP atau mungkin SD?'
'Bagaimana jika seandainya lelaki yang dia pilih itu memiliki teman, kerabat atau saudara yang juga bekerja di kantornya?'
Itu asumsinya Diara.
"Argh, shit!" umpatnya, lalu menjatuhkan kepala di atas kemudi. Menekan keningnya hingga benar-benar terasa sakit. Kedua matanya terpejam, dengan bibir yang terus merutuki nasib sialnya.
Ponsel yang masih dia genggam di tangan kiri berdering. Diara menghentikan kegilaannya. "Kak Devan?" bisiknya.
Hampir dia menekan tombol gagang telepon berwarna hijau, namun urung ketika teringat kejadian tadi pagi. Dibiarkannya nada dering sampai berakhir. Akan tetapi, ponselnya kembari bersuara.
Setelah tiga kali berdering, bunyi pertanda pesan baru masuk. Kali ini Diara membukanya.
"Marah?"
"Sorry."
Dua pesan dari Devan. Diara tak membalasnya. Terlihat pertanda Devan sedang mengetik. Antara masih marah tapi juga penasaran. 'Apa yang sedang dia ketik?', batin Diara.
"Ada temen kakak. Dia mau pura-pura jadi pacar kamu. Gimana?" tulis Devan.
Diara menautkan alis. Tak langsung percaya dengan isi pesan dari kakaknya.
"Angkat telponnya," tulis Devan lagi.
Tak lama ponsel Diara berdering. Diangkatnya segera. "Halo," sapanya pelan.
"Kalau mau malam ini kamu temui dia. Kebetulan dia ada acara. Nanti Kakak kirim nama tempat sama alamatnya," papar Devan.
Diara masih diam.
"Sejak umurnya lima belas, dia tinggal di London. Dia ke Jakarta karena putri dari sahabat Papanya menikah. Terus dia cuma dua minggu di Indonesia, semingguan lagi balik ke London. Mau enggak?"
"Itu beneran temen Kakak?" tanya Diara ragu.
"Iya. Dia temen waktu kuliah. Kamu bilang sama temen-temen kantor kalau pacar kamu kerja di luar negeri, 'kan? Dijamin ini bakal aman. Kemungkinan dia enggak bakal bisa ketemu sama mereka lagi, karena dalam dua tahun ke depan dia bakal fokus beresin studi S3-nya di Belanda. Paham?"
"Enggak bakal berkunjung ke Indonesia lagi?" tukas Diara.
"Iya. Mau atau enggak? Kakak udah bela-belain kebangun dari tidur ini, buat kasih tau kamu," ucap Davin kesal.
"Iya-iya. Aku mau," tandas Diara.
Setelah percakapannya selesai, Diara menyandarkan lagi punggungnya. Hanya saja kali ini sebagai ungkapan rasa lega karena sudah mendapat jalan keluar dari masalahnya.
.
Di sebuah gedung, pesta mewah sedang berlangsung. Pernikahan dari dua anak konglomerat. Para tamu yang datang memakai dress code putih untuk perempuan dan hitam untuk lelaki. Begitu pun Dirga. Dia sudah memakai setelah jas rapi, ciri khas lelaki berkelas tinggi. Dan di sampingnya, Raisya terlihat anggun dengan gaun putih panjang di tubuhnya.
Bagi Dirga, ini adalah hal baru. Karena biasanya klien yang menyewanya cukup mengajak makan malam atau berkunjung ke rumah orang tua mereka. Beruntung selama mempersiapkan diri di butik tadi, Raisya, perempuan yang kini sedang berjalan bersamanya, sudah memberitahukan beberapa hal yang harus dia lakukan.
Dirga melangkah, dengan satu tangan menggandeng lengan Raisya.
"Itu temen-temen aku. Aldo pasti di sana," bisik Raisya.
Dirga mengerti. Diambilnya napas dalam, lalu mengeluarkannya dalam satu embusan.
"Hai, semua!" sapa Raisya.
Semua orang di meja berpaling. Dua perempuan dan dua laki-laki.
"Wah, Sya. Cantik banget malam ini," puji seorang perempuan.
"Terima kasih," sahut Raisya.
Semua tersenyum, hanya satu yang menampakkan wajah tak suka. Dirga yakin itu lelaki yang Raiysa maksud.
Dirga melepas tangannya, menarik kursi kosong. "Silakan," ucapnya pada Raisya. Dirga duduk di sampingnya. Meja bundar membuat semua orang dengan mudah untuk saling bertatap muka, termasuk Aldo yang sedari tadi tak melepas pandangannya pada Dirga.
"Siapa, Sya?" tanya salah satu teman perempuannya.
"Ah, kenalin. Ini Tama," sahut Raisya, lalu memalingkan wajah ke arah Dirga. "Pacar aku," lanjutnya dengan tatapan penuh arti.
Dirga menyunggingkan senyum manis pada Raisya, lalu kembali tersenyum sambil menganggukkan kepala ke arah teman-temannya.
"Ganteng," puji teman perempuan Raisya yang lain.
"Hebat, Sya. Baru sebulan putus dari Aldo, udah dapet pengganti yang lebih ... wah," celetuk lelaki yang juga teman kuliah Raisya dan Aldo.
"Aldo masih susah move on," timpal lelaki satunya.
Aldo yang menjadi bahan objekan tertawa, kemudian meneguk sisa wine di gelasnya. "Kerja di mana? Atau sedang mengembangkan bisnis?" tanyanya sinis pada Dirga.
Dirga tersenyum. "Masih membantu mengurus perusahaan keluarga."
"Oh," timpal Aldo. Seakan mengerti siapa Dirga.
Raisya melambaikan tangan, memanggil pelayan yang membawa nampan berisi minuman. Diambilnya segelas sirup dan segelas wine.
"Terima kasih," ucap Dirga ketika menerima gelas yang diberikan Raisya. Ditatapnya gelas itu. Entah kapan terakhir kali Dirga meminum cairan beralkohol seperti ini. Yang jelas, dia hampir lupa rasanya.
.
Di depan gedung, Diara menunggu dengan gelisah. Sudah jam sepuluh malam, dan belum ada satu pun tamu yang terlihat keluar. Diembuskannya napas pendek, berusaha menghilangkan ketakutannya.
"Santai, Diara. Santai," bisiknya.
Entah berapa lama dia menunggu. Hingga tampak para tamu keluar satu persatu. Diara duduk tegak, menyipitkan mata. 'Bagaimana bisa aku melihat dari kejauhan seperti ini?', pikirnya.
Diara berusaha mencari cara. Lalu tersenyum ketika mendapatkan ide. Dia keluar dari mobil dan masuk ke dalam sebuah minimarket.
Sementara itu, Dirga bangkit dari duduknya. Dengan satu tangan memegang pelipis karena kepalanya terasa berat.
"Mas, mabuk?" bisik Raisya.
"Sepertinya begitu," sahut Dirga.
"Biar aku antar pulang, ya." Raisya menoleh ke arah lain, Aldo sedang meracau tak jelas. "Ayo," ajaknya, menggandeng tangan Dirga kembali.
Beruntung Dirga masih bisa menguasai diri. Tidak sampai mabuk parah seperti Aldo.
"Tunggu di sini sebentar, aku ambil dulu mobil," ucap Raisya.
Dirga hanya menganggukkan kepala.
"Halo, Davin. Adik kamu di mana? Iya, namanya Diara. Aku ingat. Apa dia jadi ke sini?" Seorang lelaki berdiri di samping Dirga, berbicara dengan seseorang lewat ponsel.
Dirga mengerjapkan mata. Mengusir rasa pening yang perlahan melanda.
"Ayo, Mas!" ajak Raisya yang ternyata sudah berada di depannya.
Dirga masuk ke dalam mobil. Raisya pun melajukan kendaraannya.
"Mas, maaf, ya. Aldo emang gitu orangnya. Kalau ada masalah pasti ajakin orang minum. Indra sama Agung aja udah enggak mau, tapi ternyata dia malah ngajak Mas Dirga minum-minum," ujar Raisya.
"Enggak apa. Aku enggak enak juga mau nolak. Kayaknya, dia emang bener-bener masih sayang sama kamu." Dirga berusaha tenang.
"Iya, tapi tetep aja aku enggak mau balikan sama dia," sahut Raisya sebal. "Ada apa?" gumamnya, melihat mobil di depan berhenti. Dia pun ikut menghentikan mobilnya.
Dirga meraba perutnya. Merasa tidak nyaman karena seperti ada yang mengaduk-ngaduknya dari dalam.
"Mas Dirga kenapa?" tanya Raisya cemas.
"Perut aku tiba-tiba mual. Ini pasti karena udah lama enggak minum," jawab Dirga sambil menepuk-nepuk dadanya.
Raisya melajukan mobil karena kendaraan di depannya sudah bergerak kembali, tapi setelah beberapa meter keluar dari area gedung, ditepikannya mobil di samping trotoar. Itu karena melihat Dirga yang memberi isyarat untuk membuka pintu.
"Sebentar." Dirga keluar dengan cepat. Dorongan itu muncul, terus mendesak. Mau tak mau Dirga mencari tempat yang sedikit aman.
Raisya menatapnya dari dalam mobil. Antara rasa bersalah, tapi juga merasa jijik. Dia pun memutuskan keluar karena kasihan melihat Dirga. "Mas Dirga, aku beli dulu air minum, ya," ucapnya tanpa menghampiri lelaki yang sedang kepayahan tersebut.
Dirga tak menyahut. Hanya menggerakkan tangan sebagai isyarat. Raisya pun menyeberang untuk membeli air minum di minimarket 24 jam.
"Ah, berat banget resiko jadi pacar sewaan," gumam Dirga. Lalu menegakkan tubuh, setelah membungkuk di atas tong sampah selama hampir satu menit.
"Mas Dirga?"
"Ya." Dirga menoleh.
"Ini aku, Diara."
Dirga mengerjapkan mata. Berusaha melihat jelas sosok di depannya. Dari suaranya terdengar seperti perempuan, tapi kenapa dia harus memakai kaca mata hitam di tengah malam seperti ini? Belum lagi topi pantai itu ....
"Mas Dirga mabuk?"
Dirga tak sanggup menjawab.
"Mas Dirga!"
***
Anye berdiri menyilangkan kedua tangan di dada, menatap Diara yang sedang merapikan kemejanya. "Dari mana lo dapet cowok secepat itu?"
"Enggak penting," sahut Diara tak acuh.
Anye berdecak. Sejak semalam dia sudah melontarkan banyak pertanyaan, tapi tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Anye mengerti jika Diara mungkin masih marah pada dirinya. Namun, bukankah tak baik juga jika membiarkan sahabat sekaligus teman serumahnya terbelenggu rasa penasaran, pikirnya.
Anye pun berbalik, meninggalkan Diara yang masih fokus merias wajah.
Pintu kamar tertutup. Diara tersenyum puas melihat wajah kesal Anye. "Itulah sebabnya jangan bermain-main dengan Diara Oktavia," gumamnya.
Lain halnya Diara, lain pula dengan Dirga. Jika Diara sedang merasa senang karena berhasil menemukan teman kakaknya yang akan dia jadikan 'kekasih palsu', sementara Dirga terbangun dengan kebingungan tiada tara.
Dirga menatap langit-langit di atasnya. 'Di mana ini? Ini bukan kamarku?', batinnya. Setelah merasa kesadarannya sudah kembali penuh, Dirga bangkit perlahan. Mengedipkan mata berkali-kali, mengedarkan pandangan di tempat yang terasa asing. Rasa pusing di kepalanya sudah sirna, tapi entah kenapa dia masih belum percaya atas apa yang dia alami sekarang. "Apa aku masih mabuk?" gumamnya sambil memijat kening.
"Mas Dirga, sudah bangun?"
Dirga mengangkat kepala. Seorang perempuan cantik berdiri di depannya. Memakai kemeja putih bergaris vertikal hitam, dan celana denim ketat yang memperlihatkan dengan jelas kaki jenjangnya.
Dirga tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tidak tahu harus berkata apa.
"Maaf, semalam Mas pingsan. Aku sebenarnya mau anterin Mas, tapi Mas enggak jawab pas aku tanya nginep di hotel mana?"
'Hotel?', batin Dirga terheran.
"Di, sarapan," ajak Anye.
"Ya," sahut Diara. "Ayo, sarapan dulu, Mas. Nanti aku anterin ke hotel sekalian berangkat ke kantor," lanjutnya. Kemudian berbalik menuju meja makan.
Setelah membasuh wajah, Dirga duduk di salah satu kursi. Kebingungan benar-benar memenuhi otaknya. 'Bukankah semalam aku ke pesta?' Kenapa ada di sini? Kalau pun pingsan, harusnya Raisya yang mengantar pulang atau membawaku ke rumahnya,' batinnya.
"Oh, iya. Kenalin, ini Anye. Sahabat aku. Mungkin Kak Davin udah cerita, kalau aku tinggal sama Anye sejak kepergian dia ke Kanada," ujar Diara.
Dirga menoleh ke arah Anye, lalu membalas anggukan kepalanya.
'Davin?'
'Kanada?'
'Ah, aku benar-benar lupa. Tunggu ....' Dirga mengingat sesuatu.
"Halo, Davin. Adik kamu di mana? Iya, namanya Diara. Aku ingat. Apa dia jadi ke sini?"
'Diara? Apa mungkin perempuan ini yang lelaki itu maksud?', pikir Dirga lagi.
Dirga meraih gelas berisi air putih, lalu meneguknya. "Ehem, Diara."
"Ya?" Perempuan di depannya menyahut.
"Maaf untuk semalam," ucap Dirga kikuk.
Diara tersenyum. "Tidak apa. Aku yang harusnya meminta maaf, karena akan merepotkanmu untuk beberapa hari ke depan."
Dirga tersenyum. Meraih sendok, menyantap nasi goreng di depannya masih dengan perasaan tak menentu.
.
"Yakin enggak mau aku anterin sampai ke hotel?" tawar Diara.
"Enggak usah. Dari sini aku naik taksi aja," tolak Dirga.
"Ya udah, nanti sepulang dari kantor aku telpon kamu. Bye!" Diara melambaikan tangan.
Dirga membalasnya, hingga mobil hitam itu sudah pergi menjauh. "Mobil itu ... rasanya ... pernah lihat. Di mana?" gumamnya.
Dirga mengingat wajah Diara semalam, lalu mobilnya. Mengingat wajah Diara tadi pagi, lalu mobilnya lagi. Hingga mengingat wajah Diara beberapa menit lalu ketika menatapnya dari jendela mobil.
"Apa Anda belum merasa pegal, Pak Sagara?!"
"Ada masalah?"
"Do you want to die?"
Dirga terhenyak. "Astaga, dia perempuan galak itu," ucapnya. "Tapi, kenapa sekarang dia berubah baik?"
Ponsel dalam saku celananya berdering. Dirga merogoh segera. "Halo, Raisya," sapanya.
"Halo, Mas. Kamu baik-baik aja, 'kan?" Terdengar nada cemas dari seberang sana.
"Aku baik-baik aja. Kamu gimana?"
"Aku tentu aja baik. Justru yang aku cemaskan itu kamu. Semalam pas aku balik dari minimarket, kamu udah enggak ada."
Dirga tertegun, menepuk keningnya. "Maaf, buat kamu cemas. Semalam aku ketemu temen."
"Oh, syukur deh, kalau gitu. Eh, ini aku bentar lagi on the way. Bisa kita ketemu? Sekalian kasih baju Mas."
Dirga teringat bajunya yang dia simpan di mobil Raisya. "Boleh. Kirim aja alamat tempatnya," pungkas Dirga.
"OK. Sampai ketemu," tandas Raisya.
Dirga menurunkan ponselnya dengan lesu setelah sambungan terputus.
.
Matahari bergulir menuju peraduannya. Dirga turun dari motor yang masih diparkirkannya di depan teras.
"Sudah pulang Dirga?" sapa Ibu Ratih.
"Iya, Bu." Dirga duduk di atas bangku kayu. Disandarkannya punggung pada tembok rumah. Satu tangannya merogoh ponsel dalam saku jaket. Pesan baru dari kontak bernama Diara.
"Aku udah beres kerja. Bisa kita ketemu?" tulisnya.
Dirga mengusap wajah. 'Astaga, bagaimana ini? Aku bahkan enggak ngerti kenapa bisa bertemu dia?', batinnya.
"Aku enggak bisa kebingungan kayak gini. Aku harus bicarakan ini sama Diara. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?" gumamnya.
Dirga bangkit, dipakainya lagi helm yang belum lama dilepasnya.
Terdengar teriakan sang ibu memanggil, tapi Dirga tak memedulikannya.
Dirga terus melajukan motor. Tekadnya sudah bulat, untuk mengakui jika dirinya bukanlah Dirga yang Diara cari di malam itu.
*****
--bersambung--