Diara membuka kedua mata. Senyum merekah sempurna di bibir merah jambunya. Selama dua puluh tiga tahun terakhir hidupnya, dia tidak pernah sebahagia ini dalam menyambut pagi. Diara bangkit, menatap kalender di atas nakas. "14 Februari," gumamnya. "This is my day!" Lalu mengangkat kedua tangan ke atas.
Diara melompat dari ranjang. Dibukanya lemari baju berpintu tiga. Menarik sebuah hanger, menatap gaun pestanya. "Kamu harus bisa membungkam semua mulut yang selalu mengejekmu itu, Diara Oktavia."
"Di, sarapan." Anye mengetuk pintu.
"OK!" sahut Diara.
Anye tertegun. "Tumben girang banget," ucapnya. Namun setelahnya dia tersenyum. Karena jujur Anye pun ikut bahagia melihat Diara. Sejak kemarin, atau tepatnya sepulang berjalan-jalan dengan Dirga, Diara terus tersenyum sendiri. Anye memakluminya, mungkin sahabatnya itu merasakan kelegaan yang luar biasa.
Anye duduk di kursi, tak lama Diara datang dan ikut mengempaskan tubuhnya.
"Wuih, harum banget roti bakarnya!" seru Diara.
"Biasanya juga gini," timpal Anye.
"Masa?" Diara bertanya sebelum meneguk susu rasa vanilla di gelasnya.
Anye hanya menggelengkan kepala. "Ternyata bener. Suasana hati bisa mengubah segalanya, termasuk hidup seseorang."
Diara menatap Anye, meraih roti isi selai coklat kacang. "Gue seneng karena lima tahun penantian gue akhirnya berakhir," sahutnya acuh.
"Ya, I know. Terlihat dari wajah lo." Anye ikut menggigit rotinya.
Diara mengunyah sarapannya dengan wajah yang terus berbinar.
.
"Bang, enggak narik lagi? Apa lagi sakit?" Beni duduk di bangku kayu, menyimpan gelas di atas meja.
Dirga yang sedang mengelap bagian depan skuter matiknya, tak menoleh sedikit pun. "Lagi mau libur aja," jawabnya tak acuh.
"Ini kopinya," ujar Beni.
"Ya, makasih." Dirga melirik sekejap kali ini.
"Sama-sama." Beni sempat termangu sebentar, melihat ada sebungkus rokok di atas meja. Tidak biasanya.
Seingat Beni, sudah lama Dirga tidak merokok. Terakhir kali melihatnya, dua bulan setelah sang ayah meninggal. Dirga mengisap lintingan tembakau itu karena merasa pusing atas masalah yang dia hadapi. Beni yang hendak masuk SMA, lalu Alya yang juga akan masuk SMP. Belum lagi memikirkan biaya untuk Amel yang harus tetap bersekolah di SLB. Jelas itu membuat Dirga kewalahan.
Tak terdengar lagi suara Beni. Dirga pun berdiri, berjalan menuju teras. Kemudian duduk di bangku kayu sambil menyimpan lap di tangan kanan dengan setengah melempar. Diraihnya bungkusan rokok, mengambil isinya kemudian menyulut ujungnya dengan pemantik. Setelah itu, Dirga tampak menikmati kegiatannya menikmati sebatang rokok.
"Beni," panggil Ibu Ratih.
Beni berbalik segera, merapikan kain gorden yang dia singkapkan. "Eh, Ibu," sahutnya gugup. "Udah beres nyucinya? Mau Beni bantuin?" Kemudian menghampiri ibunya yang sedang berdiri di ambang pintu dapur.
Sang ibu bukannya menjawab, malah menatap lurus ke arah luar. Pintu terbuka, membuatnya bisa melihat kepulan asap di sana.
"Bang Dirga, pasti lagi punya masalah," tukas Beni.
"Hust, jangan bicara seperti itu. Enggak baik, apalagi kalau sampai Alya dengar," tegur Ibu Ratih. "Kamu bawa itu ember ke halaman belakang, mau Ibu jemur bajunya."
"Iya, Bu. Maafin Beni," ujar anak lelaki berperawakan kurus tinggi itu.
Ibu Ratih memerhatikan Beni hingga benar-benar keluar dari pintu belakang. Kemudian kembali mengarahkan pandangan ke arah depan. Dirga masih asyik menyandarkan punggung ke jendela, dengan satu tangan memegang sebatang rokok.
Terkadang, Ibu Ratih pun merasakan itu. Rasa sedih jika melihat Dirga yang seperti terbebani. Bagaimana pun juga, dia adalah anak tiri. Tidak sepenuhnya harus menanggung beban hidup atas dirinya dan ketiga anaknya. Akan tetapi, pada siapa lagi dirinya harus berpegangan. Sebelum menikah dengan suaminya, Ibu Ratih pun hidup sebatang kara.
Ada kalanya perasaan sebagai ibu muncul. Ingin rasanya Ibu Ratih berbagi kasih sayang dengan Dirga. Namun, itu semua tidak pernah sanggup dia ungkapkan. Karena melihat Dirga yang juga sepertinya enggan menganggap Ibu Ratih layaknya ibu kandung. Dirga terlalu menghormatinya.
Sementara itu, Dirga meraih ponsel di samping bungkusan rokok. Tidak ada pesan baru dari Diara hari ini. Digerakkannya jari, melihat chat terdahulu dari perempuan cantik itu.
"Terima kasih buat pilihan gaunnya. Aku suka."
"Terima kasih juga untuk waktunya. Selamat malam, selamat tidur."
Dirga tersenyum. Bahkan dari semua pacar palsunya, tidak ada yang seramah ini.
"Happy weekend," tulis Diara. Itu pesan yang dia kirim hari Sabtu pagi. Setelahnya, tidak ada lagi pesan baru dari Diara.
Dirga menyimpan ponsel di atas meja kembali. Teringat sesuatu. Ditekannya rokok di atas asbak hingga padam. Meneguk kopi yang sudah mulai hangat. Kemudian berlari masuk ke dalam kamar. Membuka lemari.
"Belum dicuci," gumamnya. Menatap setelan jas pemberian Tania. Dirga meraih satu paper bag lagi, berisi sepatu pantopel. Kemudian menyambar jaket hitamnya.
"Dirga, mau ke mana?" Ibu Ratih berdiri di depan pintu kamar.
"Ada urusan dulu, Bu." Dirga menjawab sambil memasukkan tangannya ke dalam lengan jaket. "Oya, kayaknya Dirga enggak pulang malam ini."
"Mau ke mana?" tanya Ibu Ratih.
Dirga menatap Ibu Ratih selama beberapa detik. Lalu tersenyum. "Dirga pergi dulu," tandasnya. Meraih tangan perempuan itu lalu menciumnya sebagai tanda berpamitan.
Ibu Ratih hanya berdiri memerhatikan di muka pintu. Dirga memasukkan ponsel ke dalam saku jaket, berikut rokok dan pemantik. Kemudian memakai helm, dan pergi melajukan kendaraannya.
"Enak ya, Bu. Punya anak bujang yang rajin kerja."
Ibu Ratih yang hendak masuk ke dalam, berputar kembali. "Alhamdulillah, Bu Ema."
"Udah rajin kerja, tampan, banyak pacarnya lagi. Mana pacarnya pada kaya semua," timpal Bu Asih, yang juga sedang duduk-duduk santai di depan rumah Bu Ema.
Ibu Ratih hanya tersenyum. "Saya permisi dulu, masih ada pekerjaan di dapur," pamitnya. Masuk ke dalam, menutup pintu. Sempat dilihatnya dua ibu rumah tangga itu berbisik-bisik sambil sesekali menoleh ke arah rumahnya. Sudah tidak aneh baginya. Para tetangga memang sering menggosipkan Dirga, dan Ibu Ratih tak bisa berbuat apa-apa.
.
"Dirga!"
Dirga yang sedang berselancar di dunia maya, terperanjat mendengar namanya dipanggil secara tiba-tiba. "Udah, Bang?"
"Udah." Lelaki yang umurnya lebih tua tiga tahun dari Dirga itu mengangkat hanger berisi celana, kemeja dan jas.
Dirga memasukkan ponsel ke dalam saku celana, bergegas menghampiri temannya yang juga adalah pemilik tempat binatu. "Makasih," ucapnya. Kemudian mengambil alis barang miliknya.
"Cewek mana sekarang?"
Dirga yang sedang menatap bajunya, berpaling sebentar. "Maksudnya?"
"Cewek mana yang lo kencani?"
"Ada, deh," sahut Dirga pendek.
"Eh, Dir. Hati-hati."
"Hati-hati kenapa, Bang?"
"Cewek yang lo kencani, takutnya tau kebohongan lo. Setampan apa pun cowok, kalau dia tukang bohong, cewek juga kagak mau," papar lelaki yang Dirga kenal bernama Bang Tino.
"Tapi cewek-cewek gue malah suka tipe cowok pembohong. Gimana tuh, Bang?"
"Berarti cewek lo aneh," tukas Tino.
Dirga tersenyum. "Tapi menurut gue, Bang. Kebohongan kadang perlu dalam sebuah hubungan."
"Ah, itu mah lo aja yang gila."
Dirga malah tertawa. "Ya udah, gue numpang ganti baju. Takut telat."
"Ya, silakan."
Setelah berpakaian lengkap, memakai parfum dan rambut yang tertata rapi. Dirga pergi ke rumah Diara dengan menggunakan taksi.
Biasanya, Dirga akan memasukkan semua biaya transportasi ke dalam tarif sewanya. Namun, karena kali ini pekerjaan yang dia lakukan adalah sukarela, Dirga harus ikhlas mengeluarkan banyak ongkos.
Dirga menyebut ini sebagai Misi Penyelamatan Harga Diri Diara.
Taksi berhenti di depan rumah. Dirga berkaca sebentar sebelum memberikan ongkos. Setelah yakin semua sempurna, dia pun turun. "Makasih, Pak," ucapnya sambil memberikan sejumlah uang.
"Sama-sama, Mas." Taksi melaju kembali. Dirga pun menyeberang segera. Akan tetapi, dia merasakan sedikit keanehan. Seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Dirga berputar, menatap mobil jeep yang berada tak jauh dari tempatnya turun tadi.
"Mas Dirga?"
Dirga berpaling. "Eh, Anye." Kemudian berbalik kembali. "Selamat malam," sapanya.
"Selamat malam, Mas!" sahut Anye riang. "Ayo, masuk. Diara udah nungguin."
Dirga pun mengangguk. Lalu berjalan lagi menuju teras.
"Duduk dulu," ujar Anye.
Dirga mengangguk lagi. Mengempaskan tubuh di atas sofa. Selagi menunggu, dia mengeluarkan ponselnya. Melihat apakah ada pesan baru.
"Hai, Dirga!"
Dirga mengangkat wajah. "Wow, cantik," pujinya. Melihat Diara yang sudah berdiri di depannya, memakai gaun hasil pilihannya tempo hari, sepatu high heel berwarna senada, dan rambut yang dibiarkan tergerai.
"Thank you," sahut Diara.
"Baiklah. Malam ini kalian harus berhasil menjadi raja dan ratu pesta. Jangan biarkan ada orang lain yang mengalahkan pesona kalian," kelakar Anye.
Dirga dan Diara tertawa.
"Jam berapa pesta di mulai?" tanya Dirga sambil ikut berdiri.
"Tepat jam tujuh malam. Itu artinya lima menit lagi. Kita harus cepat ...." Diara menghentikan perkataannya melihat Dirga menggelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Anye curiga.
"Untuk menjadi pusat perhatian, setidaknya kamu harus datang setengah atau satu jam setelah pesta di mulai," ujar Dirga.
Diara dan Anye menautkan alis, saling menengok satu sama lain. Kemudian kembali menatap Dirga secara bersamaan.
Dirga mengembuskan napas, lalu berdecak. "Kalian berdua belum pernah ke pesta?"
Anye dan Diara menggelengkan kepala.
Dirga membulatkan mata. Dia kira pertanyaan itu hanya gurauan, tapi ternyata dijawab dengan jujur oleh keduanya. 'Bagaimana mungkin dua perempuan cantik ini ...? Astaga, benar-benar,' batin Dirga.
Terdengar dering ponsel. Diara merogoh benda itu dalam tasnya.
"Siapa?" tanya Anye karena melihat Diara hanya menatapnya.
"Saskia," sahut Diara. Kemudian dia menoleh ke arah Dirga.
"Jangan diangkat," perintah Dirga.
"Kenapa?" Anye terheran.
"Biar teman-teman kantornya merasa penasaran," jawab Dirga santai.
Anye termenung, begitu pun Diara. Akhirnya mereka mengetahui maksud dari yang Dirga katakan. Keduanya tersenyum.
"Tapi, ada satu hal yang ingin aku tanyakan," sela Dirga.
"Apa?" Diara bertanya penasaran.
Dirga melangkah, berdiri di dekat jendela. "Apa itu mobil tetanggamu?" tunjuknya.
Anye menatapnya seksama. "Aku baru pertama kali melihatnya."
Dirga menganggukkan kepala. "Baiklah, sepertinya kita memang harus keluar sekarang." Kemudian merapikan jasnya. "Mari," ajaknya pada Diara, memberi isyarat untuk bergandengan tangan.
Awalnya Diara tidak paham, tapi setelah melihat ke arah jendela dan mobil jeep itu, dia pun mengerti. "OK."
Dirga dan Diara saling bergandengan tangan. Berjalan keluar rumah, menuju mobil yang terparkir di pinggiran jalan karena memang tidak ada halaman atau pun garasi.
"Dah!" Anye melambaikan tangan.
Diara membalasnya. "Dah!"
Dirga pun membukakan pintu penumpang untuk Diara.
Ketika Diara hendak masuk, Dirga menahannya.
Diara menoleh, sedikit mendongkak menatap wajah Dirga.
Dirga mengangkat tangan kanannya. Menyelipkan rambut Diara ke belakang telinga. Kemudian tersenyum, dan memberi isyarat kembali untuk masuk.
Diara sempat tergugu dibuatnya. Namun, ketika sadar bahwa orang di dalam mobil jeep itu sedang mengawasi mereka, dia pun berjinjit lalu mengecup pipi Dirga.
Dirga tersenyum kembali, dan Diara masuk ke dalam mobil.
Anye yang melihat tingkah dua makhluk di depannya, hanya bisa berdecak kagum. "Sandiwara yang sempurna," gumamnya.
Dirga sudah duduk di balik kemudi, dan Diara memasang sabuk pengamannya.
"Ada apa?" Diara bertanya, melihat Dirga yang belum juga menghidupkan mesin mobil.
"Sebentar," ujar Dirga. Dia merogoh ponselnya. Mencari kontak seseorang. "Di mana?" tanyanya setelah sambungan telepon dijawab.
"Baru mau pulang, abis narik," sahut Ridwan dari seberang sana.
"Gue mau minta tolong," ucap Dirga. Kemudian memutus sambungan telepon, mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.
"OKE," balas Ridwan.
Diara penasaran apa yang dilakukan Dirga, tapi dia juga merasa tak harus ingin tahu semuanya.
Dirga berdehem. "Baiklah, kita berangkat," ucapnya. Memutar kunci, menghidupkan mesin mobil.
Diara berusaha duduk dengan nyaman. Akan tetapi, ketenangannya terus terusik karena ponselnya berdering kembali.
"Siapa?" Dirga bertanya di sela mengemudikan mobil.
"Saskia." Diara menjawab. Dering berhenti. Ketika hendak memasukkannya ke dalam tas, ponsel berdering kembali.
Dirga meliriknya. "Siapa kali ini?"
Diara terdiam sesaat. "Sagara," ucapnya pelan.
"Apa ... Sagara dan Saskia itu orang baik? Atau mereka sama seperti perempuan yang kita temui di butik tempo hari? Atau mungkin salah satunya."
"Mereka baik. Saskia temanku sewaktu kuliah, dan Sagara ... teman semasa SMA," paparnya. Lalu merunduk.
Dirga merasakan ada kesedihan di nada bicaranya. Namun, baginya ini bukan waktu tepat untuk bertanya lebih lanjut.
"Ke mana ini? Ini bukan arah menuju kantorku?!" Diara terkejut menyadari Dirga membelokkan mobilnya.
"Mungkin mereka bagian dari orang jahat," tunjuk Dirga ke arah kaca spion.
Diara ikut melihat, lalu menengok ke belakang. "Mereka mengikuti kita?" tanyanya tak percaya.
"Aku sudah curiga sejak turun dari taksi tadi," timpal Dirga.
Di sebuah persimpangan, Dirga menekan klakson beberapa kali. Setelahnya, motor-motor bermunculan dari semua arah. Menutup akses jalan yang sudah Dirga lewati.
"Siapa mereka?" Diara kembali terkejut. Dadanya bahkan sudah berdebar kencang.
"Teman-temanku."
"Ojol?" Diara terheran.
"Kenapa? Tidak ada batasan dalam berteman, bahkan dengan pengemis sekali pun," sahut Dirga tak acuh.
"Ah, iya. Kamu benar," ujarnya. Kemudian membenarkan posisi duduk.
Sedang Dirga, masih fokus mengendarai mobil tanpa menoleh sedikit pun.
.
Di gedung, Saskia sudah menunggu dengan penuh kekhawatiran. Begitu juga Sagara. Hanya saja lelaki itu berusaha menutupinya.
"Masih belum dijawab?" tanya Sagara.
"Belum, Pak," sahut Saskia dengan nada cemas.
Sagara berpikir sejenak. "Aku ke toilet dulu," pamitnya. Melepas gandengan tangannya dari Andin. Setelah sampai di dalam toilet, segera Sagara menelepon nomor Diara. Hasilnya sama seperti Saskia. Tidak ada jawaban.
Itu semakin membuatnya kalut. 'Apa mungkin semua itu hanya gertakan? Nyatanya, Diara tidak datang lagi?' batinnya.
Sementara itu, di tempat parkir. Kenan pun sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon. "Apa? Gagal?"
"Iya, Pak. Tiba-tiba jalan kami dihalangi para tukang ojeg online."
"Shit!" Kenan menutup sambungan telepon.
"Kenapa, Ken?" Christie, pasangan kencannya datang menghampiri.
"Nothing," sahut Kenan berusaha santai. "Ayo, masuk!" ajaknya.
.
Pesta sudah dimulai satu jam yang lalu. Musik dan lantunan lagu menemani para tamu, dipandu oleh MC yang juga tak kalah menghibur.
Sagara dan Saskia duduk di satu meja. Kecemasan masih menghiasi raut wajah mereka. Lain halnya dengan penghuni meja di sebelahnya. Friska, Gio dan Kenan, tampak sangat menikmati suasana pesta dengan segelas minuman di tangan, dan tentu saja, bersama pasangan mereka.
Pintu terbuka. Beberapa mata menoleh karena ingin tahu siapa yang baru datang di saat pesta hampir berjalan separuh waktu.
"Diara?" Nama itu disebut secara bersamaan.
Sagara yang mendengarnya, ikut mengarahkan pandangan ke arah yang sama.
Diara berjalan dengan anggun, ditemani Dirga yang begitu lekat menggandeng tangannya. Perempuan itu tampak sangat memesona. Membuat para kaum adam harus berdecak karenanya.
Tak bisa dipungkiri. Jika semua yang Tuhan berikan pada Diara, adalah sesuatu yang diidam-idamkan oleh para pria. Juga banyak perempuan, yang ingin merasakan anugerah kesempurnaan itu.
Tak hanya Diara yang menjadi pusat perhatian. Beberapa pasang mata pun mengagumi ketampanan Dirga. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu, mendapat kekaguman pula dari para kaum hawa yang hadir.
Bisa dipastikan. Kehadiran Dirga dan Diara, memecah konsentrasi para penghuni ballroom.
"Hai," sapa Diara ketika sampai di meja Saskia. Masih ada dua kursi kosong. Saskia sengaja melarang orang lain untuk mendudukinya.
"Diara, you are the most beautiful tonight," puji Saskia.
"Thanks," sahut Diara. "Oh, kenalkan," sambungnya sambil menoleh ke arah Dirga. "Namanya Dirgantara Kusuma Dewa." Senyum mengembang di wajah sang dewi.
Dirga membalas senyum, kemudian memalingkan wajah ke arah Saskia dan Sagara. "Selamat malam semuanya." Lalu menarik kursi di depannya, memberi isyarat pada Diara untuk duduk.
Sagara memerhatikan Dirga yang juga ikut duduk di samping Diara. Menautkan alis. Merasa tak asing dengan sosoknya.
"Baiklah, para tamu undangan semua. Ini waktunya kita menyambut kehadiran sang pencetus pesta. Yang tak lain adalah pimpinan kita semua, Pak Guntur Wiradinata."
Semua bertepuk tangan mendengar MC memanggil nama bos mereka.
"Selamat malam semua," sapa Pak Guntur. "Saya sangat senang, karena untuk yang kesekian kalinya, pesta yang saya adakan selalu mendapat respon positif dari para rekan semua. Meskipun di balik itu semua, masih ada yang bertanya-tanya, kenapa harus ada pesta valentine?"
Hampir semua tertawa mendengarnya.
Sedang Diara, dia seperti acuh tak acuh mendengarnya. Dirga melihatnya, dan mengerti apa yang Diara rasakan. Walau belum genap seminggu mengenalnya, tapi Dirga bisa menyimpulkan dari semua cerita Anye dan Diara.
"Mau minum?" bisik Dirga.
"Boleh," sahut Diara.
Dirga bangkit, berjalan menuju meja minuman. Lalu kembali membawa dua gelas cocktail.
Sagara beberapa kali mencuri pandang pada Dirga. Dia sedang berusaha keras untuk mengingat, apakah dia pernah bertemu dengan Dirga sebelum ini?
Di meja sebelah, Friska dan Gio pun sesekali memerhatikan Dirga dan Diara. Dua makhluk itu terlihat begitu mesra. Sedang Kenan, sedang berusaha menyembunyikan kekesalannya. Karena usahanya untuk mencelakai Diara gagal lagi.
"Saya hanya ingin, para karyawan saya selalu berbahagia. Menyadari, bahwa hampir setiap hari kita bekerja keras untuk kemajuan perusahaan. Oleh karena itu, semoga dengan pesta ini, kita semua bisa terhibur. Terima kasih," tandas Pak Guntur.
"Wah, perhatian sekali bos kita ini pada kesejahteraan para karyawannya," puji sang MC. "Tapi itu benar, bukankah di tengah penatnya kesibukan bekerja, kita membutuhkan sedikit hiburan. Entah itu jalan-jalan, shopping, liburan, atau ... melewatkan waktu bersama pasangan."
Riuh terdengar menanggapi ucapan pembawa acara.
"Dan kali ini, acara kita selanjutnya adalah berhubungan dengan pasangan. Kami akan mempersilakan para tamu undangan untuk berdansa bersama. Siapa yang penampilannya paling banyak mendapat tepuk tangan, dia akan menjadi raja dan ratu malam ini."
Sorak dan tepuk tangan memenuhi ruangan.
"Mau?" Saskia bertanya pada lelaki di sebelahnya.
"Aku enggak bisa dansa, Sayang," tolak tunangannya itu.
"Pak Sagara mau?" Saskia bertanya lagi.
Sagara menggelengkan kepala. Jelas dia tidak mau jika harus terlalu berdekatan dengan perempuan yang dia bawa.
"Ah, empat tahun berturut-turut, aku enggak pernah merasakan disoraki atau menyoraki. Karena biasanya yang ikut kontes dansa selalu dari ...." Saskia membisu, melihat Dirga berdiri.
Dirga membuka telapak tangannya di depan Diara.
Diara yang sedang menikmati minumannya, menatap Dirga penuh tanda tanya.
Dirga merebut gelas di tangan kanan Diara, menyimpannya di atas meja. Kemudian dia merundukkan setengah badan, berbisik di samping telinga Diara. "Bukankah ini yang harus kita lakukan?"
Diara mengerjapkan mata. Tanpa sengaja melihat Sagara yang juga sedang menatapnya. Diara tersenyum. "Ya," ucapnya.
Dirga pun berdiri tegak, dan Diara menerima uluran tangan lelaki itu seraya berdiri.
Kedua tangan mereka saling menggenggam.
Diara menangkap raut tak suka dari para temannya yang duduk di meja sebelah. Tentu saja, Friska, Gio dan Kenan.
Dirga memberi isyarat untuk melangkah menuju arena dansa.
Diara mengangguk, hampir kakinya melangkah, tapi diurungkannya. "Sas," panggilnya.
"Ya?" sahut Saskia yang masih termangu.
"Soraki kami sekeras mungkin," pungkasnya.
Saskia tersenyum sambil mengangguk. "Pasti."
Diara tersenyum, lalu berpaling ke arah Dirga. Memberi isyarat untuk melangkah.
Ada beberapa pasangan yang sudah berdiri di sana. Diara merasakan lembab di kedua telapak tangannya. Walau pun tadi sempat berusaha menutupinya, tapi kini dia benar-benar merasakan kegugupan yang luar biasa.
"Kenapa?" tanya Dirga.
"Aku belum pernah berdansa," sahut Diara.
"Cukup ikuti perintahku," timpal Dirga.
"Hmm." Diara mengembuskan napas. Kemudian berdiri menghadap Dirga.
"Apa hanya ini? Enam pasangan dari sekian banyak orang di sini?" tanya MC. "Baiklah, jika tidak ada lagi. Kita mulai dansanya. Kita akan pilih siapa raja dan ratu pesta ini!"
Semua bertepuk tangan.
Musik mulai mengalun. Diara menelan saliva, tidak tahu harus berbuat apa. Jika sudah begini, dia akan merutuki kebodohan dan keteledorannya lagi yang dengan sembrono menerima ajakan Dirga untuk berdansa.
Senyum terukir di wajah Dirga. Dia tahu apa yang Diara alami sekarang. "Santai," ucapnya.
Diara hanya mengedipkan mata.
Dirga menggerakkan tangan kiri. Melingkarkannya di pinggang Diara. Sedang tangan kanannya, menggenggam tangan Diara.
Dirga menarik tubuh Diara agar lebih merapat, mendekatkan bibirnya ke samping wajah yang tampak masih gugup itu. Membuat Diara sempat merasakan geli karena embusan napasnya. "Anggap aku ... kekasihmu," bisiknya lembut.
Diara mengerjapkan mata. Merasakan seperti ada angin meniup wajahnya. "Kamu ... kekasihku," balas Diara.
Dirga menarik kembali wajahnya. Menatap Diara yang sudah tersenyum lebar.
Akhirnya, gerakan pun dimulai. Diara bisa mengikuti gerakan-gerakan Dirga. Entah itu melalui gerakan mata, gerakan tangan, atau gerakan bibirnya.
Diara terhanyut. Terbawa suasana. Dia lupa kapan pernah merasakan ketenangan seperti ini. Seingatnya, itu sudah lama. Ketika dia berada dalam pelukan ibunya. Rasa bahagia dan damai, menimbulkan kenyamanan yang bisa melupakan segalanya. Bahkan Diara lupa sedang berada di mana.
Musik berhenti. Diara masih terlarut dalam suasana hatinya. Kepalanya bersandar pada dada bidang di depannya. Dengan satu tangan memeluk tubuh Dirga dan satu tangan lain masih dalam genggaman tangan lelaki itu.
Tepuk tangan terdengar, juga sorak sorai memekakkan telinga.
Diara tersadar ketika ada sinar lampu yang menyorot ke arahnya. Dia hanya tersenyum malu setelah menegakkan kepalanya. Kemudian melepas kedua tangannya dari Dirga.
"Wah, sepertinya Mbak Diara begitu menikmati kebersamaannya bersama Mas Dirgantara," seloroh sang MC. "Tepuk tangan yang meriah untuk pasangan kita malam ini!"
Diara tersipu kembali melihat semua orang bertepuk tangan.
Seseorang datang. Membawa sebuket bunga mawar merah. "Selamat," ucapnya.
Diara menerimanya dengan senyuman ramah. "Terima kasih, Pak Guntur." Lalu membalas uluran tangannya.
Dirga memerhatikan bos itu. Ada tatapan lain dari sorot matanya.
Setelah dirasa cukup, Diara mengajak Dirga kembali ke kursi.
Selama berjalan menuju meja, Dirga menghitung tatapan itu. Sorot tak suka yang disembunyikan di balik senyum dan tepuk tangan.
'Si pemberi bunga, tiga orang di meja samping, dan satu orang yang duduk di meja bersamaku,' batin Dirga.
"Hebat banget kalian," puji Saskia.
"Thank you," sahut Diara. Menyimpan bunga di atas meja setelah duduk kembali di kursinya.
Dirga melirik ke arah Sagara dengan ekor mata. Dia mengambil tisu di meja. "Sampai keringetan gini," ucap Dirga, menyeka pelipis Diara.
"Ah, ini bukan karena lelah, tapi aku grogi," sahut Diara.
Dirga tertawa. Tanpa disangka dia mencium kening Diara. "This is your night. You are the best," ujarnya lembut. Kemudian duduk. Senyum simpul terukir di bibirnya, menyadari dia teledor dalam menilai Sagara. Lelaki yang Diara katakan sebagai teman semasa SMA.
Dirga tahu, jika Sagara tidak membenci Diara. Tapi ... dia sedang cemburu.
*****
--bersambung--