"Bang, bangun! Katanya hari ini mau jalan-jalan." Alya menggoyang-goyangkan tubuh Dirga yang sedang terlelap.
Dirga menyipitkan mata. "Jam berapa sekarang?"
"Jam delapan," sahut Alya.
Dirga menarik diri. Perkelahian kemarin sore meninggalkan nyeri di sekujur tubuh. Entah karena dia terlalu beringas melawan lelaki yang hendak melecehkan Diara itu, atau mungkin karena Dirga sudah lama tidak berkelahi.
Dirga pun bangun, berjalan menuju kamar mandi. Karena sudah berjanji jauh-jauh hari pada adik-adiknya, dia pun tak kuasa menolak.
Setelah menikmati sarapan bersama, Dirga berangkat bersama Beni, Alya dan Amel. Biasanya mereka akan berkeliling taman kota, setelahnya makan-makan atau bermain di arena permainan di mal terdekat.
"Kak, ayo!" teriak Alya.
Amel pun melambaikan tangan pada Beni. Remaja itu berlari menyusul kedua adiknya untuk bermain di taman.
Sedang Dirga memilih duduk di sebuah bangku kayu. Menikmati segelas kopi dingin dalam kemasan botol sembari memperhatikan ketiga adiknya. Ponsel dalam saku jaket berdering. Dilihatnya segera. "Diara?" gumamnya.
Dirga memasukkannya kembali ke dalam saku jaket. Meneguk lagi kopi di tangannya. 'Untuk apa membantunya? Aku tidak mengenal dia. Lagi pula, walau pun aku juga kadang menjadi lelaki sewaan, itu bukan hanya sekedar menolong dengan suka rela,' pikirnya.
Hingga jarum jam di lengannya menunjukkan angka sebelas, Dirga masih asyik menemani ketiga adiknya melewati waktu libur.
Sementara itu, Diara sudah bersiap. Memakai jumsuit lengan panjang dengan tali di pinggang. Terlihat santai, tapi tetap dengan ciri khas elegannya.
"Mas Dirga udah angkat teleponnya?" Anye berdiri di ambang pintu kamar.
"Belum," sahut Diara sambil merapikan rambutnya yang diikat tinggi.
Anye menghela napas. 'Bukannya semalam dia udah janji?', batinnya.
Diara memoles kembali sedikit lipstik di bibirnya. Wajahnya terlihat ceria, padahal semalam dia begitu tertekan atas tragedi kemarin sore. Semudah itu dia berubah. Namun, justru karena alasan inilah, Anye semakin khawatir.
"Aku berangkat sekarang," ucapnya pada Anye. Diraihnya bucket tas warna hitam yang sudah dia siapkan sebelumnya.
"Mas Dirga 'kan belum angkat telponnya?" tanya Anye.
"Entar aku telpon lagi di butik, kayaknya masih tidur," tandas Diara. Lalu pergi meninggalkan Anye yang benar-benar merasa cemas pada sahabatnya itu.
Diara kembali mengirim pesan sebelum melajukan mobilnya. "Mas, aku lupa kamu enggak ada mobil. Mau aku jemput?", tulisnya.
"Centang abu," gumamnya. Diara berusaha berpikir positif, mungkin dia masih kelelahan karena semalam pulang dari rumah sekitar jam sembilan malam. Anye bilang, Dirga sangat cemas melihat keadaan dirinya. Itulah alasan Dirga menunggu hingga Diara benar-benar pulih. Dan itu terjadi sekitar pukul delapan lebih, Diara bangun dan bisa tersadar normal. Dirga memutuskan pulang setelah memastikan kondisi Diara baik-baik saja.
Tanpa mau memikirkannya lebih lanjut, Diara melajukan mobil menuju butik untuk membeli baju pesta.
.
"Bang, makan, yuk!" ajak Alya. "Laper," lanjutnya sambil mengusap perut.
"Em ... em." Amel ikut mengusap perutnya.
"Padahal barusan udah jajan es krim," ujar Beni.
Dirga melirik jam tangannya. "Setengah dua belas. Oke, kita makan."
Alya berteriak kegirangan, pun Amel yang melompat-lompat. Sementara Beni hanya menggelengkan kepala.
Dirga menghentikan motornya di sebuah kedai makanan. Mengajak ketiga adiknya masuk, dan menyuruh mereka memilih menu makan siang. Dirga pun ikut duduk. Sambil menunggu pesanan datang, dia melihat kembali ponselnya.
"Mas, aku lupa kamu enggak ada mobil. Mau aku jemput?"
"Ini alamat butiknya."
"Aku udah sampai. Kamu masih di hotel?"
"Mas, masih lama? Aku harus tunggu kamu apa masuk duluan?"
"Mas Dirga."
"Mas Dirga."
"Maaf. Mungkin aku terlalu merepotkan kamu."
Dirga membaca deretan pesan dari Diara. Kebingungan kembali melanda. Semalam, memang dia berjanji untuk menjadi pacar pura-pura Diara pada Anye. Namun, entah kenapa. Rasa ragu kembali datang. Dirga takut, jika Diara tahu kalau lelaki yang Devan pilihkan untuknya, bukanlah dirinya.
"Apa aku harus berpura-pura menjadi kekasih palsu sekaligus berpura-pura sebagai Dirga yang ... ah, membingungkan," gumamnya.
Ponsel berdering. Dirga terhenyak. Dia lupa masih berada di aplikasi Whatsapp. Diara pasti melihat Dirga dalam status online. "Aduh, gimana ini?" gumamnya.
"Kenapa, Bang?" Beni bertanya karena melihat kakaknya yang seperti kebingungan.
"Enggak apa. Bentar, Abang angkat telpon dulu." Dirga bangkit, sedikit menjauh dari ketiga adiknya. "Halo, Diara," sapanya.
"Sudah bangun?"
"Sudah."
"Apa itu sakit?"
"Sakit?" tanya balik Dirga.
"Karena sudah menyelamatkanku dari lelaki jahat itu," jawab Diara.
"Ah, itu. Masih sedikit sakit," sahut Dirga. "Kamu ... lagi di mana?" tanya Dirga ragu.
"Toilet."
"Toilet? Bukannya ke butik?"
"Toilet yang berada di dalam sebuah butik. Tadinya aku mau memilih baju untuk pesta valentine nanti. Tapi sepertinya aku salah," papar Diara. Terdengar embusan napas beratnya. "Terima kasih, karena sudah menolongku kemarin."
Telepon terputus. Dirga menatap layar ponselnya. Rasa bersalah muncul setelah mendengar suara Diara yang terdengar putus asa.
Lalu kalimat-kalimat itu terngiang kembali. Ucapan-ucapan Anye malam tadi. Dirga mengacak rambutnya kesal. 'Antara kasihan tetapi juga ragu. Mana yang harus dipilih?', pikirnya.
Dirga kemudian men-scroll layar ponsel, mencari kontak temannya, Ridwan.
"Halo, Ga."
"Lagi narik enggak?"
"Baru nyampe base camp. Kenapa? Minta dijemput lagi, ya?"
Dirga sudah terbiasa dengan ejekan temannya itu. "Bukan, lo jemput adek-adek gue. Mau?"
"Nah, lo emang mau ke mana? Ada cewek yang ngajak ketemuan mendadak, ya?" goda Ridwan lagi.
"Kepo. Dah, gue kirim alamatnya. Gue mau pergi sekarang," tandas Dirga.
Biasanya memang seperti itu jika Dirga ada janji dengan kliennya. Dirga menyimpan motornya di suatu tempat lalu pergi diantar oleh Ridwan. Seperti kemarin sore ketika dia pergi menuju kantor Diara. Hanya saja kali ini Dirga tidak bisa melakukan hal itu karena memikirkan ketiga adiknya.
"Ben, Abang ada urusan mendadak. Kamu di sini sama Amel dan Alya, nanti ada temen Abang yang datang buat anter kalian pulang." Dirga memberikan sejumlah uang. "Abang pergi," pamitnya sambil menepuk pundak Beni.
Beni hanya mengangguk. Merasa tak punya hak untuk bertanya.
Di lain tempat, Diara masih duduk di atas kloset WC. Dia memang tidak berbohong pada Dirga atas ucapannya beberapa menit lalu. Mood Diara tiba-tiba berubah begitu saja ketika memilih gaun-gaun yang terpajang di butik. Membuatnya harus menetralkan suasana hati di tempat sepi.
Diara benar-benar tidak mengerti akan sikap Dirga. Devan bilang lelaki itu setuju untuk menjadi pacar pura-puranya di malam valentine. Terlebih, Dirga sudah menolongnya atas kejadian kemarin sore. Lalu kini, kenapa sikapnya seperti itu? Pesan-pesannya pun tidak dibalas sama sekali.
Diara memasukkan ponsel ke dalam tas. Bangkit, lalu keluar dari bilik WC. "Keluar tanpa belanja pun, percuma," gumamnya. Diara menatap sebentar dirinya di depan cermin besar. Dia tidak menangis, hingga tidak ada yang perlu diperbaiki di wajahnya. Akhirnya Diara keluar dari toilet.
"Cari baju apa, Mbak?" Seorang pelayan perempuan mendekatinya.
"Cari ... baju buat kerja," sahut Diara.
"Ada model terbaru untuk pakaian kantor. Mari, sebelah sini," ajaknya.
Diara pun mengikuti pelayan itu.
"Ini, silakan. Panggil saja kami jika membutuhkan bantuan."
"Ya." Diara mengangguk. Kemudian memilih satu persatu pakaian yang tergantung.
"Diara?"
Diara menoleh. "Friska?"
"Hai, kamu di sini?" tanyanya. Lalu melihat tangan Diara yang sedang memegang sebuah kemeja hitam dengan tali di lehernya. "Baju kantor? Kenapa ... bukan baju pesta?" Friska menaikkan satu alis disertai satu sudut bibir yang terangkat.
Diara memalingkan wajah ke sana ke mari. 'Kenapa harus ada Friska di sini?', batinnya.
Friska melipat tangan di dadanya. "Bukannya kamu sudah menerima tantangan Kenan, untuk menunjukkan kekasih kamu di pesta nanti?"
Diara menyimpan kembali kemeja di tangannya. "Ya. Kenapa memang?"
"Melihat ekspresimu seperti ini, aku tidak yakin. Sepertinya tahun ini pun kamu akan kembali menjadi Women Alone," ejek Friska.
"Apa sepenting itu hidupku untukmu?" tanya Diara.
"Tentu saja tidak. Tapi, melihatmu dipermalukan di depan semua karyawan kantor, itu ... menyenangkan." Friska mengatakannya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Tanpa Diara sadari, Dirga sudah berdiri tak jauh darinya. Diraihnya gaun di sebelahnya, kemudian berjalan menghampiri Diara. "Honey, coba ini. Sepertinya cocok." Satu tangannya yang lain merangkul bahu perempuan itu.
Diara menoleh. Sempat kedua matanya melebar kaget, namun segera dia mengerjapkannya.
Friska yang melihat itu semua, jelas terkejut. Dia mengarahkan pandangan dari atas ke bawah, menatap Dirga. Tampan, walau hanya dengan tampilan santai. Celana jin, kaos dan jaket.
"Kamu suruh aku cari gaun. Terus kamu sendiri malah di sini. Ayo, cepat. Coba gaun pilihan aku ini, aku ingin melihatnya," perintah Dirga lagi.
Diara meraih gaun di tangan Dirga. "Putih. Kamu memang tau warna kesukaanku." Seraya menatap dress panjang tanpa lengan, dengan bagian dada berbentuk V. "Cantik," pujinya.
Dirga tersenyum. "Karena kamu istimewa," ucapnya sambil membelai pipi Diara.
Diara membalas senyum sambil mengangguk. Kemudian berjalan ke arah kamar ganti.
Friska masih menatap Dirga dengan rasa heran. Ini di luar ekspetasi. Friska mengira jika kekasih Diara itu tak jauh beda seperti Kenan atau Sagara. Selalu berpakaian rapi dan sedikit formal.
"Ada masalah?" tanya Dirga.
Friska tertegun. "Tidak," sahut Friska. Kemudian berpaling, menyadari sikap lelaki di depannya tidak jauh beda dengan Diara.
Dirga berjalan menyusul Diara, lalu duduk di salah satu kursi untuk menunggunya keluar dari kamar ganti.
Setelah hampir dua menit berlalu, Diara muncul dari balik pintu. Memakai gaun putih panjang yang dipilihkan Dirga.
"Gimana? Cocok?" Diara berdiri di depan Dirga.
Dirga jelas terpukau melihatnya, tapi dia sadar ini hanya sandiwara. Lelaki itu pun berdiri. "Cantik," pujinya. Kemudian dia memutar tubuh Diara agar menghadap ke arah cermin di sampingnya.
Dirga memang lihai dalam hal berpura-pura. Dia tahu harus bersikap seperti apa, di depan orang-orang yang menjadi sasaran para kliennya.
Dirga sedikit menempelkan tubuhnya pada punggung Diara. Satu tangannya terangkat. Tanpa di duga, dia menarik ikatan rambut di kepala Diara. Lalu menggeraikannya dengan kedua tangan.
Diara tertegun, mendapat perlakuan seperti itu. Namun, dia sadar jika ini pun adalah bagian dari sandiwara. Terlebih dia masih melihat Friska ada di sekitarnya.
Dirga menyimpan dagunya di atas pundak kanan Diara. Kemudian kedua tangannya melingkar di pinggang langsing itu.
Diara dan Dirga saling melempar senyum, dalam pantulan bayang cermin.
.
"Mas lihat wajah Friska? Selama aku kerja di kantor, belum pernah lihat wajah gondoknya dia." Lalu Diara tertawa.
"Oya, bagus kalau begitu," sahut Dirga sambil tersenyum.
"Oh, ya. Sekarang kita ke mana?" Diara bertanya dengan mata yang tetap fokus menatap jalanan di depannya.
"Terserah kamu aja," jawab Dirga.
"Kamu lagi enggak ada acara, 'kan?"
"Enggak."
Diara tersenyum. "OK, kita makan siang dulu."
Mobil berhenti di sebuah restoran. Diara turun, begitu pun Dirga.
"Ah, aku lupa. Kamu suka makanan apa?" tanya Diara.
Dirga menatap restoran Prancis di depannya. "Aku jenis lelaki pemakan segala."
Diara tertawa kembali. "Mas lucu."
Dirga tersenyum. Teringat pertemuan mereka di depan kantor Diara beberapa waktu lalu. "Mbak lucu," ucap Dirga pagi itu.
"Kenapa?" Diara terheran melihat Dirga.
"Oh, enggak. Cuma ... boleh minta sesuatu?"
"Apa?"
"Jangan panggil Mas, Dirga aja."
Diara mengangguk. "Ayo, masuk!" ajaknya.
Seorang pelayan menyambut mereka. Kemudian menunjukkan meja yang dirasa cocok untuk Dirga dan Diara. Mereka pun memilih menu makan siang.
"Mm, Mas Dir ... ah, maksud aku Dirga. Punya pacar di London?" tanya Diara selepas pelayan itu pergi.
"Enggak. Aku masih sibuk kerja," sahut Dirga.
Diara tersenyum. "Kadang aku juga tergoda buat tinggal di luar negeri. Di mana orang-orangnya tidak terlalu mempermasalahkan tentang pasangan hidup. Kenapa masih jomlo? Kenapa belum menikah? Aku muak dengan pertanyaan-pertanyaan itu."
Dirga menarik kedua sudut bibirnya. "Itu tergantung prinsip kita sendiri. Orang lain sebenarnya tidak punya hak sama sekali untuk mencampuri urusan kita. Apalagi tentang hidup yang kita jalani."
Diara tersenyum samar. "Iya, kamu benar. Hanya kadang ... terlalu banyak yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan. Itu membuat kita mau tak mau selalu memikirkan pandangan orang-orang terhadap kita."
Dirga mengangguk berkali-kali. Membenarkan asumsi Diara. Dirinya pun sama. Orang-orang di sekitarnya hanya tahu jika seorang Dirga memiliki banyak pacar atau sering bergonta-ganti pasangan. Tanpa tahu alasan di balik itu semua.
"Oh, ya. Kalau pulang nanti, kabari aku. Aku mau kasih kamu hadiah."
"Pulang?" tanya Dirga.
"Pulang ke London? Bukannya cuma dua minggu di sini?"
Dirga tersenyum kecil sambil mengangguk.
"Sebentar, aku mau telpon dulu Anye. Tadi pagi dia terlihat cemas cuma karena kamu belum jawab telpon aku," ujar Diara.
"Silakan." Dirga mengangguk.
"Halo, Nye. Gue lagi makan siang sama Dirga. Ada, dia datang ke butik. Lo tau, ada Friska di sana? Dan Dirga berhasil menyelamatkan gue." Diara tertawa lepas.
Dirga melepas jaketnya, menghindari tatapan Diara. 'Dia bisa sebahagia itu hanya karena punya pacar palsu?', batinnya.
Dirga memang sering melihat ekspresi bahagia dari para perempuan yang menjadi kliennya, tapi kali ini kenapa terasa beda. Pikiran itu memenuhi kepalanya.
Diara menutup sambungan telepon. Menyimpan ponselnya di atas meja.
"Diara, pernah punya pacar?" tanya Dirga.
Diara tersenyum samar, lalu menggelengkan kepala. "Aku ... sangat menghindari hal-hal yang berkaitan dengan cinta. Aku juga menghindari banyak hal yang bisa membuatku jatuh cinta."
Dirga menatapnya serius.
"Beberapa kali aku makan siang, juga makan malam bersama laki-laki. Itu semua membuatku tidak nyaman. Ketika mereka melihatku dengan tatapan penuh harap, aku enggak sanggup." Diara memiringkan kepalanya. "Kak Devan udah cerita apa aja sama kamu?"
Dirga sedikit terhenyak. "Enggak banyak. Cuma ... dia bilang kalau kamu ... sulit percaya sama laki-laki."
Diara tersenyum. "Itu intinya."
Dirga masih menatap Diara dengan senyuman di bibirnya. 'Lalu sekarang, bagaimana bisa kamu percaya sama aku dengan begitu mudahnya?'.
Pelayan datang membawa pesanan. Membuat Dirga memutus tatapannya pada Diara.
"Kak Devan bilang selain sibuk kerja, kamu mau lanjutin S3," tukas Diara, kemudian menyantap Soupe a l'oignon di mangkuknya.
Dirga tersenyum kecil, lalu mengangguk. 'Baiklah Dirga. Berpura-puralah seperti biasa, hanya sampai pesta berakhir. Itu sudah menjadi pekerjaanmu,' batinnya.
Di lain tempat, Keanu yang baru saja melihat kondisi Bandan di klinik, segera memacu kendaraannya menuju suatu tempat.
"Kenan! Buka pintunya! Kenan!" teriak penuh amarah.
Pintu terbuka. "Keanu? Kenapa harus berteriak seperti itu?" tanya Kenan.
Bukannya menjawab, Keanu malah melayangkan tinjunya. Karuan Kenan meringis memegang wajah sebelah kirinya. "Brengsek!"
"What is wrong?" tanya Kenan.
Keanu menarik kerah kaos Kenan. "Kamu tau aku tipe laki-laki yang tak suka mencari masalah?"
"Bentar. Ada apa ini sebenarnya?" Kenan masih belum mengerti.
"Kamu yang suruh orang buat celakai Diara, 'kan?" desis Keanu.
"Siapa yang mengatakan itu?" Kenan berbalik tanya.
"Bandan menolong Diara. Kamu tau, sekarang adikku mengalami banyak luka di wajahnya?"
"Bandan?" Kenan menautkan kedua alis.
"Iya." Keanu semakin mendekatkan wajahnya. "Selama ini aku anggap kamu sahabat aku. Bahkan aku mau aja kamu suruh untuk mendekati Diara. Kamu sendiri tau, aku belum bisa melupakan almarhum istriku. Aku lakukan itu demi kamu. Dan sekarang gara-gara ulah kamu, malah adikku yang celaka."
"Tunggu. Kenapa kamu nuduh aku yang--"
"Bandan sempat lihat kamu sedang melakukan sesuatu pada mobil Diara ketika jam makan siang, dan karena dia teringat itu, Bandan yang hampir naik taksi kembali ke dalam parkiran," terang Keanu. "Aku malu punya sahabat bajingan kayak kamu!" bentaknya, melepas tangannya sambil mendorong tubuh Kenan.
Kenan terjengkang. "Sorry. Aku pikir enggak bakal kayak gini."
"Harusnya kamu minta maaf sama Diara. Sudah menyebar gosip kalau dia enggak normal, lalu menyuruh orang untuk melecahkan dia. Sebenarnya, punya dendam apa kamu sama Diara, hah?"
Kenan tak menjawab. Tetap bungkam hingga akhirnya Keanu pulang membawa amarah di dadanya.
.
"Di sini lagi?" Diara menatap ke sisi kanan kiri.
"Kenapa?" Dirga melepas sabuk pengaman.
"Hotelnya ... mana?" Diara bertanya dengan sangat hati-hati.
"Oh, itu. Aku lupa. Beberapa hari lalu aku ketemu teman lama, jadi ... aku nginep di rumahnya. Masih sekitar daerah sini," terang Dirga.
"Oh." Diara mengangguk. "Ngomong-ngomong, makasih buat waktunya hari ini. Dengan jalan-jalan dan ngobrol kayak tadi, aku harap di pesta nanti kita enggak kaku lagi. Biar terlihat lebih natural seperti sepasang kekasih."
"Aku mengerti," sahut Dirga. "Ya udah, aku turun."
"Ya." Diara mempersilakan.
Dirga pun turun. Melambaikan tangan pada Diara. Setelah yakin mobilnya menghilang di persimpangan, kemudian dia berjalan beberapa meter menuju tempatnya menitipkan motor.
.
"Selamat malam, Pak Sagara."
"Malam. Silakan duduk," ucap Sagara.
Perempuan cantik dengan rambut bergelombang itu pun duduk tanpa menurunkan lengkung bibirnya.
"Jadi, nama kamu Andin?" tanya Sagara.
"Iya." Perempuan itu mengangguk ramah.
"Sudah tau 'kan, apa tugasmu?"
Andin mengangguk kembali. "Saya harus menjadi kekasih Pak Sagara, di pesta valentine nanti."
Sagara tersenyum, lalu menyimpan sebuah amplop di atas meja. "Ini untuk uang muka, sisanya aku transfer setelah pesta usai."
Perempuan itu tersenyum lebih lebar, mengambil amplop berwarna coklat di depannya. "Terima kasih. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan sebaik mungkin."
*****
--bersambung--