Rania berjalan ke depan gerbang sambil menunggu sopir pribadinya, Diana dan Ajeng sudah pulang terlebih dahulu karena ada beberapa barang yang harus dibereskan.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya jemputannya datang, tiba-tiba telfonnya berdering, ia segera mengangkat telfonnya.
"Rania cepet ke rumah sakit, adik kamu kritis,"
<~~~>
Dengan langkah yang tergesa-gesa Rania berlari di lorong rumah sakit. Saat hampir mendekat ia disuguhi pemandangan yang sama sekali tidak ingin ia lihat, mamanya menangis di depan ruang perawatan, Rania menghampiri mamanya. Sebenarnya Rania tau hal yang terjadi saat ini, karena semua terasa tidak mungkin, ia tidak mempercayai dirinya sendiri.
"Ma.. Kenapa ma?" tanya Rania dengan suara bergetar.
"Adik mu sudah meninggalkan kita Ran," . Bagai tersambar petir, kata-kata mamanya membuat air mata Rania jatuh dan seakan-akan tubuhnya lemas bagai kertas, ia tidak tahu lagi apa yang terjadi, mungkin tuhan lebih sayang kepada adiknya, setidaknya ia sedikit senang karena adiknya tidak lagi merasakan sakit.
Semua orang berkumpul di rumah duka untuk membantu segala keperluan. Diana, Ajeng, dan Abi juga datang mengucapkan bela sungkawa. Saat datang Diana dan Ajeng langsung mencari keberadaan Rania di kamarnya. Rasanya mereka berdua ingin menangis saja saat melihat sahabatnya sendiri duduk meringkuk menangis, mereka langsung memeluk Rania.
"Sabar Ran, kita berdua selalu ada buat lu kok," ucap Diana mengangkat kepala Rania dang mngusap air mata Rania.
"Iya Ran. Udah sekarang mending lu bersih-bersih, trus turun ke bawah," sahut Ajeng, dengan langkah gontai Rania pergi ke kamar mandi.
Rania turun kebawah ditemani Diana dan Ajeng. Saat mereka turun, di bawah sudah ramai orang yang datang ingin mengucapkan bela sungkawa, terlihat pekarangan depan ada tiga papan karangan bunga yang terpajang nama adiknya. Semua terasa tidak nyata bagi Rania.
Rania duduk di samping jenazah adik tercintanya, ia pernah sempat membayangkan saat adiknya besar mungkin mereka bisa mengembangkan usaha bersama-sama layaknya saudara pada umumnya, tapi semua hanya bayangan. Diana dan Ajeng masih berusaha menenangkan Rania dengan mengusap pelan punggungnya.
Semua orang telah bersiap untuk mengantarkan adik Rania ke peristirahatan terakhirnya. Mama Rania hanya bisa menatap jenazah anaknya dengan lemas, tidak ada hal yang dapat dilakukannya untuk anaknya lagi.
Saat semua semua selesai, Abi menghampiri Rania dan membisikkan sesuatu yang membuatnya sedikit tenang, entah apa yang dikatakannya. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang tamu, Rania ingin mencari refreshing dengan membuka instagram melihat tentara-tentara indonesia. Ya anggap saja ia tidak sopan, tapi ia sekarang sangat membutuhkan refreshing untuk menjaga pikirannya karena tak lama mendekati ujian tengah semester. Saat Rania melihat salah satu foto, ia ingin mencoba mengirimkan direct message. Tanpa menunggu lama mas-mas taruna yang di chat oleh Rania, membalas pesannya.
DIRECT MESSAGE (CHAT)
SAYA:
Assalamualaikum kak
ALBERT:
Waalaikumsalam iya?
SAYA:
Salken kak, aku Rania hehe
ALBERT:
Salken juga, gua Albert.
SAYA:
Boleh minta nomor WA nya ga kak? Biar gampang chatnya.
ALBERT:
Boleh.
Setelah mendapat nomor kenalan baru, Rania langsung mengirim pesan lewat Whatsapp. Mereka berdua saling menghubungi. Saat Rania membuat snap tentang Kak Albert, tiba-tiba Abi mengajak Rania jalan-jalan, tidak seperti biasanya Abi menchat Rania dan mengajaknya jalan. Rania sedikit bingung dengan ini disaat ia tidak membuat snap tentang laki-laki, Abi sangat cuek kepada Rania, Ketika Rania membuat snap tentang laki-laki Abi terlihat sangat posesif. Hal ini yang membuat Rania bingug harus bersikap bagaimana kepada Abi.
Semua anggota keluarga besar Rania hadir di rumahnya dan ada juga yang baru datang. Rumah Rania sekarang terasa sangat ramai, bahkan mungkin sebagian anggota keluarga akan menginap di rumah. Beberapa pertanyaan mulai dari kehidupan di sekolah sampai kehidupan percintaannya dilanyangkan oleh tantenya maupun saudara nya. Sebenarnya ada sepupu Rania yang sangat dekat dengannya, karena hanya Rania dan saudaranya yang seumuran, sisanya masih SD dan SMP. Ia tidak bisa hadir di rumah Rania karena sedang sekolah di luar negeri.
Rania pamit masuk ke kamar untuk istirahat, karena besoknya ia harus pergi ke sekolah untuk mempersiapkan segalanya menghadapi ujian, mulai dari pematangan materi sampai latihan soal.
Tentu saja sampai kamar Rania tidak langsung tidur ia menyempatkan sedikit waktunya untuk bertukar pesan dengan Kak Albert. Ia sangat senang bisa berkenalan dengan Kak Albert karena sepertinya dia bukan tipe orang yang pemilih. Mulailah dimana perasaan Rania bercabang. Disisi lain ia tidak mau kehilangan Abi dan ia juga tidak mau mengabaikan Kak Albert, mungkin saja ia bisa berhubungan dengan orang tersebut. Laki-laki bisa selingkuh kenapa perempuan tidak bisa? Tapi masalahnya belum tentu mereka suka dengan Rania kan. Selalu saja kendala ada di fisik.
Pagi telah tiba, Rania bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, ia tidak bisa izin karena saat ini adalah waktu penting untuk mempersiapkan ujian. Setelah selesai merapikan diri, Rania segera turun ke bawah dan betapa terkejutnya, ia melihat Abi duduk di ruang tamu menununggunya. Mamanya meminta Rania cepat pergi ke sekolah karena tidak enak kepada Abi yang menunggunya lama.
"Eh.. udah? Yuk berangkat,"
"Ga biasanya lu jemput gua buat berangkat bareng,"
"Ga papa, biar pernah. Dah yuk. Tante kami berangkat dulu ya," Abi melambaikan tangan ke mamanya Rania dan menarik tangan Rania bergegas ke luar rumah.
"Nih pake," Abi memasangkan helm. Rania kaget karena secara tiba-tiba Abi mendekatkan kepalanya untuk membenarkan helm.
"Udah yuk," lanjut Abi.
Di perjalanan Rania ingin mengetahui apa yang terjadi saat Abi berada di kantor polisi untuk memenuhi panggilan.
"Emm.. Bi kemarin lu gimana waktu di panggil ke kantor polisi?"
"Untung aja Ran, gua ga terbukti bersalah. Cuma si Dancelia aja yang ngarang cerita, jadinya ya dia di rehabilitasi. Kayanya sih kantor poisi udah ngehubungi polisi, gatau dah gimana coba nanti liat aja," Rania hanya menganggukan kepala.
Tanpa disadari mereka sudah sampai sekolah, semua tampak seperti biasa. Diana dan Ajeng datang terlebih dahulu, menyambut kedatangan Rania dengan wajah yang ceria seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
"Eh Ran tumben lu berangkat bareng sama Abi?" tanya Ajeng.
"Ga tau gua, tadi gua pas baru turun liat dia duduk di ruang tamu. Kayak nungguin gua gitu,"
"Ya kalo itu bukan kayak lagi geblek, dia emang nungguin lu buat berangkat bareng," sahut Diana sinis.
"Lah iya... hehehe," Rania kali ini ingin bersikap tegar entah itu dari dalam atau dari luar, ia ingin berusaha. Rania kembali ke tempat duduknya, tiba- tiba ada seseorang yang berkata.
"Wahh gila ya, adik nya habis meninggal bisa-bisanya sebahagia itu. Dasar ga tau diri,"