"Aku harus cepat!" ucap seorang gadis pada dirinya sendiri. Kedua tangannya tengah sibuk membawa sebungkus makanan dan juga sebotol minuman dalam satu kantung plastik. Kakinya yang jenjang berjalan dengan cepat berharap ia tak terlambat karena bel masuk sudah berbunyi.
Aleena, gadis itu terus mempercepat jalannya. Tatapannya hanya terfokuskan pada jalanan yang ada di depan mata.
Hari ini Aleena sengaja datang ke kantin saat bel masuk hampir berbunyi. Tentu saja hal itu disebabkan karena tersebarnya gosip tak mengenakkan tentang dirinya karena dua orang lelaki tadi.
Entah apa yang dipikirkan seluruh siswa tentang dirinya sekarang. Sungguh ia tak ingin tahu dan ia tak juga mempedulikannya.
"Aleena! Aleena!" Tiba-tiba sebuah suara terdengar begitu lantang memanggil namanya.
Demi apapun, Aleena begitu malas untuk menyahutinya. Ia begitu terburu-buru sampai ia tak sedikit pun menggubris panggilan yang berasal dari arah belakang sana.
Dan bukannya berhenti, gadis itu malah berlari menjauh dari sumber suara. Kakinya melangkah semakin cepat untuk segera sampai di kelasnya.
Sedangkan di sisi lain, Vino masih terus berlari mengejar sang gadis demi meminta penjelasan. Sebuah kejadian yang sama sekali ia tak mengerti apa maksud dan sebab di baliknya. Sungguh, Vino diguncang rasa penasaran.
Grep!
"Aleena!" Dan yah, Vino telah berhasil mencekal pergelangan tangan Aleena untuk menghentikan langkahnya. Kini manik kedua insan itu telah bertemu.
"Kenapa kamu lari?" tanya Vino dengan tatapan polosnya. Matanya memancarkan sebuah ketulusan dengan makna yang begitu dalam.
"Udah bel, Kak! Aku harus buru-buru masuk ke kelas!" jawab Aleena dengan nada paniknya. Gadis itu pun perlahan mulai melepaskan cekalan tangan Vino yang berada di pergelangannya. Sungguh ia tak punya waktu sekarang.
"Tapi aku mau bicara.."
"Kak! Nanti aja, ya!" ucap Aleena langsung memotong ucapan Vino yang bahkan belum menyampaikan apapun kepadanya.
Gadis itu kembali melangkahkan kaki untuk menjauh dari jangkauan lelaki di sana. Dengan maksud menghindari tentunya.
Aleena tahu jelas jika Vino datang mencarinya untuk mempertanyakan alasan di balik alasan pembatalan pertunangan mereka. Lalu, Aleena harus menjawab apa? Apakah ia harus terang-terangan menjawab bahwa ayahnya telah menjodohkan ia dengan seorang lelaki yang lebih kaya? Tidak mungkin, bukan?
Tak nyaman mulai Aleena rasakan. Dengan gerakan yang ragu-ragu, gadis itu menoleh ke belakang menatap Vino yang masih terdiam di tempat yang sama.
Vino hanya diam sembari terus memandang ke arahnya. Tatapannya terlalu sulit diartikan bagi Aleena.
Rasa bersalah kembali hinggap di hatinya. 'Maaf' hanya itu kata yang bisa Aleena ucapkan dalam batinnya. Gadis itu tak memiliki sedikit pun keberanian untuk melontarkannya langsung pada lelaki di sana.
Aleena membalikkan tubuhnya. Kakinya kembali berlari untuk sampai ke kelas XI IPA 2. Mulutnya kini tengah komat-kamit berharap sang guru killer belum masuk ke dalam kelasnya. Ia telah terlambat. Sangat terlambat.
Sekarang adalah jam pelajaran matematika. Dan sialnya sang guru adalah seorang yang amat sulit diajak kompromi bagi siapapun siswa yang melanggar aturannya.
Dan sekarang Aleena tengah mengkhawatirkan keadaannya. Bagaimana jika ia di hukum dan tak diperbolehkan masuk ke dalam kelas karena datang terlambat? Ya Tuhan, tolonglah Aleena sekarang.
Sebuah papan kelas bertuliskan XI IPA 2 telah tampak di penglihatan Aleena. Namun gadis itu merasakan kejanggalan saat melihat pintu kelas itu telah tertutup dengan rapat. Tak terdengar pula suara gaduh dari dalam seperti pada umumnya. Mati aku!
Tok! Tok! Tok!
"Permisi!" ucap Aleena sembari membuka pintu kelas dengan perlahan. Kepalanya menyembul melihat keadaan di dalam.
Dan yah, ternyata benar apa yang ia pikirkan. Pak Sunarto telah datang. Seorang guru dengan postur tubuh tinggi besar, berkumis tebal, juga menggunakan kacamata tebal tengah menatap sengit ke arahnya sekarang.
Dengan susah payah Aleena meneguk ludahnya kasar.
Kaki Aleena mulai melangkah masuk ke dalam kelas. Kepalanya tertunduk dalam meratapi hal bodoh yang baru ia lakukan. Entah nasib buruk apa yang akan ia terima sekarang.
"Siapa yang mengizinkan kamu masuk ke dalam kelas, Aleena?!" Suara bariton dari Pak Sunarto sontak membuat Aleena terkejut di tempatnya. Matanya membulat saat mendengar penuturan sang guru sebelumnya.
Aleena semakin menenggelamkan kepalanya. Tangannya semakin erat memegang sebungkus makanan lengkap dengan minuman yang akan ia santap sebagai makan siang.
"Bukankah kamu tahu peraturannya? Siapapun yang datang terlambat ke kelas saya lebih dari 5 menit, tidak diperbolehkan masuk sebelum mendapatkan hukuman!" ucap Pak Sunarto dengan nada bicara yang begitu tegas pada Aleena.
Siapapun pasti akan takut berada di posisi Aleena. Di mana ia harus siap menanggung konsekuensi atas keterlambatannya yang hanya lewat 2 menit dari perjanjian awal.
"Mohon maaf Pak, saya.."
"Saya tidak menerima permintaan maaf kamu sebelum kamu berlari 10 kali keliling lapangan sekarang!" potong Pak Sunarto langsung memberikan hukuman. Bahkan pria paruh baya itu pun tak ingin mendengarkan sedikit pun penjelasan dari Aleena sekarang.
Kepala Aleena kini mendongak menatap sang guru dengan memelas. 10 kali keliling lapangan di tengah terik matahari benar-benar sebuah penyiksaan. Bagaimana jika ia tak sanggup menjalankan hukuman?
"Kenapa malah melamun?!" sentakan dari Pak Sunarto benar-benar membuat Aleena dan seluruh siswa di kelas XI IPA 2 terkejut karenanya. Sungguh, itu sangat menakutkan.
Rangga yang merupakan teman pertama Aleena hanya menatap gadis itu dengan miris dari bangku paling belakang. Lelaki itu sama sekali tak memiliki keberanian untuk membantunya. Terlebih lagi itu adalah hukuman dari sang guru killer SMA Garuda. Bisa tewas seketika Rangga.
Dengan langkah gontai, Aleena mulai berjalan meninggalkan kelas untuk menjalani hukumannya. Perutnya lapar sekarang. Gadis itu sama sekali tak memiliki sedikit pun energi untuk berlari mengelilingi lapangan.
Dengan tatapan sendu, Aleena memandang ke arah kantung plastik yang ia bawa. Masih utuh. Tak mungkin jika Aleena memakannya sekarang.
"Hm, ya sudahlah!" ucap Aleena putus asa. Gadis itu meletakkan bungkus makanannya di sebuah tribun yang ada di pinggir lapangan. Dan beberapa saat kemudian, kakinya mulai berlari menjalankan hukumannya.
Panas. Itulah satu hal yang Aleena rasakan sekarang. Matahari begitu menyiksanya dengan suhunya yang benar-benar luar biasa.
Beberapa kali, Aleena harus mengusap keningnya karena keringat yang mulai mengalir deras di pelipisnya.
Sedangkan dari kejauhan, seorang lelaki terus memandang ke arahnya. Tatapannya terfokuskan pada wajah Aleena yang terlihat pucat tak bertenaga. Dan sedetik kemudian, tatapan lelaki itu berpindah pada sebuah kantung plastik berisikan makanan lengkap dengan minumnya.
Sebuah senyum seringai seketika terbit di bibirnya. Tanpa sepatah kata pun, lelaki itu langsung berjalan untuk sampai di tribun lapangan sana.
Lelaki itu mengambil makanan yang sebelumnya sengaja tinggalkan. Lelaki itu membukanya. Matanya langsung dikejutkan karena bungkus makanan itu adalah ayam geprek dan juga tempe penyet kesukaannya. Dan tanpa sedikit pun niatan untuk meminta izin pada Aleena, Mikael langsung memakannya.