Hari itu menjadi hari pertama sekolah terburuk bagi Aleena. Dimana semua tawanya pudar, kebahagiaannya lenyap, dan kehidupannya hancur dalam semalam. Hanya tangis yang setia menemani Aleena.
Ia benar- benar ingin memutar waktu. Menghindari pertemuan dengan makhluk mengerikan yang tak punya belas kasih seperti Mikael. Wajahnya bahkan terlalu tampan untuk dimiliki seseorang tak berperasaan sepertinya.
Aleena masih telungkup dalam duduknya. Dinginnya lantai seolah tak lagi digubrisnya. Masa bahagianya akan segera hilang. Hanya tinggal menunggu waktu. Saat kedua orang tua siap untuk menikahkannya, atau Mikael yang lebih dulu datang untuk menghancurkan hidupnya.
"Aku kangen kalian yang dulu," ucap Aleena disela- sela tangisnya. Ia benar- benar rindu sosok orang tua yang dikenalnya dulu. Orang tua yang rela melakukan apapun untuk bahagianya, seperti orang tua pada umumnya.
Suara terbukanya pintu mengundang perhatian Aleena. Disana tampak sang mama yang memandang dengan tatapan sayunya. Langkahnya pun mulai berjalan mendekat kearah sang putri. Kakinya pun tertekuk menyamakan tinggi.
Tangan Varah mengusap lembut rambut hitam legam Aleena, seolah menyalurkan seluruh kasih sayang yang selama ini dipendamnya. Sedangkan Aleena, ia benci posisinya. Ia benci saat ketika orang- orang menatapnya. Menatap dengan tatapan berbelas kasihannya. Aleena paling benci dikasihani.
"Kamu buruan mandi, habis itu kita makan." ucap Varah dengan nada keibuannya. Tangannya terus bergerak membelai pucuk kepala Aleena. Namun dalam matanya, ada sebutir air mata yang tampak sekali sedang ditahannya. Semenyedihkan itukah Aleena?
Aleena hanya menganggukkan kepala. Bibirnya masih kelu seolah tak bisa berbicara. Badannya pun masih bergetar. Kejadian tadi seolah membuat trauma baru dalam hidupnya.
Varah yang melihat anggukan kecil putrinya pun merasa sedikit lega. Setidaknya ia masih mau mendengarkan kata- katanya. Varah pun segera bangkit dari posisinya. Kakinya melangkah keluar dari kamar meninggalkan anaknya yang sepertinya butuh kesendirian.
Aleena menghembuskan napas panjang disana. Kini ia yakin kalau kesendirian adalah penyelamat hidupnya. Dimana ia tak mengenal siapapun dan tak menggubris apapun. Ia akan selamat.
Aleena mulai bangkit dari posisinya. Kakinya pun mengayun ke kamar mandi agar segera turun untuk makan bersama.
Hanya 15 menit waktu yang dibutuhkan Aleena untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Kini kakinya mulai menuruni anak tangga. Matanya menatap kedua orang tua yang sudah menunggu hadirnya. Aleena yakin, masalah baru akan timbul di meja makan sana.
Aleena pun langsung mendudukkan dirinya disalah satu kursi di meja makan sana. Tangannya pun telah terangkat bersiap menyiapkan makanan untuk dirinya. Namun suara bariton berhasil menghentikan aktivitasnya.
"Apa benar dia pacarmu?" tanya Surya, sang ayah dengan nada tegasnya. Matanya pun menatap tajam kearah Aleena yang terpaku ditempatnya. Aku harus jawab apa? batin Aleena dengan penuh kebingunan.
"Bu- bukan Pa," jawab Aleena terbata- bata. Aleena menyerah untuk melanjutkan sandiwaranya. Jujur adalah pilihan terakhirnya.
Brakk!
Suara gebrakan meja kian membuat Aleena takut disana. Tangannya pun kini mencengkeram erat bajunya.
"Berani- beraninya kau!" bentak sang ayah kian meninggikan suara. Emosinya pun memuncak setelah mengetahui apa yang tadi dilakukan Aleena hanya sandiwara belaka. Sandiwara yang berhasil melibatkan bisnis didalamnya.
"Aku nggak mau dijodohin, Pa. Aku ngelakuin itu karena aku pikir Papa akan berubah pikiran. Aku benar- benar tak mengenalnya!" ucap Aleena dengan bibir gemetarnya.
"Bodoh! Kau memang anak bodoh!" hardik Surya untuk kesekian kalinya. Kakinya pun bergerak meninggalkan tempat yang berhasil memuncakkan emosinya.
Sedangkan Aleena hanya bisa tertunduk dalam ditemani sang mama. Untuk kesekian kali ayahnya memaki. Aleena merasa menjadi anak yang tak berguna.
Hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. Aleena beranjak menuju kamarnya untuk menidurkan dirinya. Berharap hari esok akan ada kebahagiaan yang datang menyambutnya.
Matahari telah datang kembali. Ayam pun telah bersorak riuh menyambut datangnya hari. Cuaca amat cerah pagi ini. Secerah harapan Aleena untuk membagi hari dengan kebahagiaan yang selalu dinanti.
Aleena menatap dirinya lamat- lamat dihadapan cermin. Memastikan penampilannya telah lengkap dan rapi. Polesan bedak dan pelembab bibir pun telah dipakai. Kini Aleena yakin kalau penampilan kian memancarkan aura baik.
Aleena mengayunkan kakinya turun dari kamar. Sepi. Pemandangan itulah yang lagi- lagi dilihatnya pagi ini. Dilihatnya kearah meja makan yang sudah tersaji makanan dengan rapi. Tepat disampingnya juga ada note dan uang saku untuk Aleena. Mata Aleena menatap malas kearah sana. Selera makannya hilang seketika. Dengan cepat Aleena langsung mengambil uang sakunya lalu segera bergegas keluar dari rumah bak penjaranya. Aleena bahkan mengabaikan note yang sengaja ditulis rapi- rapi oleh mamanya. Karena ia yakin, isinya pasti sama.
Kini Aleena celingak- celinguk mencari kendaraannya. Motor hitam 250 cc kesayangannya. Namun seketika itu juga Aleena menepuk keras jidatnya.
"Motor aku kan masih disekolah!" ucapnya ketika sadar Mikael kemarin menitipkan motornya diparkiran sekolah. "Terus aku naik apa?" tanya Aleena pada dirinya sendiri. Ia benar- benar kebingunan sekarang.
Kini Aleena terpaksa harus memesan taksi online untuk mengantarkannya sekolah. Sungguh membuang- buang uang. Semua ini gara- gara dia! hardik Aleena menyumpah serapahi Mikael. Mulutnya terus komat- kamit sampai taksi membawanya datang ke sekolah.
Aleena dengan cepat membayarnya lalu segera turun untuk mengecek keadaan motornya. Aleena celingak- celinguk mencari keberadaan motornya yang masih tak tampak juga. Ia ingat betul kalau kemarin disini ia memarkirkannya.
Apa jangan- jangan?
Mata Aleena seketika membola. Kakinya segera berlari mencari keberadaan seseorang yang ia yakini adalah dalang dibalik hilangnya motor kesayangannya.
Aleena berlari lewat koridor untuk menuju ke kelas musuh barunya. Namun ada rasa aneh dibenaknya. Aleena pun memutar bola matanya menatap kesekitar mengamati orang- orang disana. Mereka semua kompak menatapnya dengan tatapan jijik yang tampak jelas dimaniknya. Kenapa mereka?
Namun Aleena berusaha untuk tidak menggubrisnya. Langkah Aleena kian cepat agar dirinya bisa segera menghilang dari tatapan maut para siswa.
Kaki Aleena seketika terhenti saat maniknya tak sengaja melihat sesuatu yang ia rasa itu dirinya. Aleena berjalan mundur memastikan penglihatannya.
Mata Aleena membelalak kala melihat tiga fotonya terpajang dengan jelas di mading sekolah.
"Ulah siapa ini?" tanya Aleena dengan lirihnya. Karena ia tahu, orang- orang disekitarnya tak akan mau menjawab.
Aleena menatap lamat- lamat kertas besar yang menempel didepannya. Di sana terdapat satu foto yang memperlihatkan Aleena sedang makan ditemani Vino disampingnya. Dan satu lagi foto Aleena saat sedang dibocengan Mikael. Dan satu foto terakhir yang berhasil memuncakkan emosinya. Dimana tampak jelas kedua orang tuanya sedang bersujud dibawah kaki Mikael didepan rumahnya. Tertulis dengan jelas dibawahnya
'Aleena Adeeva Azalia, jalang SMA Garuda yang mendekati dua lelaki hanya untuk mengembangkan bisnis keluarga'