"Pulang sama siapa kamu, Aleena?" Sebuah pertanyaan langsung terdengar saat Aleena baru saja melangkah memasuki rumahnya. Di sana, Surya berjalan mendekat dengan raut wajah yang sulit diartikan.
"Sama temen." jawab Aleena seadanya. Gadis itu tak ingin jika pembahasan tentang Mikael berlanjut dari sang ayah. Aleena sudah cukup jengah untuk mendengar namanya. Apalagi saat gadis itu mengingat segala tingkah laku Mikael yang memperumit keadaannya.
"Jangan bohong sama Papa! Kamu pulang sama Mikael, kan?" ucap Surya mulai menebak-nebak. Raut wajah pria itu terlihat begitu berbeda dari biasanya. Sudut bibirnya sedikit terangkat seolah ada suatu hal yang membuatnya bahagia.
"Bukan," jawab Aleena singkat. Biarlah itu hanya menjadi dusta. Karena untuk sekarang, menghindari malapetaka lebih penting dari pada berpikir tentang kebohongannya.
"Bukan apanya? Papa tadi liat sendiri kamu turun dari motor dia!" tanya Surya masih belum mau mengalah.
"Aku bilang bukan ya bukan." Aleena langsung melenggang pergi meninggalkan sang ayah sendirian. Gadis itu terlalu malas jika sang ayah terus-terusan membahas Mikael di depannya. Karena Aleena tahu, itu semua hanya pancingan dari Surya agar ia mau dijodohkan dengannya.
"Aleena! Papa belum selesai bicara!" bentak Surya dengan nada tingginya. Mimik wajah bahagia yang sebelumnya sempat tampak kini kembali berubah menjadi ekspresi dingin seperti biasa.
Sedangkan Aleena, gadis yang masih berada di anak tangga itu menghentikan langkahnya. Badannya bahkan enggan untuk berbalik walau hanya memastikan seberapa besar amarah sang ayah kepadanya.
"Kapan kamu bisa menghargai Papa, hah?!" tanya Surya dengan nada membentak. Ya, seperti biasanya.
Aleena yang mendengar itu hanya bisa merotasikan matanya. Menjawab pun akan percuma. Sang ayah hanya akan peduli akan pendapatnya. Itu saja.
"Aleena! Kamu dengar, gak?!" tanya Surya semakin menaikkan nada bicaranya saat tak mendapat sedikit pun respon dari putrinya. Wajah pria itu memerah. Tangannya terkepal erat karena amarah.
Dari arah arah dapur, Varah berlari mendekat saat mendengar suara teriakan yang lagi-lagi terdengar dari mulut sang suami. Wanita itu khawatir jika suaminya tak bisa mengendalikan emosi saat berbicara dengan putri semata wayangnya. Varah takut jika Surya akan hilang kendali pada Aleena.
"Ada apa ini, Pa? Kenapa marah-marah?" tanya Varah mendekat ke arah Surya. Satu tangannya bergerak untuk memegang lengan suaminya, dan satu tangan lagi ia gunakan untuk mengelus punggung Surya.
"Lihat kelakuan anakmu, Ma! Dia memang pembangkang yang tak tahu tata krama! Papa hanya bertanya dengan siapa ia pulang, dan ia malah bertindak tidak sopan di depan Papa!" jawab Surya mengeraskan suaranya. Elusan pelan di punggungnya tampaknya masih tak mampu untuk meredam amarah yang ia rasa.
Aleena yang masih berada di tempat yang sama kini mulai berbalik menghadap ayahnya. Tatapannya yang begitu datar kini ia layangkan kepada sang ayah yang sudah memerah wajahnya.
"Tindakan mana yang Papa anggap tidak sopan dariku, Pa?" tanya Aleena dengan nada dinginnya. Sorot matanya pun memancarkan kebencian mendalam kepada sang ayah di depan sana.
"Lihat! Lihat itu, Ma! Dia sudah mulai berani menentangku sekarang?! Apa kau mau jadi anak pembangkang, hah?!" ucap Surya semakin memanas-manasi keadaan. Jati telunjuknya pun sudah mengacung kepada Aleena seolah menganggap Aleena adalah anak tak tahu diri yang bersikap seenaknya.
"Udah, Pa! Udah! Jangan marah-marah! Aleena masih kecil Pa, dia masih nggak tau apa-apa!" ucap Varah berusaha menenangkan Surya dengan untaian kalimatnya. Nada bicaranya pun terdengar begitu lembut saat berbicara membela Aleena di hadapan Surya.
"Kenapa kau malah membelanya? Kenapa kau mau membela bocah tengik di sana, Ma?! Jelas-jelas dia.."
"Iya, Pa! Iya! Terserah Papa, Aleena capek!" sela gadis itu langsung melangkah naik menuju lantai dua. Aleena marah dengan semuanya. Mengapa orang-orang disekitarnya seolah tak mengerti jika Aleena juga seorang manusia yang bisa lelah kapan saja.
"Aleena! Cepat mandi dan siap-siap, nanti malam kita ada kedatangan tamu dari keluarga calon mertua kamu!" Ucapan Surya berhasil menghentikan langkah Aleena. Gadis itu diam mematung di tempatnya.
Apakah hari ini Mikael akan datang? Bagaimana reaksinya nanti saat ia tahu akan dijodohkan dengan dirinya? Sungguh sial.
"Ingat baik-baik Aleena, kamu nggak punya hak apapun untuk menolak perjodohan ini! Jaga sikap kamu, dan jangan pernah permalukan keluarga kita!" ucap Surya memperingatkan anaknya. Nada bicaranya pun begitu tegas seolah itu adalah sebuah hal yang tak boleh dilanggar oleh sang putri yang kian tersiksa.
Aleena berusaha menulikan pendengarannya. Langkahnya kembali mengayun untuk masuk ke dalam kamar. Gadis itu perlu mencerna segalanya.
Aleena memandang dirinya lekat-lekat di depan pantulan kaca. Sedih? Sangat. Gadis itu merasakan rapuh dalam kesendirian. Ia tak punya siapapun untuk dijadikan tempatnya bersandar.
Sebentar lagi, bencana terbesar akan datang. Sebuah perubahan akan terasa saat kehadiran seseorang terpaksa masuk dalam kehidupan.
Lagi-lagi, Aleena tak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu hanya bisa menuruti segala perintah sang ayah walaupun itu diluar kemauannya.
Aleena mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Gadis itu bersiap diri untuk menemui sang calon mempelai nanti.
Setelah 30 menit berada di kamar mandi, mata Aleena langsung dikejutkan dengan adanya sebuah gaun tanpa lengan berwarna navy di atas tempat tidurnya. Desainnya begitu sederhana namun elegan saat dikenakan. Dan Aleena tahu, pasti sang mama yang telah menyiapkannya.
Tanpa pikir panjang Aleena langsung mengenakan gaunnya. Tak lupa, gadis itu pun memoleskan make up tipis yang semakin mempercantik wajahnya. Tangan lentik itu pun mulai bergerak mengambil beberapa aksesoris sebagai pelengkapnya. Dan selesai.
Aleena terlihat begitu memukau tampilannya. Kesan anggun kian terpancar dari dirinya. Cantik. Hanya satu kata itulah yang mampu mendeskripsikan penampilannya.
Tok! Tok! Tok!
Sebuah ketukan pintu berhasil mengundang perhatian Aleena. Gadis yang telah mengenakan high heels dengan warna senada itu pun berjalan mendekati pintu untuk membukakannya.
"Sudah siap?" tanya Varah saat Aleena baru saja membuka pintu kamarnya. Sebuah senyum tulus pun terbit di bibirnya.
Aleena hanya mengangguk singkat sebagai jawabannya. Setidaknya apa yang ia lakukan sekarang dapat menyenangkan hati sang mama.
"Ayo turun! Mereka sudah menunggu di bawah!" ajak Varah seraya menggandeng tangan putri semata wayangnya.
Langkah mereka kini turun menuruni satu persatu anak tangga. Kegugupan kini melanda hati Aleena. Gadis itu masih tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Mikael nantinya. Pasti lelaki itu akan sangat murka.
Suara tapak kaki Aleena dan juga Varah berhasil mengundang perhatian semua orang yang ada di ruang keluarga. Tatapan mereka mengisyaratkan rasa kagum akan kecantikan Putri Dirgantara.
Tak terkecuali seorang pemuda yang sedari tadi diam tak bersuara. Otaknya kini berhenti bekerja karena kedatangan sang peri cantik tepat di depan mata.
"Cantik,"