Api berkobar dari ekor pada mesin yang turun bagai bintang jatuh di malam hari. Pesawat capung berkokpit satu orang itu turun rendah. Secara sekejap, situasi bersejarah itu membekukan waktu di dalam sini. Semua perhatian tertuju pada pesawat itu.
Pemandangan agung itu membuat mulutku ternganga, tidak ada dari mereka yang bergerak melihat keajaiban setelah sekian lama. Kobaran api di langit melesat menyinari gelapnya malam di kala itu.
Perlahan-lahan pesawat tersebut berada dalam ketinggian yang mengkhawatirkan. Terus melaju dari cincin di timur lalu melewati dataran lalu hampir masuk ke dalam cincin bagian utara dekat kompleks kami. Seketika itu juga kabut disekitarnya itu berubah menjadi terang dan berwarna oranye. Apa seseorang berusaha menembus kabut ini dari luar?
Suara tembakan mengagetkanku dari belakang. Benda berbentuk bola kecil dialungkan dari belakangku. "Granat!" teriak salah satu kerumunan Regu Pencabut Benalu. Mereka di hadapanku dengan cepat merusak formasinya.
Suara ledakan juga terjadi pada pembatas tol di samping kananku. Asap mendadak membatasi kami dengan Pasukan Clara. Harusnya aku saja yang membawa granat dan bom asap kalau memang akan seperti ini.
Pasukan Leo berlari menembus jejak asap yang dibuat mereka menuju pembatas tol. Aku di belakang mengikuti. Jarak pandang akibat asap saking kecilnya sampai mereka yang paling belakang hanya berjarak 3 meter dariku namun hanya bagian belakang kaki mereka yang berhasil kuikuti. Berkali-kali kakiku hampir tersandung saking berusahanya berlari.
Di kejauhan, cahaya oranye menyinari terik langit malam. Pepohonan penuh kayu jati berdiri dihadapanku berusaha menghalangi cahaya yang keluar tersebut. Siapa pun yang mengendarai pesawat itu pasti mempunyai jawaban atas semua kejadian kabut ini.
Masa bodoh dengan Pasukan Leo. Meskipun aku berada di belakang mereka, tidak diragukan lagi setelah ini Leo akan mencabik-cabik tubuhku seorang diri dan kemudian membakar apapun yang tersisa.
"Tunggu Amir Berhenti!" teriak suara bernada tinggi di belakangku. Sosok Clara seorang diri berlari di belakangku. Posisiku sekarang sama sekali tidak boleh tertangkap olehnya, apalagi ia sekarang membawa pistol di tangan kanannya.
Keringat makin membanjiri tubuhku. Kutinggalkan jaket hitam kompleks di atas rerumputan. Tidak mungkin untuk bersembunyi jika sudah seterang ini, sementara aku masih bisa melihat sosok Clara terus berlari ke arahku, tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Baiklah jika ingin main seperti itu, aku tidak kalah mengeluarkan senjata pistol 9mm ku.
Satu tembakan keluar dari pistolku. Aku benar-benar minta maaf atas semua ini. Rentetan peluru dengan cepat kutembakkan ke arahnya. Salah satunya hampir mengenai lengannya, tangan kirinya terlihat memegang bahu kanannya.
Ekspresi wajahnya menajam. Sosoknya kemudian bersembunyi pada salah satu tubuh pohon, menyangka aku akan benar-benar melawannya. Namun ini kesempatanku untuk terus berlari.
Perjalanan maju semakin terang dan terasa sangat panas. Udara mulai menyesakkan saat kulihat asap bergerak menuju ke arahku. Angin yang berhembus sepertinya membawa serta asap ke arah sini.
Mataku terasa perih terpapar asap-asap panas ini. Pikiranku teringat sesuatu yang baru saja kubawa dalam ranselku. Kugopoh isi tasku dan mengeluarkan sebuah kacamata googles. Ini mungkin bisa menyingkirkan masalah mata perihku, namun tetap saja jalan di depanku tertutup asap panas.
"Amir Berhenti! Kau tidak tahu apa yang kau hadapi disana," teriak Clara lebih kecil dari teriakan sebelumnya.
"Aku lebih baik mati daripada kembali!"
"Dasar Bodoh!" Ia berteriak sangat kencang. Aku hanya mendeham melihat daya juangnya yang tidak masuk akal. Asap panas mulai mengurangi jarak pandangku.
Warna jingga dan abunya memenuhi pemandangan, namun entah kenapa diriku merasakan sesuatu, sesuatu yang sangat gelap dan dingin perlahan-lahan menggerogoti tubuhku, aku mempunyai firasat buruk tentang ini.
Kakiku sepertinya menginjak sesuatu yang mengeluarkan bunyi pecah. Aku tidak percaya apa yang baru saja kuinjak, kutahan mulutku sekuat tenaga agar tidak berteriak. Di saat itu aku hampir pingsan karena syok.
Nafasku terengal-engal melihat pemandangan mengerikan di hadapanku ini. Rasanya aku benar-benar mau muntah. Hutan ini menyembunyikan sesuatu yang sangat menjijikkan, tubuh manusia dibiarkan terkapar tak bernyawa di dalam sini.
Daging tercerai-berai dari kulitnya, wajah mereka menghitam dan memperlihatkan ketakutan yang tiada tara, bahkan beberapa sudah menjadi tulang belulang. Bau busuk memancar dari daging yang menghitam itu. Mereka sudah berada di tempat ini lama sekali, seperti mereka mati mengenaskan lalu dilupakan begitu saja.
Tidak ada bekas daging dikoyak atau semacamnya, namun beberapa bukaan pada kulit terlalu bersih untuk dapat dikatakan mati karena penyebab alami atau terkaman hewan buas. Apa yang baru saja terjadi disini?
Tidak ada waktu untuk berkabung di tempat seperti ini, mudah-mudahan mereka tenang di alam sana, meskipun ekspresi yang tidak berbicara itu berkebalikan dengan sesuatu yang tenang. Clara sudah tidak terdengar lagi dari belakangku.
Warna jingga pekat dihadapanku terus bersinar di tengah malam. Cahaya yang bersinar terang tersebut sama sekali tidak memberiku penerangan di sekitarku. Seolah ada sesuatu yang menghalangi sinarnya secara tidak langsung disekelilingku.
Semakin kulangkahkan kakiku, semakin terang dan disaat bersamaan semakin diriku tidak bisa melihat. Pepohonan yang asalnya jelas beberapa meter menjadi tertutup warna jingga sepenuhnya. Mungkin tempat terkutuk ini dengan cara apa tidak mau memperlihatkan hal-hal buruk di sekelilingnya.
Kobaran api melambai-lambai di depan mataku. Api lahapnya membakar sebuah mesin yang tergeletak tak berdaya di atas tanah. Bangkai pesawat sudah remuk menggerus permukaan tanah, sampai-sampai sudah tidak berbentuk.
Sudah berakhir, tidak ada yang bisa diselamatkan dari puing-puing itu. Mendekat saja, panasnya membuatku meleleh, apalagi menerjang ke dalam. Semua bukti dunia luar, hilang.
Apa itu? Dibalik suara kobaran api dan angin terdapat suara yang tidak biasa, suara ketukan kecil yang berirama seperti berusaha berkontak denganku. Aku mengitari bangkai pesawat penuh api itu, namun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Suara itu masih terdengar. Sebanyak apapun aku memutarinya selalu berasal dari sumber kebakaran. Dentuman keras tiba-tiba mengagetkanku. Sesuatu terlepas dan terjatuh dari bagian atas pesawat seperti sebuah kaca dibengkokkan.
Sesuatu terlihat keluar dari dalam kokpit, aku dengan cepat menerjang lautan api itu, tidak peduli dengan keselamatanku. Secercah harapan bagi tempat ini baru saja menunjukkan dirinya. Harapan itu tidak boleh padam meskipun diriku berubah menjadi arang sekalipun. Pilotnya dapat kulihat dari sini.
Orang itu ditemukan terkapar di balik sayap sebelah kanan pesawat, tergeletak di bawah api kematian yang kapan saja bisa menimpanya. Tubuhku terpaksa merangkak melewati panasnya neraka ini, tidak menggunakan perlindungan apa-apa kecuali baju kaos dan celana penuh keringat ini.
Saking panasnya aku mulai merasakan tubuhku terbakar layaknya tanaman hidup-hidup. Kuraih Kaki orang itu dengan tangan kanan lalu kuseret keluar keluar dari sini. Pokoknya jangan lihat puing-puing di atas kepalaku.