Chereads / Di Dalam Pengepungan! / Chapter 14 - Terangnya Malam 1

Chapter 14 - Terangnya Malam 1

Pemandangan disini berubah 180 derajat. Aku menyangka Clara juga mengetahui apa yang terjadi disini. Terbakar! Hutan terbakar di hadapan kami berdua. Hutan gelap dimana musuh menyergap pasukan Clara.

Suatu benda dingin melingkari pergelangan tangan kiriku yang sibuk menenteng pilot. Mataku menelusuri kemana rantai borgol ini mengarah. Pergelangan tangan kanan Clara dilingkari oleh pasangan borgol yang lain.

"Syukurlah kau masih hidup, ra!" Syarif, Sadikin dan beberapa anggotanya berlari ke arah kami.

Matanya melihat ke sekujur tubuh Clara. Ia berhenti lalu melirikku. Tinjunya dengan cepat melayang ke pipiku.

"Apa si brengsek ini melukaimu di dalam sana ra?" Syarif memegang kerah bajuku.

"Tidak rif, tanpa si brengsek ini, aku pasti mati".

Ia langsung melepaskan genggamannya. Pasukan melirik satu sama lain tidak mengerti apa yang dimaksud ketuanya.

"Apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana?" tanya Syarif lagi pada Clara menurunkan suaranya.

"Ntar kami ceritakan setelah sampai di kompleks," Clara mengangkat tangan kanannya yang diborgol bersamaku.

"Baguslah kalo gitu, ayo kita harus mengejar para penyerang itu mumpung mereka terbakar di dalam sana," ujar Syarif mulai mengarahkan pasukan.

"Tunggu, kau yang membakar hutannya?" tanya Clara.

"Bukan aku tapi adikku." Syarif terlihat muram.

"Oh ya dimana saudaramu itu?"

Syarif menarik nafas. "Ia membakar hutan disana tapi si bocah itu tidak kembali".

Mereka tidak menyerang kami selama ini. Berarti ada beberapa kemungkinan ...

"Antara mereka sedang bertarung dengan para penyerang selagi kita bicara atau mereka kini sedang ditawan, pokoknya kita harus bergerak cepat", ujar Clara dengan intonasi cepat seperti membaca pikiranku.

"Ayo peliharaanku, temani aku menghajar para penyerang kita", Clara memegang kepala dan mencubit pipiku erat-erat.

"Kenapa kau tidak memborgol pilot ini padamu, jika itu yang kau inginkan?", tanyaku bingung. Namun Clara tidak menjawab apa-apa dan malah tersenyum. Hutan terbakar semakin menjadi. Apa pertarungan ini tidak akan pernah berakhir?

Perlahan-lahan kami dihadang oleh beberapa orang-orang dengan atribut familiar. Pria pada pasukan itu memakai rompi abu-abu dengan bulu mencuat di sekitar bahu dan belakang leher.

Lalu wanitanya dengan rompi yang sama tapi dengan baju hangat hitam yang membungkus seluruh tubuh bagian atas kecuali kepala dan telapak tangan. Ini semua benar teman-teman Leo.

Beberapa pasukan kami melepaskan diri untuk melawan Pasukan Elang di tengah jalan. Jumlah kita semakin sedikit seiring menembus panasnya hutan ini. Sampailah dihadapan kami sebuah pasukan, namun bukan Pasukan Elang melainkan pasukan kompleks yang sedang terikat.

Sebagian besar terikat di pohon dan beberapa lainnya terbaring dengan kaki dan tangannya terikat. Lalu dimana Sadikin?

Sebuah suara aneh mengagetkanku. Suara seperti sesuatu yang keras dipukulkan pada benda keras lainnya. Tanganku dengan cepat mengambil senter di tasku. Perhatian kami dengan segera beralih pada daerah pepohonan di depan. Di sana terdapat sebuah sosok orang memakai atribut yang familiar, namun bukan kawan.

Orang itu tampak bertepuk tangan dengan kerasnya. Wajahnya lonjong, berperawakan kurus. Matanya terlihat sipit seperti bersembunyi dalam kacamata googles. Rompi hitam berjumbai hampir sama seperti Pasukan Elang lainnya kecuali bahwa motif pada rompinya lebih mendetail dan lebih banyak corak dari pasukan biasanya.

"Jangan bergerak! Kau, bebaskan mereka sekarang juga!" Clara mengayunkan pistol ke arah pemuda itu.

"Tapi nyonya, jumlah pasukan anda tidak terlalu persuasif untuk membuat perintah macam itu," ujarnya tertawa, "Lihat sekeliling kalian!" Pasukan Elang keluar dari pohon-pohon yang tidak terbakar dalam waktu bersamaan. Sementara di dekatku hanya ada Syarif, Clara, dan sekitar 10 prajurit.

Sesuatu menyambar tubuhku dengan cepat. Pria besar dengan tubuh dan lengan berotot menerjang kami berdua. Punggungku menyeret tanah sejauh 2 meter. Pria itu lalu membawa Sang Pilot menuju pepohonan lebih dalam bersama dengan pria kurus goggles itu.

Clara bangkit lebih dahulu dan dengan cepat mengambil ancang-ancang bertarung. Namun kenapa ia bisa lebih jauh dariku padahal aku kan ... Rantai yang menghubungiku dengan Clara terputus.

Tak akan kubiarkan pilot itu diambil oleh orang-orang seperti mereka. Tapi aku harus hati-hati disaat bersamaan, karena kelompok di hadapanku merupakan penyebab kenapa kami semua terbagi menjadi sebuah faksi dan bukan satu kesatuan.

"Amir dasar idiot, tidak berguna ..." suara Clara semakin hilang ditelan api dan jarak. Nyala api semakin berkurang. Udara malam perlahan-lahan mengipas-ngipas seluruh wajahku. Mereka berdua semakin dekat, sudah kuduga beban pilot itu memperlambat mereka.

Mereka menghentikan langkah. "Stop!" teriak pemuda kurus itu. "Bagaimana kalau kau ikut bersama kami? Orang ini bisa lolos jika anda menurut."

Sadikin dengan mulut terikat terus menggeleng. "Lebih baik aku makan kotoran seumur hidup daripada bergabung dengan persekutuan pembuat onar" teriakku.

"Betul-betul seperti pengkhianat sejati" ia melempar pisau ke salah satu anak buahnya di samping Sadikin. Rengekan dia menjadi-jadi, air matanya mulai mengalir deras dan diserap oleh pengikat di mulutnya.

"Tunggu!" teriakku keceplosan.

"Kamu kan pengkhianat yang membuat semua kekacauan ini, coba deh kami tanya, siapa yang akan menerimamu setelah ini? Pikirkan baik-baik" tanyanya halus sementara anak buahnya tertawa di belakang.

"Itu bukan urusanmu!"

"Baiklah ini benar-benar membuang waktu!" tangannya mulai memberi aba-aba.

"Tunggu, tunggu, stop, stop, stop! Bagaimana kalau kau akan membebaskan aku, orang disana, dan pilot itu jika aku berhasil mengalahkan petarung besarmu disana dengan tangan kosong bagaimana?"

Mereka berdua dan dua pasukan lain di sebelah Sadikin ikut tertawa, "Waw, anda benar-benar tidak tahu apa yang anda bicarakan. Mungkin kepalamu harus dicek setelah memasuki kabut itu. Bagaimanapun juga kau tidak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup. Baiklah Gian, hancurkan otot dan tulangnya!".

Si besar itu maju di hadapanku. Jujur aku mulai menyesal menantangnya. Tadi itu aku lakukan hanya untuk memberiku waktu untuk berpikir. Lihat saja dia! Kira-kira hanya lebih tinggi sejengkal dariku namun 2x lebih besar daripadaku. Kedua lengannya saja sebesar pahaku. Urat di lengannya menonjol pada tempat yang tidak pernah kubayangkan. Rompinya saja dibiarkan tidak dikancing, memperlihatkan otot dada dan perutnya yang mengerikan.

Bukan cuma besar, ia juga cepat. Seluruh tubuhku membuang diri dari arah terjangannya seolah-olah mereka lebih tahu daripadaku kalau sesuatu yang besar dan cepat pasti akan menghancurkanku berkeping-keping.

Tubuhnya menabrak pohon seperti suara dentuman. Akar besar pohon setinggi 15 meter terangkat keluar menuju permukaan tanah. Pohon itu kini dalam keadaan hampir terguling, salah satu bagian dasar batang dan akarnya mengambang 45 derajat dari permukaan tanah sedangkan bagian lainnya masuk lebih dalam yang menimbulkan efek galian di dekatnya.

Ia sama sekali tidak berteriak bahkan bergeming setelah tubuhnya menabrak benda keras. Raut wajahnya tetap datar dan tidak memberikan ekspresi yang berarti. Tubuh kokohnya kembali melaju, dan untuk sekian kalinya tubuhku menghindar. Namun ia langsung mengerem setelah mendekatiku lalu kembali menerjangku pada hanya jarak 1 meter dariku. Sial aku tidak bisa menghindar lagi.

Tangan kirinya ditarik ke belakang, serangan selanjutnya pasti berasal dari situ. Tangan kananku dengan cepat mengeluarkan pisau survival dari saku untuk mengatasinya. Mudah-mudahan ia mundur ketika melihat betapa tajamnya senjataku ini.

Tiba-tiba tangan kirinya sengaja melintasi arah datangnya pisau ini dan lengan depannya tertancap dalam. Tangan kanannya menabrak perutku dengan keras. Aku merasakan dahak dan asam lambung mencuat seperti roket dari dalam perut.

Tubuhku terlempar begitu saja ke tanah. Hanya dengan satu pukulan dan tubuh ini serasa tidak mau bergerak. Tetapi Gian tetap berdiri meskipun darah mengucur dari lengannya. Pisau itu tertancap cukup dalam, bisa kubayangkan rasa sakitnya seperti apa. Namun ia tidak membuat ekspresi apapun ketika mencabut pisau itu, seolah pisau itu licin ditaburi mentega.