Chereads / Di Dalam Pengepungan! / Chapter 13 - Satu-Satunya Jalan

Chapter 13 - Satu-Satunya Jalan

Padang rumput kembali terbentang luas. Pepohonan berwarna hitam gelap terpampang jelas di kejauhan layaknya gambar di atas kanvas. Dedaunan menari mengikuti arah angin. Diriku tidak lagi terbungkus gumpalan asap putih kematian.

Kabut itu kini masih berdiri beberapa meter di belakangku beserta tanah yang terkena langsung seretan pesawat yang mengarah ke sana. Kabut itu pasti kecewa tidak menjadikanku salah satu warganya.

Sang Pilot terkapar 3 meter di sebelah kiriku. Tubuhnya terbaring begitu saja di atas tanah tidak bergerak. Aku yakin sekali orang asli yang baru saja menabrakku tadi.

"Akhirnya tertangkap juga kau!" teriak seorang wanita familiar yang sejak masuk ke hutan ini berusaha kuhindari.

"Clara, ka .. kau masih disini?" Pistol 9mm di atas wajah mencegahku untuk berbuat apa-apa.

"Kau gila tau gak sih?" ia menendang bokongku.

"Aku ... aku tidak percaya" pikiranku masih berusaha mencerna kejadian-kejadian cepat di dalam sana. Nafasku sudah tidak karuan. Baju seragamku benar-benar basah, dan tercium sekali bau keringatnya.

Kenapa aku bisa sebodoh itu tidak menyadari kabut itu, dan mengindahkan peringatan Clara. Sosok ketua divisi Pencabut Benalu bersama pasukannya bergerombol di sekelilingku, semuanya serentak menodongkan pistol dan senapan padaku.

"Jangan bawa aku kembali ke kompleks kumohon, banyak hal terjadi disana yang dapat menggemparkan area dalam kabut", ujarku memohon ampun.

"Permintaan maaf yang menyedihkan", jawab Sadikin tertawa, "Orang sepertimu yang membuat gugus tugas kami ada".

Dari sela-sela kaki yang berdiri di dekatku, beberapa orang mulai mengangkat tubuh lemas Sang Pilot di kejauhan.

"Hei, kemana kalian akan membawanya?".

"Ke kompleks lah, untuk kami rawat dan interogasi. Masa sih kamu tidak tahu prosedur dari mengurus tawanan?" Syarif mulai meninggalkan kerumunan.

"Kau tidak mengerti, kalian semua tidak mengerti! Kalian seharusnya menyerahkannya pada Pasukan aliansi Sumedang-Bandung. Mereka lebih memiliki sumber daya untuk merawatnya", teriakku meyakinkan.

Syarif kembali ke kerumunan. "Tidak Mir, hal kayak gini tidak butuh birokrasi bullshit yang memakan waktu puluhan hari. Kau juga pasti muak akan hal itu bukan? Kami juga tidak sabar atas info yang orang ini akan berikan secara langsung".

"Terus? Kalian akan menyimpan info itu untuk kalian sendiri kan? Bayangkan manfaat yang bisa didapat tempat ini jika kalian sekali saja berbagi informa-!".

Aku tidak bisa bernafas. Sepatu bot memberatkan leherku. "Diamlah pemimpi! Borgol dia!" teriak Syarif menggeleng.

"Ada serangan!" teriak salah satu prajurit. Suara tembakan terdengar dari bukit belakang mereka. 3 dari 4 orang pembawa pilot rubuh seketika. Semuanya berpencar. Ada pergerakan meskipun samar-samar dari bukit itu, namun disana gelap sekali. Berbeda dengan 8 tungku api yang menyala disini.

Pasukan Pencabut Benalu bagaikan ikan di dalam tong. Mereka tidak dapat melukai musuh di bukit tapi sebaliknya tidak demikian. Teman-teman kompleksku jatuh satu demi satu, namun mereka masih saja ingin baku tembak dengan penyerang itu, dasar bodoh.

Perlahan-lahan tubuh ini merangkak menuju pilot itu. Sebuah tembakan nyaris mengenai bahuku. Tidak ada waktu, tanah kudorong agar mendapatkan momentum berdiri. Peluru semakin banyak nyaris mengenaiku. Pilot langsung kusambar seperti menggendongnya dari kabut.

Suara tembakan semakin berkurang ketika pilot berada di belakang punggungku. Sudah kuduga, kedua belah pihak ingin pilot ini tetap hidup. Arah kompleks berada di kananku, tapi akan berapa banyak orang kompleks yang menjaga sekeliling?

"Amir! Letakkan pilot itu sekarang juga!" teriak nada tinggi familiar.

Sial wanita itu kini mengejar di belakang. "Menjauh dariku ra! Aku yang mengambil Pilot ini dari dalam sana seorang diri sementara kalian sibuk bercengkrama di luar kaya pengecut".

"Lalu mau kau bawa kemana orang itu?" teriak Clara.

"Sudah kubilang kan? Menuju Pasukan Aliansi barat daya dari sini".

"Tidak sebelum kami memberitahu mereka terlebih dahulu bahwa kau adalah seorang pengkhianat kotor yang rela membunuh temannya sendiri untuk mencapai tujuannya. Mereka tidak akan menerima atau mendengar ucapan apapun dari pengkhianat semulia apapun hati mereka. Kita lihat saja apa ada orang yang sudi menerimamu?".

"Pasti ada!" diriku tertawa terbahak-bahak.

Clara balas tertawa. "Para Elang pun tidak akan menerimamu setelah kau mencoba membocorkan operasi mereka. Jadi ikutlah bersama kami sebelum kau membuatku benar-benar marah".

"Emang aku sebodoh itu balik lagi ke tangan Leo menyebalkan itu?".

Clara tertawa keras sekali, lebih keras dari cemoohan sebelumnya. "Coba kutebak, pada Melodi tersayangmu itu kan? Logis sih bagi pengkhianat meminta tolong pengkhianat lain sih. Tapi kau bahkan tidak tahu ia ada dimana Mir! Dasar bodoh, bodoh sekali. Ia tidak akan menolongmu dan kalau boleh taruhan, orang-orang di balik bukit sana adalah teman-teman Leo dari Pasukan Elang. Jadi menyerahlah dasar idiot! Tidak ada yang menginginkanmu!"

Gigiku merapat. Kalau tidak ada barang bawaan pasti akan kupukul wajah munafiknya. Orang yang berusaha menjatuhkanku pasti akan menyesal entah karena karma atau karena tanganku sendiri, apa yang diucapkannya tidak bisa diterima dan ia akan tahu ganjarannya.

Suaranya semakin nyaring, sial ia benar-benar semakin dekat ke arahku. Tembakan mulai menghujani ke arahku. Apakah karena bagian sampingku menghadap ke arah mereka dan bukan lagi punggung pilot? Tetap saja mereka bisa membunuh pilot ini jika kemungkinan terjadi demikian. Tidak, peluru melesat disekitarku lebih banyak daripada yang kuperkirakan.

Sementara sekitar 7 meter disamping kananku adalah tembok tebal kabut. Pilihannya adalah mati dihujani peluru sekarang atau apapun yang ada di dalam kabut itu. Mungkinkah yang terjadi tadi saat diriku 'dikejar', hanya karena perasaanku saja mendengar bahaya tembok kabut itu yang selanjutnya menimbulkan sebuah sugesti?

"Tunggu Amir, apa yang kau lakukan?" teriak Clara kali ini berada tepat di belakangku. Suara menyebalkannya perlahan-lahan hilang. Hawa dingin kabut kembali menyelimutiku erat. Suara tembakan seketika lenyap, begitu pula suara langkah kaki Clara dan diriku.

Aku untuk kedua kalinya berada dalam ketenangan yang mencurigakan dan tentu saja sekarang aku tidak bisa melihat apa-apa. Namun selama kepala dapat mengintip di area dalam pada sebelah kiriku, aku tidak akan tersesat.

Sesuatu menabrakku keras. Pilot yang ada di punggungku terpelanting bersamaku. Aneh, benda yang kutabrak tidak kaku. Bukanlah sebuah benda yang keras seperti pohon atau tembok bangunan. Benda yang kutabrak terasa lembek dan keras dalam waktu bersamaan. Namun aku tidak ada waktu untuk berhenti.

Sebuah benda batangan yang mengeluarkan cahaya merah entah darimana tiba-tiba menggelinding di dekat bokongku yang terjatuh. 'Benda' di hadapanku mendadak lebih jelas, namun indera penglihatanku tidak sanggup mencerna apa yang ditampakkan padanya. Sebuah gradasi kabut yang berbeda dari kabut sekelilingnya, bahkan jika dilihat-lihat malah seperti sebuah awan.

Awan tersebut berdiri tegap dihadapanku, formasinya membentuk tubuh manusia! Namun lebih tinggi dariku, kira-kira setinggi 2 meter. Kedua Lengan, kedua kaki, dada, perut, dan kepala terbuat dari gumpalan 'awan' besar.

Tetapi lengan kanannya jauh lebih panjang dari lengan kiri dan bahkan hampir menyentuh tanah. Namun pandanganku tak bisa berpaling dari kedua lobang di bagian kepalanya yang terlihat seperti mata makhluk itu. Mata bersinar dengan pola aneh persis seperti gambar di ruangan rahasia itu.

"Mundur sekarang juga mir!" Dibelakangku meskipun samar, sosok Clara yang berbalur cahaya merah suar mengacungkan pistol pada raksasa awan tersebut. Tangannya terlihat gemetaran padahal kedua tangan dan pistol sudah saling menggenggam satu sama lain.

Pandanganku tidak boleh lengah terhadap apapun dihadapanku. 'Tangan kanan' panjang makhluk itu diangkat setinggi-tingginya. Pandanganku tidak bisa teralihkan dari gumpalan awan tinggi tersebut.

Dingin, disini dingin sekali! Kaki! aku tidak bisa menggerakkan kakiku sama sekali. Sementara kedua tanganku tidak mau berhenti menyangga punggung ini. Hawa dingin aneh ini benar-benar membuatku mati rasa. Mereka terasa kesemutan tetapi aku tidak punya kontrol untuk berbuat apapun.

Suara pistol terdengar di belakangku. Sang raksasa awan mundur setengah langkah namun masih mengangkat 'tangan kanannya' di atas langit. Tarikan nafas perlahan-lahan berat, semakin berat. Hawa dingin sudah membekukan lubang hidungku. Tiba-tiba 'tangan' tersebut jatuh ke arahku. Tolong!

"Mir! Menghindar!" teriak Clara. Tanpa kusadari 'tangan' tersebut membentur tanah disebelahku. Energi panas tiba-tiba membanjiri kedua tanganku. Teriakan Clara membangunkan seluruh sel di dalam tubuhku. Tak kusangka bisa menghindar dari benda itu. Benda tersebut semakin memendek ketika menyentuh tanah. Sekilas awan itu berubah menjadi transparan.

Benda panjang berwarna hitam yang kira-kira hanya setebal 5 cm tersembunyi di balik 'tangan awan' yang kira-kira setebal logam rol baja. Ada retakan dalam di balik tanah bekas benda hitam tersebut. Retakan tersebut mempunyai kedalaman seperti ... seperti setelah ditusuk oleh sebuah pedang.

Tangan awannya kembali terangkat di udara. Sekarang gerakannya lebih cepat dari sebelumnya. "Tembak lagi ra!" teriakku. Hujan peluru menembus awan-awan tersebut. Makhluk itu mundur dan semakin mundur. Makhluk berjongkok dengan 1 kakinya. Aliran darah segar mengucur dari bagian awan yang menyerupai paha kanan yang bertumpuan dengan lutut.

Clara sedang sibuk memasukkan magazin peluru pistolnya. Apa pisau ini cukup? Tanganku meraba sarung pisau pada sabukku. Tubuhku masih bergetar hebat, kakiku hampir tidak bisa menahan keseluruhan bobot diatasnya. Ini kesempatanku, mumpung makhluk itu kesakitan dan matanya tidak menerangiku.

Pisau kugenggam dengan kedua tangan. Seluruh kemampuan pita suara dikeluarkan demi memberiku kekuatan, semakin lantang dan semakin kuat untuk mengalahkan musuh. Bagian ujung pisau menembus awan pelindung di leher makhluk itu.

Pisauku menancap pada suatu bagian lunak bersama dengan jempol, jari telunjuk, dan jari tengah tertutup di dalam lapisan awan yang dingin. Kaki kananku mendorong tubuh jongkoknya. Makhluk itu pun terbaring di tanah tak bergerak. Jantungku mencoba mengambil segala macam oksigen yang ada yang ada di dunia ini.

"Ra!" teriakku masih ngos-ngosan, "Makhluk ... apa ini?".

Clara hanya menggeleng. Ia sama shocknya denganku. Selama ini kami hanya mendengar kalau yang memasuki kabut ini akan benar-benar tidak kembali. Dan ternyata benar, makhluk ini mungkin membunuh apapun yang ada di dalam sini.

Berita bahwa kita selamat harus sampai pada masyarakat kepungan kabut. Kita berdua baru saja baru membunuh sebuah monster. Tapi perhatianku masih terfokus untuk menyelamatkan pilot itu.

"Mir kita benar-benar harus keluar dari sini!" Clara melihat sekeliling belakangnya.

"Betul ra, tapi kau sebaiknya keluar ke arah kompleks dan jangan mengikutiku lagi, oh dan btw, terimakasih sudah menyelamatkanku." Aku dengan sigap membawa sang pilot menjauhi Clara.

Ia menoleh. "Apa kau sebegitunya menjadi manusia yang tidak tahu diri setelah apa yang baru saja terjadi?".

Aku balas menoleh. Perasaanku campur aduk antara tidak terima dengan perkataannya dan ingin agar diriku tidak ingin menjadi orang dalam perkataannya. Lampu suar merah masih menyala dan ia bahkan tidak menodongku dengan senjatanya.

Gradasi kabut di belakang Clara mengalami sebuah gangguan. Mendadak figur makhluk seperti manusia berselimut kabut awan muncul di belakangnya. Namun kali ini bukan cuma sosok 1 makhluk awan namun ada 4 atau 5.

Clara langsung pergi ke arahku. Wajahnya membeku ketika melihat cara pandangku beberapa senti di atas pundaknya. Ia mampu bergerak cepat berbeda denganku yang hampir kencing celana tadi.

Seolah-olah semua tenaga berfokus pada satu tujuan, yaitu bertahan hidup. Di sudut mata kiriku ada sebuah gangguan gradasi namun kali ini berbentuk bola melayang yang bergerak cepat ke arahku.

Sesuatu mencuat dari bola itu, beberapa lubang seperti metalik muncul dari seluruh sisi bola itu namun anehnya tidak diselubungi oleh lapisan awan. Tanganku langsung sigap menangkap Clara, mengubah arah larinya yang secepat kilat menuju bagian kiriku. Mendadak hawa kabut berganti menjadi kegelapan malam.

Kakiku tidak menyangka akan tanah yang dipijaki selanjutnya. Turunan pada elevasi tanah mengakibatkan tubuhku terguling. Tidak lama kemudian rentetan tembakan berbunyi dari belakang kami.

Bunyinya berasal dari dalam kabut, peluru dengan kecepatan tembakan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Pasti dari lubang senapan dari bola kabut di dalam sana itu. Clara langsung menggeleng ketika melihatku.