Tik... Tik... Tik
Suasana yang mencekam sangat terasa di pemakaman. Keheningan dari orang-orang yang datang, serta hujan yang turun dengan deras mengiringi jalannya pemakaman temanku.
Namanya Laila, dia adalah satu-satunya teman berharga bagiku. Seorang gadis yang memiliki rambut hitam panjang yang terurai setelah tertiup angin masih melekat di-ingatanku. Matanya yang berwarna kuning kemerahan, serta wajah cantik nan imutnya, semua.... Semuanya masih melekat di-ingatanku.
Akan tetapi....
Semua itu hanya tinggal kenangan. Ibarat kata pepatah "Yang dari tanah, akan kembali ketanah juga." mungkin pepatah itu sangat cocok untuk menjelaskan isi hatiku saat ini.
Namaku Noah Cromwell, Yahhh 'Cromwell' itu nama marga keluargaku. Rambutku berwarna hitam dan mataku berwarna biru langit gelap. Aku selalu memakai kalung kemanapun aku pergi, kalung itu adalah hadiah terbaik yang diberikan Laila padaku. Aku adalah seorang anak berumur 10 tahun yang sudah membunuh orang-orang terdekatku, seperti Ayah dan ibuku, juga Laila...
Laila dan aku sudah bersama sejak umurku masih 4 tahun. Kebetulan kami lahir di hari serta tahun yang sama, kami juga memiliki banyak kesamaan, mungkin hal inilah yang membuat kami sangat akrab. Hari demi hari kami lalui bersama. Saat salah satu diantara kami sedang bepergian, salah satunya lagi selalu siap menunggu kepulangan. Dan saat salah satu diantara kami sedang bersedih karena suatu hal, salah satunya selalu mencoba menghibur agar senyuman yang lebar itu tak hilang dari pandangan. Semuanya kami jalani bersama, selama 6 tahun ini banyak hal yang sudah kami lalui bersama. Kesedihan serta kebahagiaan juga sudah kami dapati bersama. Akan tetapi semua hal itu harus berakhir dengan penyelasan. Jika saja saat itu aku mampu mengendalikan emosiku, mungkin saat ini ia masih mampu menemaniku. Kenangan yang kami bangun bersama mau tidak mau harus kandas hanya karena ke-egoisanku.
Orang-orang di pemakaman saling berbisik membicarakan kematian temanku yang masih menjadi misteri. Jasad atau bahkan potongan tubuh sedikitpun tak mampu kami temukan. Yang ada hanyalah bekas darah yang tumpah di batuan besar dipinggir sungai, darah yang terbawa arus air juga memunculkan sebuah kemungkinan bahwa anak itu telah mati dan tubuhnya hanyut terbawa arus sungai yang cukup deras. Aku yang ada di tempat kejadian, disaat Laila berlari ke arah sungai karena kalungnya yang pernah ku berikan telah kulempar. Menimbulkan sebuah dugaan kalau akulah yang sudah menyebabkannya terbunuh.
Orang-orang di pemakaman semuanya membicarakanku. mereka menuduh, bahkan ada yang sampai menyebarkan fitnah buruk tentangku.
"Hei apa kau tahu... orang-orang bilang anak laki-laki itu yang sudah menyebabkan gadis ini terbunuh." mereka berbisik sambil menunjuk ke arahku.
"Iya!! Kau benar, memang anak itu pelakunya!! Menurut saksi mata, mereka sering berduaan di hutan, entah apa yang terjadi tapi warga-warga yang lain berpikir kalo mereka sudah melakukan hal-hal keji," sahut salah satunya menyebarkan fitnah yang sudah jelas sangat melenceng dari kebenaran yang ada.
"HAHHH!?!! Yang benar saja!! Anak sekecil mereka tak mungkin melakukan hal-hal keji seperti itu. pikiran mereka masih polos," ucap salah satunya.
"Ayolah!! Apa kau sudah lupa? Kejadian beberapa bulan yang lalu, anak itu sudah menghabisi orang tuanya sendiri bukan?! Dia menghabisi kedua orang tuanya yang sudah jelas telah merawatnya dari kecil!! Jadi mungkin saja kan anak sepertinya melakukan hal-hal keji itu untuk menghibur dirinya sendiri?!!"
Aku yang hanya terdiam, tanpa merespon sedikitpun kepada orang-orang yang telah membicarakan keburukanku. Lagipula untuk apa aku menyangkalnya, semua yang dikatakan orang-orang itu benar adanya. Kebenaran bahwa yang sudah menghabisi Laila adalah aku. Yang sudah menghabisi Ayah dan ibuku adalah aku. Jadi mengapa 'Iblis' sepertiku mencoba mengelak dari semua tuduhan itu.
Tak lama...
Aku tiba-tiba menerima pukulan dari belakang sampai-sampai aku terpental karena saking kerasnya pukulan orang tersebut. Sekilas aku mengingat wajah orang itu, wajah yang ku kenali. Yahh itu Ayahnya Laila dengan pikiran yang tak jernih lagi setelah mendengar semua rumor yang sudah tersebar ke seluruh penjuru desa.
"Kau... Untuk apa kau datang ke pemakaman Putri-ku, untuk apa kau datang ke pemakaman seseorang yang telah kau bunuh. Apa kau tahu karenamu Putriku kehilangan nyawanya. Jika saja kau tidak ada mungkin... Mungkin saat ini ia masih bisa berada dipelukanku, mungkin saat ini ia masih ingin dimanja oleh Ayahnya ini. Kau tahu... Sebelumnya aku sudah cukup menderita atas kepergian Istri ku, dan sekarang... Kau.... Kau datang merebut nyawa putriku, merebut satu-satunya bunga yang tersisa dihatiku. APA KAU MASIH BELUM MENGERTI APA ARTI DARI PENDERITAAN YANG SEBENARNYA HAH!!?" ucap beliau dengan nada yang tinggi seolah-olah mengancamku.
Lagi-lagi... Aku hanya bisa terdiam. Aku tak sanggup menanggapi kemarahan Ayahnya Laila. Semua yang beliau katakan benar adanya. Aku... Aku sudah merebut kebahagiaan orang lain.... Aku sudah membuat orang-orang disekitarku menderita.
Seketika Aku merasa mual di perutku, indera perasaku tak bisa merasakan apa-apa lagi, semuanya terlihat buram, kesadaranku melemah seiring waktu, dan seketika aku terjatuh ketanah dan kehilangan kesadaranku.
"Apa yang terjadi??..."
"Kenapa tiba-tiba aku kehilangan kesadaranku??...."
"Tak mungkin hanya karena satu pukulan itu aku pingsan ditempat....."
Penglihatanku terlihat gelap, akan tetapi aku masih bisa mendengar suara-suara warga dan rintikan air hujan yang turun dengan derasnya. Tak lama aku melihat bayangan tentang ingatanku dengan Laila. Semuanya terlihat bahagia diawal, akan tetapi lama-kelamaan terlihat bercak darah dimana-mana. Darah itu lama-kelamaan menutupi pandanganku, serta terdengar suara seseorang yang membisiki-ku.
MATILAH.....
MATILAH...
MATILAH...
Suara itu terdengar menakutkan dan terus berulang-ulang.
Setelah itu...
Kesadaranku mulai kembali. Pandanganku masih terlihat buram, akan tetapi aku dapat merasakan sesuatu ditanganku. Seperti cairan kental dan berbau. Seiring waktu pandanganku mulai kembali terlihat jelas dan aku melihatnya... Cairan ditanganku itu... Itu DARAH... Darah dimana-mana. Tubuh tanpa nyawa yang terbaring di tanah, tanpa ada satupun yang selamat, tanpa ada satupun yang sadar akan apa yang telah ku lakukan.
Aku berjalan menyusuri jalan penuh jasad. Aku berjalan dengan sempoyongan. Pikiranku terombang-ambing tak menentu.
"Ini... Apa benar semua ini perbuatanku?? Apa aku lagi-lagi kehilangan kendali atas tubuhku?? Hei siapapun tolong jawab aku... Aku yakin diantara kalian masih ada yang bisa diselamatkan bukan?? Aku... Aku tak menghabisi kalian semua sekaligus bukan?? Siapapun... Tolong... Jawab..." ucapku sambil menghampiri jasad orang-orang itu satu-persatu.
Perutku tiba-tiba terasa mual karena melihat darah sebanyak itu. Aku seketika muntah mengeluarkan semua isi perutku dan lagi-lagi aku kehilangan kesadaranku untuk yang kedua kalinya.
*******
"Kakak...."
"Kakak bangun...."
"Kak Noah bangun kak..."
Perlahan suara itu terdengar jelas ditelingaku. Suara seorang gadis yang ku kenali memanggilku.
"Kakak?!! Ayo bangun Kak!!"
Aku terbangun dan berada di kamarku. Disampingku sudah ada Adik perempuan-ku yang membawakan-ku makanan. Namanya Laura Cromwell. Rambutnya berwarna hitam sama sepertiku, bentuk serta warna matanya yang berwarna biru langit persis punyaku. Jarak antara umur kami hanya berkisar 3 tahun. Ayah dan Ibu kami telah tiada karena ulahku. Aku sempat bingung kenapa bisa-bisanya Adikku tak marah ataupun benci kepadaku, padahal sudah jelas kalau aku sudah mengakhiri nyawa kedua orang tua kami.
Aku sempat bertanya kepadanya dan ia hanya bilang "Jika aku membenci Kakak dan berniat menghabisi nyawa Kakak hanya untuk membalas dendam Ayah dan Ibu, lalu siapa yang akan menjagaku nanti, lantas siapa yang akan merawatku nanti. Akhir-akhir ini aku sadar kalau dendam hanya akan membawa penyesalan kepada diri kita sendiri. Jika kita selalu saja mengikuti keinginan hati, maka tak akan ada habisnya, dendam itu juga tak akan berakhir sampai ke anak cucu kita nanti. Aku benar kan kak??" sahut Adikku.
Senyum Adikku mengarah ke arahku, ia tak marah atau bahkan menjauh dariku karena perbuatanku sebelumnya. Ia bahkan mendekatiku dan malah menyemangatiku. Sungguh sebuah anugerah mendapatkan seseorang yang mau menemaniku disaat semua orang menjauhiku.
"Nih Kak makan. Ini aku yang buat lohhh, dijamin EUNAKKK." dengan senyum diwajahnya ia mengatakan semua itu seolah-olah kejadian sebelumnya tak pernah terjadi.
Aku menatapnya... Wajah Laura yang terlihat ceria tertampang jelas disana, akan tetapi aku adalah Kakaknya, orang terdekatnya saat ini, aku mengenal Laura lebih baik dari siapapun. Walaupun ia sudah sangat baik menyembunyikannya, tetap saja ia tak mampu menyembunyikan kesedihan didalam dirinya. Air mataku menetes ke kasurku ketika melihatnya menahan semua ini sendirian. Dan seketika aku memeluknya sambil menangis.
HUG!!
"Terima kasih.... Kamu sudah mau menemaniku. Walaupun kamu tau Kakakmu ini tak pantas mendapatkan perlakuan baikmu akan tetapi kamu masih bersikeras mengisi kekosongan hatiku ini dengan senyumanmu yang manis itu," ucapku sambil memeluk dan meneteskan air mata yang tak henti-henti.
"Yosh... Yosh. Sudahlah Kak... Semua ini bukan sepenuhnya salah Kakak. Masa sih orang baik seperti Kakak melakukan hal sekeji itu. Aku ini Adikmu loh, aku tahu semua tentang Kakakku." lagi-lagi ia mengatakan hal yang sama seolah-olah ia buta akan kebenaran yang ada didepannya.
Setelah puas akan tangisanku, aku langsung mengambil makanan yang diberikan Adikku. Aku menyuapinya dan ia juga menyuapiku. Sungguh sebuah kenangan yang akan ku ingat sampai akhir hayatku nanti
Selang beberapa menit... Sebuah batu menembus jendela rumah kami. Hinaan dari orang-orang tak henti-henti terdengar di telinga kami. Mereka mendobrak, menghancurkan barang-barang diluar rumah kami tanpa ampun. Adikku lagi-lagi hanya tersenyum tanpa menghiraukan apa yang sudah terjadi diluar.
"Kak... Selamat datang dikehidupan kita yang baru. Kakak jangan takut yaaa, aku ada disini kok. Aku yakin kita mampu melewati semua ini bersama," ucap Adikku sambil memegang tanganku, ia bilang untuk tak takut akan tetapi terasa jelas kalau tangannya sedang menggetar ketakutan.
Melihatnya ketakutan membuatku dengan cepat langsung memeluknya dengan erat. wajah penuh senyumannya seketika pecah. Kesedihan yang selama ini ia emban sendirian seketika keluar. Ia menangis di pelukanku, air matanya keluar tanpa henti. Tubuhnya bergetar serta pelukan erat tangannya membuktikan ketakutannya akan amukan diluar.
"Hentikan"
"Hentikan kumohon..."
Laura tak henti-henti berkata demikian. Aku sebagai Kakaknya mencoba melindungi Adikku dari serangan warga-warga yang sedang marah diluar.
"Sampai Kapan Semua Penderitaan Ini Akan Berakhir."
-Noah Cromwell