Dengan kereta api Metro Shang Hai Zhou Cheng Cheng kembali ke Guang Zhou. Di jalan kereta Zhou Cheng Cheng hanya melamun saja, berat sebenarnya ia meninggalkan tante tersayangnya. Tapi ia harus kembali untuk menyelesaikan semau persoalannya dan siap untuk menghadapi cobaan dan masalah-masalah lain yang akan datang.
Matanya memandang jauh dari jendela kaca kereta api itu. Di luar terbentang sawah, bukit yang menghijau di kanan kiri jalan kereta api. Sejuk rasanya untuk di pandang… para pak tani mengurus sawahnya… mereka seakan damai dan tentram dengan kehidupannya… lain hidup di kot besar yang sangat banyak macam perkara dan masalah. Bising dan semrawut!
***
Zhou Cheng Cheng berjalan meninggalkan rumah sakit. Tak ada perasaan kaget pada dirinya. Tidak ada rasa sedih. Ia merasa lucu, tapi ia sendiri tidak mampu untuk tertawa. Dokter menyatakan ia sedang hamil, dokter memberinya ucapan selamat, dokter mengatakan ia harus hati-hati menjaga kandungannya. Zhou Cheng Cheng tertawa dalam hati, dulu Zhang Han mencintainya dan mengajak kawin, tapi ia tidak mau. Sekarang ia sedang mengandung. Bukan lagi benih dari Zhang Han saja, tapi telah bercampur dari benih Om Hans, dan teman-temannya, dan mungkin juga benih dari Cheng Kai! Tak mungkin kini ia meminta tanggung jawab pada Zhang Han sendiri. Dan ia memang tak mau berbut itu.
"Bagaimana mungkin aku harus mengandung tanpa seorang suami?" pikir hatinya.
Pulang ke rumah, hari sudah malam. Zhou Cheng Cheng dengan perasaan tidak menentu tiba di rumahnya. Di lihatnya ayahnya ada di dalam sedang duduk di ruang tengah. Matanya merah, ada bekas-bekas ia mabuk lagi. Matanya setengah terpejam sambil memandangi anaknya yang baru pulang. Memang demikian sikap ayahnya terhadap anaknya jika baru pulang.
"Ayah? Sudah pulang?" tanyanya.
Ayahnya membuka matanya sedikit tajam, dan kemudian berkata sinis.
"Untuk apa berpura-pura, kau biasanya tak pernah mau tahu aku sudah makan atau belum!" ujarnya dengan senyum tak mengesankan.
Gadis in sama sekali tidak mau memperdulikan kata-kata ayahnya. Ia menutup pintu depan dadn berkata, "Kalau Ayah belum makan, biar ku buatkan dulu makanan."
"Buatlah!" kata laki-laki tua ini dengan tenang.
Zhou Cheng Cheng masuk ke dapur. Ia merasa letih sekali. Ia tahu, semua wanita yang sedang mengandung pasti tubuhnya aka lemah walau sebesar apa orang itu. Ia ingin, seharusnya ayahnya menolak ketika menanyakan tentang makan, dan ia sebenarnya malas untuk memasak. Ia memaksakan diri untuk memasakkan maknan bagi ayahnya. Tapi tiba-tiba saja bau makanan membuatnya ingin muntah. Setelah membuat sedikit makanan kesukaan ayahnya, Zhou Cheng Cheng sudah tidak mampu lagi bertahan. Ia lari menuju kemar mandi untuk memuntahkan semua rasa mualnya.
Menyaksikan keadaan anaknya demikian, ayahnya berkata sinis:
"Kau selalu begitu! Tak pernah menunjukkan rasa senang jika memasakkan makanan untuk ku." Rungutnya.
Setelah menyediakan makanan di atas meja, dengan lesu Zhou Cheng Cheng masuk ke kamarnya untuk membaringkan badannya yang lemah itu.
"Kau tidak makan?" tanya ayahnya setengah berteriak.
"Tidak! Aku tidak ingin makan apa-apa!" jawab Zhou Cheng Cheng dari dalam.
"Huh… kau emang tidak mau makan setiap hari, tapi kau tetap sehat, kau melebihi seorang malaikat!" rungut laki-laki tua ini.
"Cheng Er, aku heran melihat mu setiap hari selalu berwajah murung… apa kau pikir aku selalu memperlakukan mu dengan kejam, seperti anak tiri saja…?" lanjut ayahnya sambil berteriak dari luar.
Zhou Cheng Cheng tidak dapat menahan kesabaran lagi. Ia kemudian menjawab semua pertanyaan ayahnya dengan teriakan seperti apa yang di lakukan oleh ayahnya.
"Ayah, apa sebenarnya yang Ayah inginkan? Apakah Ayah tidak dapat hidup dengan tidak marah-marah? Ayah telah berbuat kejam pada ibu sampai dia meninggal, apakah Ayah masih belum puas jika aku belum mati?" tanya Zhou Cheng Cheng sedikit kesal.
"Jangan sebut-sebut wanita gila itu lagi!" bentak ayahnya. "Dulu pikiran ku memang bodoh, mau mengawini wanita gila seperti ibu mu. Syukurlah yang keluar kau, anak perempuan. Kalau anak lelaki, keturunan ku akan tinggal selama-lamanya di rumah sakit, tahu?" katanya sambil berteriak.
"Kau pikir seemua keturunan mu akan tinggal di rumah sakit untuk selama-lamanya? Kau begitu membencinya, tapi kenapa dulu tidka terpikir oleh mu untuk tidak mengawini ibu ku yang gila itu, hm?" tubuh Zhou Cheng Cheng menggigil. Harga dirinya yang baru saja di kembalikannya dengan susah payah, kini telah menghilang lagi.
"Bagus, tapi Ayah dapat melihat nanti… bahwa keturunan ku tidak akan gila seperti apa yang Ayah pikirkan!" tambahnya lagi.
Ayahnya kaget mendengar semua ucapan anaknya, gelas yang sedang di pegangnya itu terjatuh.
"Apa kau bilang?" tanyanya.
Entah apa sebabnya perasaan Zhou Cheng Cheng senang, ketika melihat ayahnya begitu terkejut.
"Aku telah mengandung!" jawab Zhou Cheng Cheng tenang, sambil memegang perutnya.
"Kau… kau mengandung?" tanya laki-laki tua itu memastikan.
"Ya! Sudah empat bulan!" jawab Zhou Cheng Cheng tenang lagi.
"Kau…!" tangan laki-laki tua ini bergetar menunjuk putrinya, kemudian gelas yang baru saja di ambilnya di taruhnya lagi dengan membantingnya sehingga isi gelas itu tumpah semua.
"Tunggu lima bulan lagi, mungkin dunia ini akan bertambah penghuninya, dan tentunya anak ku akan menjadi penghuni rumah sakit gila, karena di keturunan ku, dan aku… pada tubuhnya telah mengalir darah seorang gila, tahu?" kata Zhou Cheng Cheng dengan tenang lagi.
Zhou Cheng Cheng kaget bukan main, ketika sebuah gelas melayang menujunya, ia terlambat melindungi dirinya, sehingga gelas itu jatuh tepat di atas keningnya. Ayahnya mulai sadar, ketika melihat ada darah pada kening anaknya. Zhou Cheng Cheng sengaja tidak mengusapnya, ia ingin ayahnya melihat dengan sadar.
"Laki-laki itu mau menikahi mu? tanya Ayahnya lembut.
"Laki-laki itu telah menikah dengan orang lain, karena waktu itu aku menolak untuk menikah!" jawab gadis ini tenang.
"Benar-benar gila, kau tidak beda dengan ibu mu…!" ayahnya marah lagi.
Tapi Zhou Cheng Cheng kemudian dapat menahan rasa perih dari keningnya. Ia berlari masuk ke dalam kamarnya. Begitu sampai di kamarnya, ia melihat foto ibunya yang masih tergantung, dengan warna yang sudah memudar. Ia menarik foto itu dari tembok dan berkata sambil menangis.
"Ibu, tolong berikan aku bukti kalau aku tidak gila!" ujarnya. "Katakanlah pada mereka bahwa aku tidak gila… tolonglah Bu!" Zhou Cheng Cheng terus menangis, sehingga lelah, dan dia tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu, karena matanya sudah mengantuk, maka ia langsung saja tidur di lantai.
***
To Be Continue…
Terima kasih buat kalian yang sudah membaca cerita ini ya. Sampai jumpa di chapter selanjutnya ya~