Aku baru kembali dari kampus dan merasa sangat lelah. Selesai mandi, aku memilih menyelesaikan tugas kuliah. Tidak terasa hidup jauh lebih menyenangkan dengan memiliki teman. Bian dan Puri ternyata sangat memberi suasana lain dalam pertemanan kami. Kini bukan hanya sekedar menyelesaikan tugas kampus, kami semakin dekat dan sering menghabiskan waktu bersama.
Sudah dua minggu berlalu dan aku cukup heran. Luke belum juga memintaku untuk menemani lagi berburu mangsanya. Mungkinkah dia mulai bersimpati dan memiliki belas kasih terhadapku? Hoho, sepertinya bukan itu wataknya.
Seminggu ke depan kampus mulai libur karena ada persiapan wisuda dan reuni akbar. Aku masih harus ke kampus mengumpulkan beberapa tugas akhir semester yang dateline-nya Senin depan. Sudah dari sore aku menyibukkan diri dan tidak keluar sedikit pun dari kamar.
Pintu kamarku di ketuk tiga kali.
Tok … tok … tok
Aku tidak menghiraukan. Paling Luke, pikirku.
"Rie, makan malam!"
Benar kan suara Luke. Huh, sok baik nawarin makan segala. Rutukku dalam hati.
"Kalo kamu nggak makan, terus mati, kamu akan kuseret ke rumah indahku di neraka!" ancamnya. Bulu kudukku meremang. Dasar iblis, tidak pernah tulus membantu. Hanya karena dia membutuhkan aku saja maka dia berusaha baik. Aku bangun dan dengan terpaksa membuka pintu.
"Silahkan menuju ke ruang makan, santap malam sudah siap tuan putri," kata Luke setengah mengejekku.
Aku memasang muka dingin dan menuju ruang makan tanpa menjawabnya. Aku terkesima, di meja tampak masakan yang begitu menggugah selera. Ikan masak manis, udang goreng tepung dan sayur kesukaanku, tumis kangkung juga nasi hangat dan sambal. Mustahil Luke yang memasak semua ini. Selama tiga bulan kami bersama, dia selalu pesan makanan siap saji. Bahkan masakanku pun tidak pernah disentuhnya dan berakhir di tempat sampah. Menurut Luke, makan hanya untuk menyempurnakan perannya sebagai manusia.
"Aku yang masak semua, setelah berhari-hari browsing di hmm … apa namanya? Youtube, ya itu dia," jawab Luke merespons ucapanku dalam hati.
Aku menarik kursi dan duduk. Luke mencomot udang dan memejamkan mata menikmati.
"Ternyata tidak sulit. Enak …," Luke mengisi piringnya dengan lauk dan nasi.
Aku mengambil masakan di meja dengan ragu.
"Ini nggak akan berubah jadi belatung ataupun daun kan?" sindirku kejam.
Luke tertawa kecil.
"Kamu pikir aku iblis rendahan seperti itu?" sahutnya santai, tidak merasa tersinggung sedikit pun.
Aku mulai menyuap sedikit demi sedikit, dan benar, masakan ini lezat. Perutku yang tidak terisi dari siang mendadak lapar. Aku menyantap dengan lahap. Luke tersenyum. Aku tidak mempedulikannya. Tidak ada gunanya bermanis ria ataupun baik terhadapnya, dia tetap memanfaatkan aku.
Selesai makan malam aku merelakan diri untuk mencuci piring. Luke bersantai di teras sambil kembali sibuk meneliti ponselnya. Entah mungkin mencari resep baru. Aku tertawa sendiri. Dasar iblis norak, batinku. Kurapikan piring dan gelas ke dalam lemari. Sebelum aku menutup pintu, aku melihat gelas mug kesukaan Mama. Mug dengan gambar bunga aster dan nama mama terukir di situ.
Roseline Darmawan. Tiba-tiba rasa haru bercampur rindu menyeruak relung hatiku. Tidak pernah terlintas sedikit pun bahwa Mama yang bijak ternyata mampu mengambil jalan yang salah. Aku pikir dengan kebijakannya dia bisa mengurungkan niat Papa untuk mencari pesugihan. Tapi ternyata tidak.
Ada satu pertanyaan yang menjadi ganjalan abadiku. Kenapa Mama dan Papa sanggup dan tega mengorbankan Mas Andre dan Mas Andri? Kedua abang kembarku? Pernahkah terlintas dalam pikiran mereka bahwa putra dan putri kesayangan mereka yang akan membayar semua ini? Jika sadar dan tahu, Kenapa masih saja mereka melakukan hal tersebut?
Aku merasakan lututku lemas dan akhirnya terjatuh duduk di lantai. Sudah berulang kali aku berada dalam posisi saat ini. Setiap kali aku mengingat mereka, keluargaku, aku lunglai. Tidak mampu menahan pilu juga sedih yang menghunjam tiada ampun. Kehilangan mereka adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa aku lupakan dan tidak akan tergantikan kekosongan itu. Luka ini tidak akan pernah sembuh. Air mataku mengalir tanpa bisa terbendung.
"Inilah alasan kenapa aku menghindar setiap kita makan di rumah dan menggunakan perabotan sial yang hanya mengorek lukamu kembali," Luke sudah berdiri di ambang pintu dapur. Dia melangkah mendekatiku.
"Kita pindah minggu depan, mumpung kamu libur, ada rumah yang bagus banget dan cocok buat kita berdua. Deket kampusmu lagi," dia membantuku berdiri, aku menepis tangannya.
"Jangan sentuh aku!" tolakku dengan ketus. Aku merasa tidak ingin mendapat simpati palsu dari makhluk neraka. Seketika emosiku bangkit dan berganti menjadi gengsi.
"Aku tidak mau pindah!" tolakku keras. Aku bangun dan meletakkan Mug di lemari kemudian berjalan menuju ruang makan mengisi botol minumku. Luke mengikuti dari belakang.
"Tidak mau pindah dan membiarkan kamu meratap? Terus menangis cengeng setiap hari? What a mess!" (kacau banget) teriak Luke.
"Kita pindah, entah kamu setuju atau tidak. Dan berhentilah menangis, masih banyak yang hidupnya jauh lebih susah dari kamu!" bentak Luke dan masuk ke kamarnya membanting pintu.
Mulutku bungkam, tidak ada perlawanan. Sesaat aku membenarkan perkataannya. Aku terlalu cengeng, tidak tegar dan kuat. Mungkin ada gadis lain yang harus berjuang sendiri tanpa bantuan siapa pun. Apakah aku gadis yang beruntung? Seorang iblis memutuskan untuk mengadopsi dan menjaga aku? Beuh! Keberuntungan yang membawa petaka.
Ternyata pernyataan Luke tidak main-main. Senin pagi truk penyedia jasa pindah sudah datang dan mengemasi beberapa barang elektronik. Aku ingin memprotesnya tapi waktu tidak memungkinkan. Aku harus segera ke kampus sebelum jam sembilan untuk mengumpulkan tugas, karena setelah itu Dosen akan pergi. Kusimpan kejengkelan dan segera berlalu dari depannya.
Dengan terburu-buru aku berlari membuka pintu ruang dosen. Aku segera menyerahkan tugas dan mengucapkan permohonan maaf karena sedikit terlambat. Ibu Ira tersenyum.
"Rie, jangan terlihat bersalah. Kita ngerti kok. Yang penting kamu baik-baik saja kan?" tanya dosenku penuh perhatian.
"Sa-saya baik-baik saja Bu," sahutku gugup.
"Semester depan aku butuh asisten untuk mahasiswa tingkat satu, kamu berminat untuk mendaftar?" tawarannya sungguh mengejutkan. Aku membuka mulut membulat dan tidak menduga akan ditunjuk untuk menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Statistik ekonomi dan bisnis. Aku mengangguk ragu.
"Kok nggak yakin gitu?" tanya bu Ira.
"Ma-mau kok bu, tapi apa iya saya bisa mengajar, kan saya tidak pandai bicara," sahutku pelan.
"Karena belum biasa aja, nyatanya di public speaking kamu cukup unggul kata Dosen Melanie," Ibu Ira meyakinkan seraya menumpuk kertas tugas mahasiswanya. Rupanya tugasku yang terakhir dia dapatkan.
"Saya coba ya bu," anggukku mantap.
"Good. Setelah acara wisuda kita ada libur sekitar … hmmm … dua bulan, kamu bisa datang ke rumah untuk belajar penyampaian materi, OK? Setuju?" kata bu Ira.
"Makasih Bu, saya akan ke sana," janjiku dan pamit. Ibu Ira mengedipkan matanya dan tersenyum. Sekilas aku melihat wajahnya tampak pucat namun bibirnya merah, walau sepertinya bukan karena lipstik, dan matanya mungkin memakai lensa warna merah, dugaanku. Karena sebagai keturunan kaukasia, kami selalu memiliki retina warna hitam atau cokelat, bukan merah. Dosen yang antik, batinku.
Aku berjalan dengan penuh percaya diri. Penawaran Ibu Ira barusan akan membuatku sedikit demi sedikit menumpuk rasa percaya diri dan berharap tidak lagi bergantung pada siapa pun.
Ketiga sahabatku duduk dengan sabar. Maya, Puri dan Bian sudah menungguku di gerbang kampus.
"Hai, kalian nggak kelamaan nunggu?" sapaku. Maya langsung meraih tanganku.
"Beneran kamu mau pindah?" tanya Maya tidak lagi menutupi penasarannya yang jelas terukir pada wajah bulatnya. Aku kaget.
"I-iya, tapi maksudku belum tau, darimana kalian tahu?" tanyaku heran dan gugup. Aku memang gampang gugup dan panik.
"Tadi Bian mau jemput kamu, dia liat mobil pindahan lagi mengangkut barang-barang, karena males nanya dia langsung cabut," terang Maya. Beneran sinting itu iblis satu. Ternyata barang-barang sudah diangkut.
"Iya, cuman pindah rumah aja. Deket kampus malahan," sahutku pelan menahan jengkel kepada Luke.
"Oh syukurlah, kirain mau pindah kuliah juga. Matilah kita," ujar Puri lega. Aku tertawa geli.
"Nggak, mana bisa aku pindah, Bu Ira barusan nawarin buat jadi asisten dosennya buat semester depan," pamerku malu-malu. Ketiga temanku terbelalak matanya.
"Beneran? Dosen killer itu? Butuh Asisten dosen?" teriak Bian tidak percaya, aku mengangguk. Maya dan Puri memelukku dengan girang. Aku merasa terharu dengan dukungan mereka bertiga. Merekalah penghiburku. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan orang-orang yang baik dalam hidupku. Inikah bukti bahwa Tuhan belum menyerah kepada umatNya?