Chereads / It's A Secret Mission / Chapter 6 - Six

Chapter 6 - Six

Sesuai dengan dugaanku sebelumnya, kalau bapak-bapak yang barusan memang ada kaitannya dengan ibuku. Aku juga tidak terkejut saat mendengarnya, karena aku memang sudah memprediksi hal tersebut.

Saat Pak Heri memperkenalkan dirinya, setelah itu aku langsung menyudahi percakapannya. Karena aku tidak mau mendengar apapun lagi, jadi aku langsung saja mengusir beliau secara halus. Untungnya pak Heri orangnya tidak mudah tesinggung, dan dia langsung mengerti.

"Mba Valerie" panggil Ayu sembari menghampiriku bersama degan Rani, diikuti ekspresi khawatirnya yang sangat kentara sekali.

"Kenapa Yu?"

"Mba Val gapapa?" Tanya Rani.

"Engga ko, saya gapapa" balesku sambil tersenyum simpul kemudian beranjak dari kursi.

"Mba beneran gapapa? Bapak-bapak tadi abis ngapain mba deh?" Ucap Ayu.

"Mba ga di apa-apain kan sama bapaknya barusan?" Timpal Rani.

Aku mendengar itu langsung menggelengkan kepala sambil tersenyum. Lucunya dua karyawan cantikku ini kalau sedang khawatir.

"Engga.. beneran ko, saya ga di apa-apain sama bapak-bapak yang barusan. Dia cuman pengen ngobrol-ngobrol soal cafe aja " jawabku asal. Karena hanya dengan menjawab seperti itu mereka berdua bisa diam. Kalau aku menjawab yang sebenarnya, bisa-bisa mereka malah terus bertanya.

"Yaudah deh kalau gitu, kita khawatir banget taugasih mba.. kita berdua dari tadi merhatiin mba sama bapak-bapak tadi. Takutnya mba di godain gitu kan serem.." ucap Ayu.

"Kalau itu mah gausah khawatir, saya sabuk item karate ko"

"Hah? Masa iya mba? Sejak kapan mba belajar bela diri?" Lanjut Ayu yang keliatan kaget banget kayanya denger aku ngomong kaya barusan.

"Sejak negara api menyerang"

"Ih.. mba Valerie kalau becanda garing ya. Maksain banget" celetuk Rani dan langsung dapet geplakan dari Ayu.

Sementara aku yang dengernya cuman ketawa-ketawa aja karena ucapannya Rani emang ada benernya. Jokes yang barusan keliatan banget maksanya.

"Saya juga setuju sama kamu ko Rin, saya emang gabisa ngelucu"

"Yaiya dong mba, kalau mba bisa ngelucu, mba sekarang udah jadi pelawak, bukan owner cafe" celetuk Rani lagi.

"Dih! Lo juga sama gejenya Ran, ngaca dikit napa"

"Ka Ayu ko gitu? Giliran mba Valerie ngelawak tapi ga lucu diem aja, tapi pas aku yang gitu ko mba malah marah-marah?"

"Ya abisannya kalau gue protes nanti gaji gue dipotong"

Aku yang daritadi cuman berdiri sambil ngeliatin perdebatannya mereka berdua cuman bisa geleng-geleng kepala aja.

Bisa-bisanya aku ngerekrut mereka dulu.

"Udah ih! Balik kerja lagi sana!"

"Siap mba!" Jawab mereka berdua dengan kompak.

"Eh tunggu!"

"Kenapa mba?"

"Bilangin Zidan, bouquet bunga yang ada di dapur buang aja"

--

"Mba, seriusan ini mau dibuang?" Samber Zidan yang langsung masuk ke dalam ruanganku begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Akibatnya, aku yang hendak memberikan sebuah tanda tangan hampir saja membuat kesalahan karena ulahnya Zidan itu.

"Ketok dulu Dan! Ini saya lagi nulis hampir aja kecoret tauga?!" Omelku kepada Zidan tapi malah dibalas dengan sebuah cengiran saja oleh dirinya.

"Saya kebawa emosi mba. Maaf.."

"Kebawa emosi kenapa?"

"Iya, saya kaget aja tadi pas denger Ayu bilang disuruh sama mba kalau bunga yang kemaren dibuang aja"

"Ya emang buang Dan. Kamu ngapain bawa kesini? Kenapa ga langsung dibuang?"

"Justru saya mau mastiin lagi, mba yakin mau buang bunganya? Ini cantik banget loh mba. Sayang aja kalau dibuang, ini masih seger soalnya" ujar Zidan seraya menyodorkan bunga pemberian om Heri kepadaku.

Memang aku akui kalau rangkaian dari bunganya sangat terlihat cantik. Tetapi jika aku mengingat kembali dari siapa bungan itu, membuatku malah jadi kesal sendiri dibuatnya.

"Gapapa, saya yakin banget pengen itu dibuang"

"Kalau saya bawa kerumah boleh? Ibu saya suka banget sama bouquet mba"

"Yaudah terserah kamu aja, mau dibuang, mau disimpen, mau dijual lagi juga boleh. Yang jelas jangan pernah ngaitin apapun sama saya lagi, oke?"

"siap mba- ehiya mba.. tadi Ayu juga bilang kalau mba di datengin sama bapak-bapak, apa orang itu, orang yang sama ngirim bunga ini?" Tanya Zidan ragu.

"Tutup pintunya Dan" titahku yang langsung dituruti oleh Zidan.

Tanpa disuruh kembali, Zidan berinisiatif untuk mendudukkan dirinya di hadapanku. Seakan tahu kalau aku akan menceritakan sesuatu kepada dia.

"Jadi bener mba?" Tanyanya lagi. Akupun menganggukkan kepala sebagai jawabannya.

"Serius? Terus gimana mba? Jadi, bapak-bapaknya itu siapa?"

"Kamu tau kan Dan kalau saya percaya banget sama kamu? Dan kamu juga tau kan kalau cuman kamu yang bisa saya percaya soal ini?"

"Iya mba, saya tau... dan mba juga gausah khawatir, rahasia mba tu aman sama saya" bales Zidan yang membuatku terkekeh. Lucu saja rasanya melihat reaksi dia setiap kali aku hendak menceritakan sesuatu kepadanya.

"Iya, kamu kan tau kondisi keluarga saya itu kaya gimana... yang barusan dateng temuin saya dan nitipin bunga itu ke kamu adalah... calon suam-"

"HAH?!" Satu kata yang lolos keluar dari mulutnya Zidan berhasil membuatku terperanjat karena volume suaranya yang sangat tinggi. Tidak ada aba-aba terlebih dahulu, dia langsung saja berteriak seperti itu.

"Gausah teriak bisa?" Ucapku sambil memberikan tatapan tajam untuk Zidan, sementara dia sendiri malah menunjukkan cengirannya kepadaku.

"Hehe, maaf mba. Kelepasan"

"Ya pokoknya orang itu tiba-tiba aja datengin saya, terus ya dia sok akrab gitu. Saya tanya dia, dan dijawab kalau dia calon suami ibu saya.."

"Datengnya sendirian mba? Atau ibu mba juga ada?"

"Yakali Dan, ibu saya dimana aja saya gatau"

"Ya siapa tau aja gitukan.. ibunya mba tiba-tiba pengen ketemu sama mba"

"Udah lah Dan.. gausah dibahas lagi. Saya gamau nambah-nambah beban pikiran lagi"

"Saya juga kaya biasanya aja sih mba, saya gabisa kasih saran apapun sama mba.. saya cuman bisa bilang semangat aja buat mba, dan lupain aja kaya biasanya. Toh juga ini bukan pertama kalinya kan mba.." mendengar ucapan Zidan barusan aku hanya mengangguk-nganggukkan kepala, menyetujui ucapannya.

"Tapi mba..."

"Hm? Kenapa?"

"Eum.. ini sih saya gaada maksud mau ngebahas lagi yang udah-udah.. tapi mba, saya cuman mau ngingetin mba aja"

"Ngingetin apaan?" Tanyaku diikuti kerutan di dahi.

"Itu lo mba.. yang pernah mba ceritain sama saya, insiden dirumah itu lo mba"

Seketika aku langsung terdiam mendengarnya. Memori akan kejadian yang Zidan maksud kembali terulang.

"Mba.. mba gapapakan?" Aku hanya menatap Zidan dengan tatapan yang gelisah. Sadar akan hal itu, Zidan langsung saja beranjak dari kursi untuk menghampiriku. Dia memposisikan dirinya untuk berjongkok di hadapanku seraya meraih kedua tanganku untuk dia genggam.

"Mba.. gausah khawatir, maafin saya ya mba.. mba lupain aja ya. Pokoknya mba sebisa mungkin langsung hindarin orang itu, kalau bapak-bapak itu dateng lagi, jangan sampe mba temuin. Nanti saya kasih tau juga anak-anak yang lain ya mba"