Chereads / It's A Secret Mission / Chapter 21 - Twenty One

Chapter 21 - Twenty One

Aku menatap kepergian mobil milik Arya yang mulai menjauh meninggalkan cafe. Aku gatau ada apa sama dia, karena perubahan dari moodnya itu sangat drastis.

Sedaritadi aku memang terus berpikir, apakah aku ada salah-salah kata saat tadi berbicara. Aku memang baru bertemu dengan dia beberapa kali. Belum bisa dikatakan teman juga, tapi rasa khawatir itu ada. Tapi, kalaupun aku emang khawatir, rasa itu cukup aku pendam saja sendirian. Karena aku masih tau apa itu artinya privasi.

"Mba Val?" Aku sontak menolehkan kepala, kemudian tersenyum saat melihat keberadaan Zidan.

"Abis dari mana kamu?"

"Apotek, stock betadine sama perban udah mulai abis. Mba sendiri ngapain disitu? Berdiri sambil bengong kaya orang stres"

"Sembarangan kamu! Emangnya gaboleh saya berdiri disini?"

"Ya.. ga juga, cuman ya takut aja mba. Kalo ada yang iseng gimana?"

"Saya tendang aja orangnya" jawabku yang sebenarnya tidak lucu tapi suara tawa keluar dari kita berdua.

"Mas Andrea keadaannya gimana mba?" Tanya Zidan.

"Lebay doang diamah, cuman flu doang pake segala minta dianterin bubur."

"Jadi mas Andrea baik-baik aja?"

"Ya dibilang baik juga engga, cuman keadaannya ga separah itu. Gasampe yang harus bed rest banget engga" Zidan hanya menganggukkan kepalanya mengerti.

"Yaudah, yu masuk. Di dalem lagi rame ya?"

"Lumayan mba"

--

Aku sengaja menutup cafe lebih cepet karena aku mau ngajak anak-anak ayam kesayanganku ini makan malem. Aku sendiri sudah memesan tempat untuk kita bertujuh di salah satu restoran yang tidak terlalu jauh dari cafe.

Reaksi mereka tentu sangat senang bukan main, karena ini bisa dibilang traktiran pertama kalinya aku mentraktir mereka. Jahat sekali bukan diriku ini? Mereka sudah bekerja keras untukku tapi aku tidak pernah memberikan imbalan untuk mereka selain gaji.

Dan di sinilah kita semua berada, duduk dengan manis lalu dihadapan kita semua sudah berjejer banyak makanan yang siap untuk disantap. Senyuman di wajahku pun tak luntur-luntur sejak tadi, melihat mereka semua ngobrol, bercanda satu sama lainnya, tertawa bahagia, itu semua membuat perasaanku menghangat. Seperti keluarga.

"Mba, ga makan? Ini enak-enak loh makanannya" saut Lusi sambil menyenggol lenganku pelan.

"Kalian dulu aja yang makan.. saya gampang, lagian saya ngeliat kalian makannya lahap gini jadi ikutan kenyang ko" jawabku yang langsung dibales dengan tatapan kagum dan terharu dari mereka semua, terutama Ayu yang kelakuannya itu udah kaya anak hyperaktif.

"Aaa~ mba Val suka gitu deh! Kitakan jadi terharu mba ya ampun" ucap Ayu dengan nada bicaranya seperti anak kecil. Mendengar itu aku langsung tertawa geli karena tingkahnya, Ayu ini terlalu random untuk orang seperti aku yang mencintai kenormalan.

"Lo apaan banget si Yu, lucu juga engga" celetuk Kevin yang langsung dibales dengan tatapan tajam oleh Ayu. "Sirik aja lo!"

"Udah hey.. gausah ribut. Pamali tauga berantem di depan makanan" lerai Rayno seraya ngambil satu potong daging yang kemudian dia suapkan ke dalam mulutnya.

"Yaudah sekarang pada makan aja.. abisin, kalo mau nambah bilang aja"

"Bungkus boleh mba?" Celetuk Rani.

"Boleh.. mau bungkus apa emangnya?"

"Pengen udang ini lagi mba.. enak soalnya hehe"

"Yaudah nanti pesen lagi buat dibungkus ya" balesku sambil tersenyum lembut kepada Rani.

--

"Wah... mba makasih banyak ya traktirannya. Ini juga makasih lo udah baik banget mau bungkusin juga" saut Rayno dengan girang.

"Sama-sama.. besok kalian puas-puasin istirahat ya. Kita libur aja dulu besok" sontak mereka semua langsung kegirangan karena aku kasih libur dadakan. Udah waktunya memang aku kasih banyak reward untuk mereka semua.

Setelahnya kita semua berpamitan untuk pulang. Tetapi aku berniat untuk kembali ke cafe karena masih ada beberapa hal yang harus aku kerjakan. Sendirian di dalam cafe sampai larut malam memang sudah menjadi hal yang biasa untukku ngomong-ngomong.

Aku memilih untuk berjalan kaki menuju cafe, karena jarak yang cukup dekat jadi sayang kalau harus naik taksi.

Ketika jarak menuju cafe hanya tinggal beberapa meter saja, langkah kakiku seketika langsung berhenti saat melihat ada seoranv laki-laki yang tengah berdiri sambil menatap cafe.

Dengan seksama aku perhatikan siapa orang itu walaupun jaraknya cukup jauh, tapi terbantu karena lampu dari cafe-ku yang memang sengaja dinyalakan biar tidak terlalu gelap.

Karena tidak terpikirkan olehku siapa orangnya, dengan penuh keberanian aku mendekati orang tersebut.

"Permisi, bapak cari siap- om Farhan?!"

--

Aku menghidangkan secangkir kopi untuk om Farhan, kemudian aku mengambil posisi untuk duduk di sebrang beliau.

"Terima kasih ya Valerie"

"Sama-sama om.."

Banyak sekali pertanyaan dalam benakku saat ini, melihat keadaan om Farhan sekarang cukup membuatku sangat terkejut. Tapi semua pertanyaan itu sengaja aku simpan terlebih dahulu, karena untuk saat ini ada satu pertanyaan yang lebih penting untuk aku tanyakan terlebih dahulu.

"Om udah makan?" Tanyaku.

"Belum. Uang om keburu abis sama buat ongkos ke sini"

"Om mau makan apa? Biar Valerie bikinin"

"Apa aja Val.."

"Tunggu sebentar ya"

Sampai dapur aku segera memasak untuk om Farhan, aku sengaja membuat dua hidangan karena aku bisa sedih banget ngeliat om Farhan yang udah kaya orang kelaparan. Jadi aku putuskan untuk membuat nasi goreng dan juga ayam bakar.

Setelah beberapa menit aku habiskan waktu di dapur, aku kembali menghampiri om Farhan kemudian menghidangkan makanannya.

"Ini banyak banget Valerie.."

"Gapapa, om makan aja.. abisin ya om" Om Farhan hanya menganggukkan kepalanya, kemudian dia langsung makan dengan sangat lahap. Seperti ucapanku barusan kalau om Farhan kaya orang kelaparan, seperti orang yang sudah tidak makan selama berhari-hari.

"Om.. ada apa sama om?" Tanyaku. Aku sudah tidak tahan untuk bertanya sedari tadi, dan pertanyaanku barusan membuat om Farhan langsung terdiam. Beliau hanya menatapku dengan tatapan sendu, tak lama setelahnya beliau menangis.

"Valerie... om... om minta maaf" ucap beliau. Aku memilih beranjak untuk mengambil tissue, aku mengambil beberapa lembar yang kemudian aku kasih ke om Farhan.

"Om kenapa? Ada apa? Cerita sama Valerie, om kena masalah apa?" Tanyaku dengan hati-hati. Aku tidak tega sebenarnya harus membiarkan om Farhan berbicara saat dirinya tengah menangis seperti ini, tapi maaf om... aku terlalu penasaran.

"Om... bangkrut Val" aku cukup terkejut mendengarnya. Karena aku tau kalau om Farhan kehidupannya serba berkecukupan walaupun memang tidak sekaya itu. Om Farhan juga dalam menjalankan usahanya bisa memanage dengan sangat baik, apalagi dalam mengelola keuangan. Ini memang bukan sekali dua kali om Farhan bangkrut akibat dari usahanya, tapi om Farhan selalu bisa bangkit. Tapi untuk kali ini, om Farhan terlihat sangat terpuruk. Aku yakin kalau bangkrut yang dimaksud om Farhan bukan menjurus ke usahanya.

"Maksud om bangkrut tu gimana?"

"Ibumu Val.. ibumu yang bikin om bangkrut"