Chereads / Swords Of Resistance: Endless War [Indonesia] / Chapter 22 - Bab 22, Ayah dan Anak Pertama

Chapter 22 - Bab 22, Ayah dan Anak Pertama

"Jika waktunya telah tiba kita akan bersama lagi," kata seorang lelaki bermata biru cerah dan berambut pirang sambil memeluk seorang perempuan keturunan Perancis bermata coklat dan berambut pendek berwarna pirang.

"Aku akan selalu bersabar menunggumu, Leo," kata perempuan Perancis itu dengan air mata yang berlinang.

Itu adalah hari paling menyedihkan bagi Kapten Frederick Joseph Ludwig Sigismund Leopold Wilhelm von Oranien-Nassau dan seorang perempuan Huguenot bernama Franceque Claude Elizabeth Malherbe.

[Huguenot, sebutan untuk orang Perancis yang memeluk Agama Kristen Protestan.]

Lelaki bermata biru itu berteriak dengan keras akan kenangan buruk dua puluh tahun yang lalu yang kembali menghantuinya dan membuatnya tersadar dari alam mimpinya.

"Kau terlihat gelisah," kata seorang perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah istri sekaligus cinta pertamanya, Franceque Claude Elizabeth Malherbe. Elizabeth membelai lembut kepala Suaminya yang tengah bersandar pada pangkuannya.

"Mimpi itu kembali menghantuiku," balas Kanselir Leopold akan kenangan buruknya, di mana dia harus berpisah dengan Perempuan yang dia cintai. "Di mana aku?" tanya Leopold yang bangkit dari tidurnya.

"Ini di gedung Bundeskanzleramt," balas Elizabeth dengan senyuman manisnya. "Aku merasakan bahwa kau tengah mengalami hal buruk. Jadi, aku buru-buru ke sini sendirian."

[Bundeskanzleramt, gedung di mana Kanselir atau Perdana Menteri di Jerman bertugas.]

"Hanya kejadian di masa lampau yang terulang kembali. Hanya itu yang akhir-akhir ini terus menghantui diriku."

Perempuan itu segera memeluk suaminya, "Kumohon lupakanlah itu. Jika kau masih mengingat rasa sakit itu, aku pun juga turut merasakannya," gumam Elizabeth dengan berlinang air mata.

Ucapan dari istrinya telah membuat Leopold sedikit tenang dan orang nomor dua di Prussia itu tersenyum bahagia.

Pintu ruangannya ditendang dengan keras hingga rusak oleh seorang anak perempuan berambut panjang lurus berwarna pirang dengan mata biru yang indah.

Sepasang suami-istri itu kaget akan kelakuan anak pertamanya, Charla yang selalu menendang pintu ruangan pribadi Kanselir hingga rusak parah.

"Charla, ini sudah ke tiga puluh kalinya kau merusak pintu ruangan pribadi Kanselir!" kata ibunya dengan nada marah.

"Aku ke sini karena aku mendengar teriakan ayah, maksudku Kanselir berteriak. Aku khawatir terjadi hal yang buruk dengannya," ujar perempuan berbadan tinggi langsing dengan dadanya yang rata.

"Tak perlu khawatir, lagian aku sudah sering mengalami hal ini. Selain itu, tak perlu memanggilku dengan sebutan Kanselir saat ini. Bagaimanapun juga aku ini ayahmu," kata Leopold berusaha untuk menenangkan suasana.

"Baiklah, ayah," balas Charla dengan wajahnya yang memerah. Secara fisik Charla dan Charlemagne hampir mirip dengan Kanselir Leopold, hanya saja untuk emosional Charla sifatnya gampang meledak seperti ibunya, Elizabeth, tidak seperti dengan adik lima menitnya, Charlemagne yang memiliki pembawaan yang tenang seperti Kanselir Leopold.

"Aku pergi dulu, yah, jangan lupa perbaiki pintu yang telah kau rusak," kata Elizabeth meninggalkan anak perempuannya dan suaminya.

"Baiklah, nanti aku akan pulang dengan ayah," balas Charla.

Suasana terasa begitu canggung antara anak dan ayah setelah Elizabeth pergi meninggalkan mereka. Charla menghampiri pintu yang telah dia rusak dan memperbaikinya dengan kemampuan sihir yang dia miliki.

Mereka berdua lalu duduk berhadap-hadapan sehinnga suasana menjadi semakin canggung.

"Charla," kata Kanselir Leopold mengawalinya. Perempuan itu menatap ayahnya. "Aku bingung kita harus berbicara tentang apa?" Sang Kanselir terlihat bingung akan pembicaraan yang akan dia bahas dengan anak perempuan pertamanya.

"Tidak sepertinya kau terlihat bingung," balas Charla dengan nada sedikit kesal.

"Entahlah, akhir-akhir ini kenangan buruk itu selalui menghantuiku."

"Yah dan anak-anakmu adalah bagian dari kenangan burukmu di masa lalu," balas Charla dengan nada sinis dan tatapan mata yang tajam.

"Tidak bukan begitu," jawab Leopold sedikit bingung.

"Jujur saja, meskipun baru satu tahun kita hidup sebagai keluarga. Namun, ini pertama kalinya melihatmu terlihat bingung. Padahal seharusnya kau melupakan kenangan itu. ayah adalah Kepala Pemerintahan. Orang nomor dua di Prussia dan tangan kanan dari Stadtholder Nikolaus. Bukankah ayah pernah berkata, 'Jangan ragu dan bingung dalam bertindak dan mengambil keputusan!"

"Ah, yah, kau benar. Maafkan aku jika membuat dirimu dan ibumu-"

"Juga Charlemagne dan Athena, " sahut Charla dengan ekspresi wajahnya yang terlihat kesal.

"Yah, maksudku begitu."

Charla menghela nafasnya, dan menatap ke atas di mana langit-langit bercorak batik mega mendung khas Cirebon berwarna terang menghiasi ruangan pribadi ayahnya.

"Kau tahu ayah, sejak kecil aku ingin sekali merasakan kehadiranmu. Tidak bukan hanya aku saja, melainkan ibu, dan juga Charlemagne. Yah, kurasa bagus juga hari ini aku memiliki kesempatan untuk menghabiskan waktu berduaan denganmu," ujar Charla dengan nada yang halus.

"Syukurlah, kalau begitu. Perkataanmu benar-benar menenangkanku. Melihat dirimu seperti melihat diriku dalam wujud perempuan. Hanya saja kau seperti ibumu yang mudah terbakar amarah," kata Kanselir Leopold terkekeh.

"Kalau aku memang mudah terbakar amarah, seharusnya saat ini aku bisa menghajarmu seperti waktu itu," kata Charla melirik ayahnya.

Leopold tertawa garing mendengar perkataan yang keluar dari mulut anak perempuan pertamanya, "Jawaban yang bijak."

Charla terlihat sangat cemberut dan dia membuang mukanya.

"Aku merasa senang bisa berbicara dan juga menghabiskan waktu denganmu secara empat mata," ungkap Leopold dengan senyuman yang terhias di wajahnya. "Jika ada waktu santai, aku juga ingin menghabiskan waktu santai dengan Charlemagne."

"Melihat potret dirimu waktu masih muda dengan Charlemagne ibarat seperti melihat Apel dibelah menjadi dua. Hanya saja kau memiliki bekas luka gores di bawah mata kirimu," kata Charla.

"Wajar saja, kalian berdua, dan juga Athena adalah anakku. Selain itu luka gores ini bekas perang di Afrika," ungkap Leopold.

"Padahal Ayah itu Komandan Tank, tapi bisa terluka di wajah," kata Charla tak percaya.

"Yah, segala sesuatu terjadi dengan tidak terduga. Yang penting Aku selamat, menikah dengan Ibumu di Limburg, Belanda, dan bisa hidup bersama sekarang bersama dengan istri, dan ketiga anakku. Bagiku itu sudah cukup."

"Jadi sebelumnya kalian pernah menikah di Belanda. Aku kira kau menghamili ibu. Jika kalian menikah di Limburg pasti ada saksinya."

"Nikolaus, Juliana Victoria, Adelheid, dan Suaminya (Karl Ludwig), Raja Willem Nicolaas dari Belanda, Raja Balduin Albrecht dari Belgia dan Adikku (Frederick Edward)," jawab Leopold. "Meskipun itu pernikahan yang sederhana dan hanya dihadiri oleh beberapa orang. Namun itu adalah pernikahan yang sangat berkesan bagi kami. Walau sebenarnya aku iri dengan pernikahan Nikolaus dan Juliana Victoria yang sangat meriah juga mewah." Perlahan air mata mengalir dari wajah tegas sang Kanselir. "Kami sempat hidup sebagai Petani di sebuah pedesaan di Limburg hingga Elizabeth hamil. Setelah itu aku meninggalkannya dan memenuhi panggilan Ayahku. Itu adalah keputusan yang paling menyakitkan yang harus aku ambil. Aku ingin sekali hidup bersama Elizabeth dan kalian bertiga, hanya saja saat itu situasi sedang panas. Ayahku mengancam akan membunuh Elizabeth, sedangkan Nikolaus mengancam akan membunuhku. Akhirnya aku terpaksa meninggalkan Elizabeth dan membuat kalian harus hidup tanpa kasih sayang seorang Ayah." Leopold memegang pundak anak perempuannya dengan wajah yang berlinang air mata, "Maafkan aku, Elizabeth, Charla, Charlemagne, Simone, dan Athena. Aku adalah Lelaki yang buruk."

Charla mengambil sapu tangannya dan mengelap air mata yang membasahi wajah Ayahnya. Dia berusaha tetap tegar meskipun jauh di lubuk hatinya dia merasakan betapa sakit dan pedihnya perasaan Ayahnya.

"Kau tahu, Ayah. Aku sejak kecil ingin sekali merasakan kasih sayang dan belaian lembut seorang ayah. Bagiku, perempuan itu sudah seperti ayahku. Dia selalu bercerita sebelum kami tidur tentang seorang Pangeran Nassau yang melindungi seorang perempuan Huguenot dari teror kelompok radikal Gereja Katolik. Aku selalu penasaran akan sosok Pangeran Nassau tersebut, dan kini aku sadar bahwa Pangeran Nassau dan perempuan Huguenot itu adalah kalian berdua." Perlahan air mata mengalir dari sepasang mata birunya, walaupun Charla sudah berusaha untuk tetap tegar.

"Namun Pangeran Nassau itu ada dua," balas Leopold dengan wajahnya yang tengah tersenyum gembira.

"Siapa Pangeran Nassau yang satunya?" tanya Charla penasaran dengan nada bicara yang terisak.

"Dia adalah Alexander Friedrich Wilhelm Viktor Nikolaus Romanovich von Hohenzollern," jawab Leopold.

"Hah, Stadtholder Nikolaus," kata Charla sedikit kaget.

"Dia adalah adik sepupuku, sahabat dan anggota dari klan Hohenzollern yang sangat dekat secara emosional denganku. Tanpa dia, aku tak akan pernah bertemu dengan cinta sejatiku dan tanpa dia juga aku tak akan pernah memiliki anak-anak yang hebat seperti kalian bertiga. Tanpa Stadtholder Nikolaus yang merupakan sahabat ibumu dan diriku. Mungkin kita tidak akan pernah bertemu. Elizabeth adalah perempuan pilihanku dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa untukku."

"Yah, aku baru ingat. Ibu pernah bercerita kepada kami bahwa ada seorang Pangeran Nassau yang lainnya yang mempertemukan anak Adam dan anak Eva sehingga mereka terikat dalam ikatan cinta dan aku baru sadar bahwa dia adalah Stadtholder Nikolaus." Charla secara tiba-tiba menatap Ayahnya dengan tatapan tajam. "Kalimat terakhir yang kau ucapkan itu benar-benar terlalu percaya diri."

"Yah, karena aku adalah tulang punggung dan dia adalah tulang rusukku."

"Aku kira pengagum Otto van Bismarck, Napoleon Bonaparte, dan Frederick The Great tidak sanggup melontarkan berbagai macam kalimat romantis," sindir Charla. "Kau memang ayah terbaik dan terhebat menurutku," puji Charla yang memeluk dengan erat tubuh ayahnya. "Maafkan aku yang saat itu menendang tangan kirimu hingga kau menderita patah tulang. Saat itu aku hanya ingin mendapatkan perhatian darimu."

"Aku tahu dan paham, anakku." Kanselir Leopold memeluk Charla dan membelai lembut rambutnya. "Kau sangat dewasa dan pengertian, Charla, meskipun terkadang bersifat keanak-anakan."