Mentari sangat terik pagi ini. Hikam duduk sambil menghentakkan kakinya tidak sabar menanti makanan yang dibuatkan Ayahnya. Tidak lama Zaki datang.
"Ayah kenapa diam?" tanya Hikam turun dari kursi mendekati Ayahnya yang tiba-tiba mematung. Hikam menurunkan tangan Ayahnya.
"Gosong, tidak papa, aku malah suka Ayah," ujar Anak ini merebut piring itu dari Ayahnya.
"Maafkan Ayah yang tidak becus," ucap Zaki, Hikam menarik sehelai baju dari Ayahnya. "Ikam mau apa?" Zaki duduk dengan lutut setengah tubuhnya berdiri.
"Ayah ... aku sayang Ayah," ucapan Hikam lalu mengecup Ayahnya dan segera ke meja makan untuk makan.
'Ya Allah putra kecil adalah amanah dariMu. Namun aku belum bisa membahagiakannya. Makan telur dadar mie setiap hari yang dia makan. Untung juga ada Laras yang kadang membuatkan makanan enak untuknya. Heh ... maafkan Ayah, Hikam ... untuk membelikanmu mobil-mobilan saja Ayah tidak punya uang,' batin Zaki lalu menghela napas.
"Ayah sudah selesai aku mandi dulu ya. Nanti ... Bi Laras yang akan menjemputku sekolah. Seneng ... hore," sorak Hikam sangat gembira karna nanti dia akan bertemu ibunya dengan diam-diam. Hikam pergi ke kamar mandi. Zaki menyiapkan seragam dan buku sekolahnya.
Dia membuka lemari teringat senyum Naina saat bermain menggodanya. Bayangan Naina berdiri dihadapannya mengumbar senyum manis lalu merebut popok Hikam. Zaki mengendalikan perasaan rindunya. Dia mengepalkan tangan dan marah. Namun semakin membenci bayangan Naina selalu hadir. Berlari pelan bersama saat perut Naina buncit dipagi hari.
"Aku benci ...." teriaknya sangat keras sambil menekan kepalanya.
"Mas Zaki ...." panggil suara yang tidak lagi asing. Jelas saja itu Amel yang langsung masuk ke kamar saat tau Zaki berada di kamar. Seperti biasa dia berpakaian mini. "Mas kenapa berteriak, dari pada kesal, ayo ...." wanita genit ini mencondongkan dua buah dadanya.
"Ah ...." Zaki menyingkirkan tangan Amel dari pipinya, Zaki menghindar dan sibuk dengan menyiapkan pakaiannya untuk nyupir nanti. Amel berbaring diranjang memberi kode sudah siap.
"Jangan seperti itu," tegur Zaki terus menghindar.
"Kenapa Mas, tidak mau melakukannya? Apa Mas tidak serius," tanya Amel berdiri meraih tangan Zaki dengan wajah memelas.
"Ya serius, tapi dalam agama kita tidak boleh melakukan itu, sebelum kita menikah," jelas Zaki melangkah pergi namun Amel mendekapnya.
"Mas ... tidak papa melakukannya sekarang, lagian kita juga akan menikah, ayolah ... Mas, mas," tangan wanita itu menjarah dan masuk kedalam baju milik Zaki.
'Jika aku melakukannya mungkin aku segera bisa melupakan Naina, heh ... Amel memang sangat menggoda dia tidak punya rasa malu untuk terus menggodaku,' batin Zaki hendak melampiaskan kemarahannya, dengan melakukan hubungan cinta terlarang dengan Amel. Zaki menghadap ke Amel, Amel menyosor dan menjilat lehernya. Tangan Amel membelai lembut perut sispek itu. Sudah tidak sabar Amel hendak membuka bajunya.
"Ayah ... handukku," panggil Hikam dari kamar mandi.
"O ... iya," teriaknya bergegas, namun kucing betina itu menahan tangan Zaki dan diletakkan didua gunung kembarnya. "Jangan! Ada Hikam," tegur Zaki segera pergi.
Amel sangat marah dia menghentakkan kaki beberapa kali karna marah. Dia pergi dari rumah Zaki. Dan berpas-pasan dengan Laras yang sudah sampai di pintu.
"Hehehe, kenapa wanita liar itu cemberut, apa Bang Zaki menolaknya? Ih ... hehe jadi kepo," gumam Laras lalu melihat makanan gosong di meja.
"Mas ... ini aku masakin sayur bening sama sambal teri," ujar Laras sedikit keras, Zaki keluar dari kamar mandi.
"Makasih," ucap Zaki membantu putranya memakai baju.
"Kenapa si perkokok cemberut?" tanya Laras yang merujuk ke Amel. "Awas ya Bang, kalau sampai aku tau abang melakukannya di rumah ini. Aku akan nekat," jelas Laras. "Hikam makan saturan dulu, nih pakai celemek makan yang bersih. Tante masih ada hal penting sama Ayahmu, oke," pinta Laras segera menggeret Abangnya ke kamar. Laras menutup pintu Zaki terlihat malas.
"Ada apa sih Ras. Pikirin dirimu sendiri, kalau kamu seperti Amel pasti ada pria yang suka," jelas Zaki Laras menginjak kaki Abangnya.
"A ... kamu gila Ras," Zaki duduk kesakitan.
"Aku tidak murahan seperti Amel. Ingat Bang, kalian belum bercerai walau sudah tiga tahun tidak serumah. Aku tau kamu hanya melampiaskan kemarahanmu dengan mendekati Amel. Karna kamu masih sangat cinta dengan Mbak Naina. Tapi ... kalau kamu berani berzina aku akan membawa Hikamke Mbak Naina. Ingat! Lagian wanita itu bukan permainan Bang. Amel bodoh sih. Tapi ... dia kan memang genit kalau aku mah malu dan punya iman yaAllah nau'dubillah ... jangan sampai kamu menjual diri agar laku," jelas Laras sangat kesal.
"Sudah bicaranya? Kalau sudah aku pergi," ucap Zaki berdiri, Laras menarik tangannya.
"Aku mohon sama Abang, cintai Hikam dengan tulus, mengerti apa maunya,"
"Aku sudah mencintainya kurang apa? Kalau untuk membeli mainan aku belum bisa, penumpang sepi," jelas Zaki terlihat sedih Laras tidak tege melohat Abangnya.
"Bang ... Asal Abang tidak dekat dengan si kokok petok itu, aku bisa membelikan mainan atau apapun karna aku sayang. Tapi ... Hikam itu butuh Ibunya, Mbak Naina," ucap Laras menatap mata yang penuh bara api, Zaki mengepalkan tangan.
Pleak
Zaki menampar adiknya, Laras terkejut. "Kamu jangan lancang. Dia darah dagingku, anakku. Kalau kamu menyebut nama dia lagi, aku tidak akan mengijinkanmu bertemu dengan Hikam," jelas Zaki membuka pintu lalu pergi dengan Hikam.
Hikam meihat ke arah tantenya.
"Aduh ... Laras, aku harus baik-baikin Bang Zaki, agar hari ini Hikam bisa bertemu. Laras mengalah dinginkan dulu pikiranmu. Lalu minta maaf ke manusia berjiwa batu itu," gumam Laras merasakan sakit di pinggir bibirnya.
Sedang Hikam dan Zaki menuju sekolahan. Hikam tidak berani berbicara karna melihat kemarahan dari sang Ayah.
'Ayah sangat marah, apa hari ini aku bertemu Ibu? Atau tidak jadi? Ibu ....' dia menangis tapi segera dihapus air mata yang jatuh kepipinya.
"Sayang kamu menangis?" tanya Zaki, menoleh lalu menaikan dagu putranya.
"Aku takut kalau Ayah marah, apa tadi Ayah memukul Tante?" tanya Hikam memandang Ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Ayah dan Tante hanya mainan, lihat jempol kaki Ayah diinjak,"
"Tapi ... kata Bu guru kalau Anak laki-laki harus menjaga adik perempuan, ibu, kakak perempuan. Aku ingin Ayah minta maaf ke Tante Laras. Aku ingin mendengarnya secara langsung," ujar Hikam mengambil ponsel dari saku Zaki lalu menelpon nomernya Laras.
"Halo," jawab Laras.
"Tante Ayah mau minta maaf," ujar Hikam lalu memberikan ke Ayahnya. Demi sang Anak Zaki tidak keberatan.
"Ras ... aku minta maaf,"
"Aku juga Bang. Aku sudah berangkat kerja, nanti pulangnya Hikam aku jemput," jelas Laras menutup telpon. Hikam tersenyum senang, Zaki bahagia melihat senyuman itu.