"Benci tidak, tapi rasanya trauma untuk memaafkan. Kami menglandang berbulan-bulan. Hidup kotor dan kumuh, sering kelaparan saat di lampu merah aku mengemis dan ternyata di dalam mobil itu Ayahku dan istri barunya. Sangat kejam dunia ini kalau mengingat itu. Minta maaf pun tidak. Sampai sekarang pun begitu. Banyak cerita pernikahan yang gagal dan membuat aku takut untuk maju. Ada sih yang langgeng seperti Bang Rizal sama Mbak Ratih tapi juga sering ceksok masalah uang. Ada pula yang saling bertengkar karna manjain Anak."
"Hahaha, kamu menyindirku Ras?" tanya Jami' Laras tertawa.
"Hehehe tidak bermaksud," ujar Laras, "O ... berarti Bang Jami mengalaminya kan?"
"Iya Ras, tapi aib kan tidak bisa diumbar walaupun rahasia umum. Hahaha," jawab Jami' lalu tertawa.
"Bang Jami' sendiri kenapa tidak bekerja di sana lagi dulu?" tanya Laras.
"Bagaimana Ras, melihat kamu, ibumu tidak tega akhirnya aku membawa kalian ke Desa terpencil. Tapi kata Pak Suji Ayahmu sekarang sedang setruk, lumpuh. Kamu tidak ingin kesana?" tanya Jami' Laras tertawa.
"Hehehe, ada-ada saja Bang Jami' ini, sudah jelas aku diterlantarkan. Lagian pasti ada anak yang lain juga kan? Bisa dinggek sama Oma aku kalau kesana," jelas Laras.
"Ras, Ayah kamu itu terpaksa, masa kamu tidak tau?"
"Sudahlah Bang ... jangan lagi membahas Ayahku itu. Kalau terpaksa setidaknya adalah sesal dan akan minta maaf. Nyatanya sampai detik ini tidak ada niatan Ayah untuk mencari kami. Lagian Bang Zaki sendiri juga sangat benci. Heh ... Bang Zaki sangat keras, kalaupun Ayah datang pasti Bang Zaki tidak akan mengampuni. Ibaratnya kami ini kaca pecah yang berserakan Bang. Tidak akan kembali utuh walau sudah diperbaiki," ujar Laras sambil menyandarkan kepalanya.
"Apa begini ya yang namanya karma. Ayah kamu tidak punya anak dengan istri keduanya, sakit lumpuh pula. Kalau sudah begitu kekayaan yang dipelihara tidak akan nyaman untuk hidup sendiri."
"O ... aku baru tau kalau Ayahku tidak punya anak dengan istrinya itu. Aduh ... kasihan ya ... terlalu dibutakan oleh yang tidak tulus sih. Tapi ... kadang aku berpikir dulu itu sebelum Ayah dan Ibu berpisah Bang Rizal pernah kecelakaan. Ayah bingung cari uang setelah dapat uang malah cerai. Aku sedikit ingat akan hal itu, bagaimana sih Bang?"
"Yaitu gara-garanya Ayahmu terpaksa meninggalkan Ibumu karna biaya Abangmu, Omamu itu sudah tua dan licik. Sudah ah Ras, jangan bahas lagi," ujar Jami' Laras terdiam.
"Apapun yang dikorbankan tidak seharusnya cinta yang dibuang. Melakukan apapun kalau sudah suami istri itu kan ada komitmennya. Heh ... biar saja berlalu, semoga Ayah bisa cepat sembuh. Oma juga dibuka hatinya." ujar Laras mengangkat tangan lalu mengusap wajah.
"Aamiin. Eh Bang sekarang kerja apa sih? Sudah bisa beli mobil ginian," ujar Laras memuji Jami.
"Syut ... aku bekerja di galerinya Mbak Naina. Ini mobil dia berikan kepadaku. Setiap hari biniku aku suruh merekam keseharian Hikam. Sebagai obat rindunya Naina. Katanya Mbak Naina kamu disuruh kerja di sana tidak mau ya,kenapa?" tanya Jami' pelan.
"Aku sudah kerja di cabang Swalayan milik Mbak Naina, tapi ini juga rahasia ya. Karena kalau Bang Zaki tau waduh hancur tuh rumah Ibuku," jelas Laras membuat Jami' mengangkat pundak menandakan merinding.
"Zaki itu kalau marah kok bisa ya sebegitunya. Eh tapi sama Amel bagaimana. Lagian Amel itu wanita tidak bener lo. Walau Zaki galak tapi dia itu punya hati yang tulus. Aku berharap Amel tidak jadi sama Zaki,"
"Orang lain saja tau, entahlah Bang Zaki, aku tidak mengurus terserahdis yang penting adalah Hikam. Bang Jami' banyak bicara juga ya," perkataan Laras membuat mereka tertawa.
"Ras ... Ras, aku itu sudah menganggap Ibumu ya bibiku. Kamu dan semuanya juga saudaraku. Walau sekarang aku jarang kumpul-kumpul tetaplah kita ini tetangga yang dekat," jelas Jami' sambil melihat pemuda yang terlelap di belakang.
"Eh Ras, kalau dia memberanikan diri untuk melamarmu apa kamu akan terima?" pertanyaan Jami' membuat Laras terkejut.
"Beh Abang ini. Aku tau diri," jawab Laras mengelak.
"Aku yakin dia itu tidak ingin hidup dengan wanita selain kamu. Lagian katamu mau memperbaiki diri, itu sudah keren Ras. Tidak pantas bagaimana Ras, sama-sama manusianya. Lagian kamu dan dia masih serasi kok. Wajah kamu itu baby face jadi ... malah terlihat tua Kamil. Dia itu sering tanya-tanya soal kamu," jelas Jami' Laras terdiam dan berpikir.
"Ah ... jangan membuat aku gr tidak perlu alay. Bilang saja kalau masih tanya-tanya soal aku. Jawab fokus kepada gadis yang akan kamu ajak ta'aruf," jelas Laras memungkiri perasaannya.
"Laras ... Laras, awas nanti menyesal," tegur Jami' Laras malah tertawa.
"Bang ... aku ini ya ... tidak mudah sedih
apa lagi hanya soal bagituan. Aku menanti saja pilihan Allah nantinya. Kalau misal Ustadz itu akan berjodoh denganku pasti akan ada jalannya kok, walaupun teepisah atau bagaimana, kalau jodoh ya tidak kemana. Namun kalau tidak jodoh ya harus mendoakan yang terbaik," jelas Laras.
"Kamu ini sangking dewasanya makanya terlalu takut pada diri sendiri, coba pikirkan, apa yang kamu cari, pemuda yang bagaimans. Sudah sampai sana turun masuk dan pikirkan kata-kataku tadi."
"Bang. Aku tau manusia tidak ada yang sempurna harapanku. Kalau ketemu pemuda ya jangan mengingatkan aku akan masalah-masalah broken home. Itu sih, ya sudah aku masuk. Terima kasih Bang," ujar Laras turun menutup pintu, dia melihat sorot lampu dari kamar Hikam.
Sedang malam ini sangat dingin Hikam mendekap tubuh yang lelah bekerja.
"Ayah capek ya aku pijit ya. Aku tidak busa tidur," ujar Hikam.
"Sayang ... tidur ya, besokkan sekolah," ujar Zaki dengan suara serak sambil menarik selimut. Hikam memandangi Ayahnya yang sudah terlelap.