Langit kelabu dan sangat petang padahal jam menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Anak dengan seragam TK berjalan di tempat taksi berkumpul. Setiap hari anak ini selalu berada ditempat yang sama karna menunggu Ayahnya yang seorang supir. Jika dalam waktu setengah jam Ayahnya belum datang ia pulang dengan berjalan kaki. Walau jauh sekitar 1300 M, dia sudah biasa melewati jalanan dengan langkah kecilnya.
"Ayo ... Ikam sini, naik," ajak seorang wanita yang sudah menggonceng anaknya.
"Iya Bi Asih," Anak itu ikut naik bersama wanita yang sudah dikenalnya.
"Hikam sudah makan belum?" tanya wanita yang kira-kira umur tiga puluh lima tahun.
"Sudah Bi Asih, Ayah membuatkan bekal," jawab Anak itu dengan wajah sedikit murung. "Bi ... Ibuku kenapa tidak pernah pulang sih, kata Ayah Ibu sudah bahagia, jadi aku disuruh suka sama tante Amel," ceplos polos Anak itu.
'Hikam, Bibi bingung mau jawab apa, kedua orang tuamu sama-sama egois, dan Ayahmu juga kasar sama Naina, Naina ... Anakmu merindukanmu.' batin Asih dengan mata berkaca-kaca.
"Ibu, keblablasen," tegur anaknya yang kira-kira kelas tiga SD.
"Ya Allah ... Maaf," karna melamun Asih melewatkan rumahnya. Dia memutar balik sepedah scoopynya. "Hikam, kalau Bibi antar Kak Dia, Hikam ikut Bibi ya, nanti Bibi belikan baju, sana sekarang turun ya, nanti kalau takut dirumah sendiri, kerumah Bibi," jelas Asih, Hikam mengangguk.
Langkah kecilnya turun dari motor lalu masuk kedalam rumah, rumah sederhana bercet hijau, dia membuka kunci pintu.
"Hikam ... Kamu pulang?" tanya wanita tua, Hikam melangkah kerumah sebelah.
"Nek Yah, alat pendengarnya di pakai," jelas Hikam memasangkan alat bantu itu, Nenek Yah, menangis entah apa yang membuat dia menangis.
"Nek," panggil Hikam duduk meratap melas dilantai. "Apa Ibu tidak sayang ya sama aku, teman-teman disekolah setiap hari diantar jemput Ibunya, dibawakan makanan. Aku sudah bahagia hidup sama Ayah, tapi kalau tau Ibu masih hidup aku juga ingin bertemu dengannya,"
"Hikam kamu ngomong apa?" tanya Nek Yah.
"Aku lapar ...." teriak jail Hikam karna jengkel, dia curhat panjang lebar Nek Yah tidak dengar karna usia dia mulai tuli.
"O ... Aku dengar Hikam, Nenek tidak budeg," teriaknya, Hikam pergi masuk rumah.
"Assalamualaikum ...." suara wanita mengetuk pintu.
"Wa'alaikummussalam Tante Laras," Hikam segera menggeret tangan Bibinya.
"Hikam kenapa napas kamu?" tanya Laras, "Kamu sakit lagi, kamu berkeringat dingin, Ya Allah ...."
"Aku menunggu Ayah, tapi palingan Ayah pulang terlambat Te ... Tante ...." panggil Hikam duduk disofa.
'Ya Allah kasihan Anak ini, dia sudah berpikir keras di usia umurnya, Mbak Naina, andai kamu tidak salah faham, Ya Allah.' Batin Laras ikut sesak, Anak itu duduk dan makan kue buatan tantenya, air matanya mengalir.
"Hikam kenapa menangis?" tanya Laras menaikkan Hikam dipangkuannya.
"Aku akan bekerja keras Te ... Agar kaya, agar Ibu kembali kepadaku, kata Ayah Ibu pergi karna merasa kekurangan dengan kehidupan disini," ucapan Hikam membuat hati Laras sakit, air matanya berlinang.
'Tega sekali kamu Mas Zaki, Mbak Naina menerimamu apa adanya, tapi karna kesalah fahaman yang dibuat Kakak ipar, semua jadi begini, Anak seusia Hikam seharusnya hidup layak bahagia seperti pada anak umumnya, malah terlonta-lonta, sedang aku juga akan pergi sebagai TKI, Ya Allah ... Andai ada keajaiban, agar Anak ini bahagia bersama Ibunya, aku yakin Mbak Naina disana tersiksa, diam-diam memperhatikan Hikam dari kejauhan,ya Allah ... Semua ini terlalu pahit, cobaan Anak diusia yang seharusnya penuh kasih sayang malah,'
"Te ...." panggil Hikam membuyarkan lamunan Laras.
"Iya Hikam, Hikam suatu saat nanti pasti Hikam akan tau, apa yang sebenarnya terjadi, Hikam tidak boleh benci sama Ibu Hikam ya ... Karna apa? Karna Ibu Hikam sudah mengandung Hikam dan melahirkan Hikam, jadi Hikam tidak boleh benci sama Ibu Hikam ya ... Hikam tau tidak artinya mengandung?" tanya Laras.
"Apa itu Te? Aku tidak tau, taunya teman-teman punya Ayah punya Ibu," tanya Hikam dengan polosnya.
"Kamu lihat Mbak Jijah seperti perut Mbak Jijah buncit besar, itu ada dedeknya, setelah sembilan bulan, dedek akan keluar menjadi bayi," belum selesai Laras.
"Bagaimana bisa ada bayi didalam perut?" Hikam menyhut dengan bertanya, Laras tertawa kecil.
"Cinta, ketika dewasa laki-laki dan wanita menikah lalu saling cinta, dan akan hadirlah Anak," jelas Laras mengimbangi pikiran dari Anak kecil didepannya.
"Kalau aku dibuat karna cinta kenapa aku ditinggalkan?" pertanyaan Hikam dengan nada sedih membuat Laras tidak tahan. Laras berdiam diri sejenak, Anak itu menatap melas berharap tantenya menjawab pertanyaannya.
"Sudah makan, sudah azan sana bersihkan diri pergi ke Musollah. Solat dan berdoa agar Ibu bisa kembali, bisa hidup bersama Hikam lagi,"
"Tante Adik Ayah, tapi Tante baik sama Ibu, apa Ibuku orang yang baik? Kata Bi Asih Ibu baik, tapi kenapa Ayah membenci?"
"Ya Allah ... Hikam, orang dewasa itu rumit, kamu pernah dengarkan tetangga kita yang disana, yang kemarin bertengkar itu lo ... Karna tidak mau mengalah ya jadinya seperti itu," jelas Laras.
"Kalau Ayah dan Ibu siapa yang tidak mau mengalah?" tanya polos dari Anak itu.
"Hikam, sangat sulit menjelaskan, karna usia Hikam, jadi ... Sekarang tante minta kamu, solat, berdoa, agar tante Amel dan Ayah tidak jadi menikah.
"Tante aku menemukan buku, tapi aku tidak bisa membacanya, Tante bacakan kapan-kapan nanti ya ... Janji dulu, aku akan whudlu kalau tante berjanji," pinta Hikam minta tos.
"Baiklah ... Tante setuju," plok, keduanya sepakat Hikam mengambil buku kusam bergambarkan daun kering disampulnya di laci, ia menyodorkan ke Laras.
"Tapi dikunci," keluh Hikam, Laras merimanya.
"Nanti gampang, kamu whudlu lalu solat ya," pinta Laras, Hikam dengan ceria lari kekamar mandi.
'Ya Allah inikan buku saat Mbak Naina SMA saat masih pacaran sama Mas Zaki, aku mulai penasaran, aku baca, nanti aku cuplikan saja ke Hikam, lagian inikan kisah masa pacaran. Masa Anak kecil di dongengkan kisah pacaran, mending aku bawa pulang dan aku baca,' batin Laras.