Sudah puas?
Ingin rasanya Lisa bertanya seperti itu pada suaminya, tapi dia urungkan, suaminya ke luar dari ruang ganti baju dengan wajah yang sumringah, setiap kali dia menjalankan kewajibannya sebagai suami dan istri, selalu saja bisa Lisa lihat rona di wajah itu, bahkan senyum Gio tak pudar sampai mereka duduk untuk makan bersama.
Seperti ini sejak mereka menikah meskipun Gio tak pernah mengatakan cinta kepadanya, setiap apa yang Gio lakukan selalu membuat Lisa menjadi wanita yang merasa dicintai oleh suaminya.
Gio begitu mengagungkan kedua orang tuanya, selalu ada saja yang Gio kirimkan ke sana sampai ibunya lupa kalau menantunya hanya Gio saja.
Yang seperti ini digugat cerai setelah satu bulan menikah? Kira-kira seperti apa mantan istrinya itu?
Belum pernah pertanyaan itu terlontar dari mulut Lisa, pernah dia memberanikan diri dan memupuk semangat juga rasa penasarannya.
Namun, Gio seperti orang yang bisa membaca isi hatinya saja, begitu bibirnya endak terbuka, Gio menciumnya berulang kali sampai Lisa lupa akan apa yang ingin dia ketahui. Entah, bagaimana bisa dua orang yang belum pernah menyatakan perasaan itu menikah dan bahkan sudah berbagi ranjang berulang kali, menikmati manisnya rumah tangga.
"Gi, sungguh mau makan lagi?" Lisa memastikan, memang ada yang mereka bungkus karena tidak habis di sana tadi. "Kamu katanya mau diet, jadi?"
"Kapan aku bilang begitu? Kamu lagi membicarakan siapa?"
"Eh, kamu dong, siapa lagi yang aku panggil Gi kalau bukan kamu. Kan, katanya kemarin kamu mau berhenti makan malam dijam ini, kok sekarang minta aku temenin makan, iya kan?" benang kusut kalau begini, dia seperti dijebak di lumpur hidup saja. "Salah ya? Ahahah, telingaku perlu dibawa ke THT ini sepertinya, astaga." ada ancaman dari tatapan suaminya tadi.
Sumpah, ini bukan soal pria lain, selalu saja dikira memikirkan pria lain, padahal tidak, yang Lisa bahas yang ucapan Gio sendiri, sayangnya karena sudah ketahuan lewat dari apa yang diucapkan sendiri, Gio tak mau terlihat malu, ini caranya memutar fakta agar Lisa yang bungkam.
Selepas makan, Lisa bereskan piring kotor di sana, dia sudah tahu suaminya masuk ke ruang kerja, hanya melirik ke belakang sebentar tanpa mau mengatakan apapun pada Lisa.
Lampu ruang kerja yang menyala terang membuat Lisa tak bisa tinggal diam, dia lantas membuatkan minuman hangat sebelum akhirnya dia tinggal Gio untuk tidur, ingat besok kerja.
Tap, tap, tap.
Lisa masuk ke ruang kerja itu, ada nampan kecil di tangannya, duda ini, maksudnya suaminya ini kalau sudah menahan malu ada saja yang dia lakukan, entah apa dan tentunya membuat Lisa lelah dan sebal.
"Kamu masih kerja?" tanya sambil menyimpan secangkir jahe hangat di depan Gio, ada laptop yang menyala di sana. Gio mengangguk. "Aku tidur duluan boleh, Gi?" Gio mengangguk lagi.
Satu cara agar tak menjadi istri yang berdosa malam ini, Lisa berinisiarif mendekat dengan sebagian tubuh condong ke depan, sengaja berhenti tepat di depan wajah Gio.
Cup!
Gio terperanjak, pasalnya Lisa mengecup bibirnya mendadak, dua kali begitu baru Lisa temukan tarikan senyum tipis di sudut kiri bibir Gio.
Dia bisa tidur dengan damai malam ini.
***
Waktu itu,
Pernikahan Lisa dan Gio baru saja selesai, tanpa sengaja Lisa mendengar obrolan suaminya bersama sang ibu mertua yang terdengar sengit untuk ukuran ibu dan anak, padahal setahu Lisa, ide perjodohan ini juga dari ibunya.
Kenapa tidak akur?
"Aku tidak mau apa yang Eva lakukan waktu itu terjadi lagi, Ma!" tegas Gio mengatakannya, ia bahkan sampai menghentakkan satu kakinya yang masih bersepatu rapi itu.
"Tapi, masih ada keluarga yang mau mampir, Yo-" itu panggilan Gio di keluarganya. "Kalian harus temuin mereka dulu, besok kamu sama Lisa boleh pergi, Mama janji!" Mama Rita sampai mengangkat kedua jarinya tinggi.
Gio masih berat, dia ingin malam ini juga dia bawa Lisa ke luar dari rumah yang dia gambarkan bak neraka itu, semua memanas dan tak cocok dengan dirinya, baik itu keluarga atau kenangan yang ada.
Bruk!
Gio langsung berbalik, dia menjumpai Lisa yang tak sengaja menabrak pintu kamar karena tak fokus berjalan, dengan cepat mama Rita mundur, Gio langsung mengajak Lisa masuk ke kamarnya, kamar yang katanya sudah disulap menjadi kamar pengantin itu
Salah!
Sungguh kesalahan besar, tak ada kamar model seperti itu di sini, hanya ditata rapi tanpa hiasan yang melambangkan pengantin baru atau apa.
"Lepas bajumu!" titah Gio seenaknya.
Lisa sontak menyilangkan kedua tangannya ke depan dada, mau apa, begitu pikirnya. Kalau memang itu harus dia berikan, setidaknya Gio memintanya dengan baik.
"Kamu tidak dengar ya, Ica?"
"Dengar, Gi. Cuman di sini tidak ada baju gantiku, hanya-"
"Kamu bisa pakai kaosku, ganti sana!"
Iya, baiklah, Lisa ambil kaos yang Gio berikan, lalu bergegas masuk ke kamar ganti, saat dia berjalan melewati bayang depan Gio, bisa Lisa lihat dengan jelas dan yakin, Gio tersenyum di sana, berbeda dari apa yang dia lihat, benar-benar misterius.
Malam semakin merangkak, semua kamar yang ada di rumah ini sudah padam dan terbang ke alam mimpi, hanya satu kamar yang masih aktif, kamar Gio.
Tunggu, mereka belum melakukan hal itu.
"Lupakan yang kamu dengar tadi, Ica!" pintanya setelah beberapa jam hanya duduk diam bersandar di bahu ranjang.
Kenapa? Kenapa harus dilupakan? Aku saja belum bertanya tentang apa tadi, sial.
"Nama wanita itu juga, jangan sampai kamu mengatakannya di depanku, tidak, jangan katakan soal dia!"
"Eva maksudmu?"
"Hasshh, kamu ini!" sudah menatap tajam Lisa.
Nyali Lisa menciut, ini malam pertama, bukan ajang eksekusi tahanan.
"Kan, aku cuman memastikan saja, dia yang kamu maksud? Dia itu siapa?" mengganti nama Eva daripada semakin menyalang nanti.
"Masa lalu!" sumpah, Lisa melihat dengan mata kepalanya sendiri, wajah pias penuh kebencian itu tampak jelas di depan matanya, bahkan kedua tangan Gio meremat ujung selimut yang menutupi kaki keduanya.
"Ica."
Lisa, astaga!
Baru beberapa jam menikah, sudah amnesia nama istrinya, kembali ke panggilan yang menurut Lisa asing sekali.
"Ica!"
"Iya, Gi, iya, apa?" menoleh penuh.
Gio ikut menoleh hingga mata mereka bertemu, ia lantas menarik tengkuk Lisa, mendekatkan bibir mereka, satu kecupan, Lisa terkejut, hampir mendorong suaminya.
"Cium aku!" pintanya memerintah.
Hah!
"Gi, aku-aku belum pernah berciuman, bagaimana?" dia tersenyum sama lagi. "Maaf ya, mm ... kalau-"
"Sini, aku latih kamu ciuman!" menarik tengkuk Lisa lagi.
"Gi, mmm ...."
Hanya ciuman kaku antar keduanya di malam pertama ini, diam-diam Lisa menyimpulkan, bukan dia yang menganggap ini ciuman pertamanya, tapi Gio juga.
Setelah mencium cukup lama, Gio tersipu malu.