Lisa berjalan tepat di samping Gio, menggandeng tangannya dengan wajah yang cukup mengeras entah karena apa.
Bukan hanya Lisa yang kaget karena adanya kaki berpijak di rumah ini, tapi orang di rumah itu juga terkejut akan hadirnya Gio dan Lisa. Mama mertua sampai tersandung berulang kali saking tidak percayanya, melihat setelah sekian lama dan tanpa rayuan memabukan Gio datang ke rumah ini.
"Masuk, Lisa!" seru mama, mau memeluk menantunya, tapi cepat tangan Gio menarik Lisa ke balik punggungnya. "Ahahahah, kalian masuk sana ya, Mama mau belikan kamu tahu telor, tunggu di dalam saja, Lisa!"
"Ma, jangan rep-"
"Biarin repot, kita itu tamunya!" potong Gio.
Mama langsung memberi kode agar Lisa menuruti Gio untuk masuk saja, tak berbicara padanya disaat genting begini karena percuma. Dan benar saja apa yang Gio katakan tadi, mereka datang tanpa membawa apapun, tapi kedatangan mereka seperti keajaiban yang tak bisa para orang rumah itu remehkan.
Gio dan Lisa disambut dengan begitu meriahnya, bukan banyak suara terompet atau apa, melainkan meja makan yang penuh dan kamar yang dirapikan dengan kecepatan seribu tangan.
"Yo, makan ini, kesukaan kamu kan?" tawar mama.
Lisa sudah melahap tahu telor terenak di daerah ini, sedang Gio yang duduk di sampingnya hanya diam sambil mengamati seisi rumah.
"Aku tidak berminat," ujar Gio. "Ica."
Lisa menoleh, "Iya, Gi?" belepotan sudah bibirnya, makan ini dan itu, mama tidak dihiraukan sama sekali. Entah separah apa hubungan mereka di sini sampai sebegitunya mereka endak berbicara saja susah. "Gi, tidak apa-apa, kan aku belum selesai makan, nanti aku usap sendiri saja ya, kamu makan juga yuk!"
Ayo makan!
Gio masih menutup mulutnya, yang Lisa herankan adalah mama seolah tahu apa yang endak anaknya itu lakukan, wanita itu berjalan ke dapur seakan sibuk mau mengambil apa. Tahu-tahu kembali setelah bibir Gio puas merasakan bumbu yang tersisa di sekitar mulut Lisa.
Duda gila, bagaimana bisa menciumku di rumah mamanya!
Lisa mengumpat dalam hati, kalau bibirnya itu rasa buah atau apa tak masalah, ini bekas bumbu tahu telor, rasa kacang, dia saja mual, sedang Gio senyum-senyum, tampak lega dan senang merasai bibirnya yang rasa dan bau kacang itu, tidak ada mual sama sekali.
Ada perbincangan serius diantara keduanya, sungguh sangat berbeda saat Gio berbicara tadi dengan ibu Lisa dan yang ini, sekarang seperti ada sekat jelad diantara mereka, tidak mau menyatu sama sekali.
"Aku tidak tanya kabarnya, Ma!"
"Yo, kakakmu itu sudah mengaku salah dan mau memperbaiki hubungannya sama kamu, dia juga sudah tidak menjalin hubungan dengan Eva, dia sudah taubat, dia berubah menjadi sosok yang jauh lebih baik, Mama mohon sama kamu, Yo. Perbaiki hubungan kalian, apa kalian mau sampai Mama dan papa ini mati, kalian masih bertengkar, hah?"
Gio berdecak, "Ck, berubah yang seperti apa, Ma? Aku bisa cium arti pandangannya ke Ica, sekali aku maafin dia, dia bisa ambil Ica dari aku dengan cara yang keji. Apa Mama tidak merasakan sakit hati di sini-" menunjuk dadanya. "Baiklah, karena aku bukan anak kesayangan kalian, bahkan aku berdiri di usaha yang aku dirikan susah payah lalu kalian lebel dengan nama usaha kalian, padahal aku tidak butuh itu. Tapi, soal Ica, sudah cukup sakit hati yang aku rasakan waktu itu, Ica menyembuhkan kecewaku, dia nyawaku, Ma."
Apa Lisa tak salah dengar? Apa yang Gio katakan pada mama malam ini bukan lelucon kan? Bagaimana bisa mengakui kalau dia itu nyawa yang artinya berharga untuk Gio? Dia pasti bercanda, kan?
Seperti yang Gio katakan, saat Lisa melewati kakak lelaki pertama Gio yang baru saja tiba selepas bekerja lembur itu, dia menunduk dan tak melepaskan genggamannya pada tangan Gio.
"Yo'."
Gio berhenti, tidak berbalik, matanya tajam, kalau Lisa berani menoleh, maka malam ini berakhirlah hidup Lisa, maka itu dia diam membeku.
"Kakak ingin berbicara masalah bisnis bersamamu, apa tidak bisa?"
Gio mendengus, "Apa kamu pikir orang bodoh sepertiku mudah lupa dengan ucapan dan alasanmu itu?" dia lanjutkan langkahnya.
Sungguh, Lisa penasaran dengan ekspresi kakak ipar lelakinya itu, tapi siapa yang berani berbalik tanpa perintah Gio.
***
Bercak merah di sprei dan selimut yang membalut mereka malam ini, Gio meremat dan tersenyum puas. Dia mendapatkan apa yang dia mau, kesucian Lisa yang baru saja dia temukan dengan miliknya yang suci juga.
Pernikahan itu memang digugat setelah satu bulan, tapi selama itu tidak pernah sekalipun Gio menyentuh Eva.
Dia menikah karena relasi bisnis, lalu dia jatuh cinta sebelum menikah karena Eva begitu menarik. Namun, wanita sialan itu membuat Gio menutup hubungannya dengan sang kakak pertama.
"Sejak itu, Ica. Aku rebut hatiku dari Eva, aku sempurnakan dan aku berikan padamu seutuhnya, jangan bermain denganku, Ica. Sebab, aku bersungguh-sungguh kepadamu, tidak ada yang aku sentuh selain kamu, jadi kalau kamu mau dan ingin jatuh pada seorang pria yang mungkin memikat hatimu, aku siap kau timpa, jatuhlah padaku, Ica!" gumamnya.
Wajah tenang Lisa selepas penyatuan mereka itu sangat menarik perhatian Gio, walau Lisa tak sempurna seperti Eva, tapi karakter Lisa membuat Gio yakin kalau Lisa tak akan pergi bermain meninggalkannya meskipun banyak pria rela bersujud kepadanya meminta hati itu.
"Icaaaa," bisiknya.
"Emmm, namaku Lisa tahu!"
Gio tersenyum, "Ica, aku suka Ica saja ya?"
"Aaahhh, ganti nama bayar denda!" masih dengan mata terpejam, dia mengigau menjawab Gio.
Emuah,
Gio cium wajah itu, kemudian Lisa tersenyum dalam kondisi yang sama, dia seperti tengah mabuk di mimpinya sendiri.
"Ica, jangan pernah meninggalkan aku, kalau kamu mau mencintai pria, cintai aku, habiskan hatiku, Ica. Kamu boleh melakukan apa saja denganku, padaku, semua hal yang tidak kamu lakukan pada orang lain, ya Ica?"
Tanpa sadar Lisa membalasnya dengan anggukan dan senyuman.
Tapi, jangan salahkan Lisa yang sekarang tidak paham sama sekali soal itu, salahkan Gio yang mengajaknya berbicara saat dia sedang tidur, lelah karena pergulatan malam itu.
***
"Katakan kamu mau program anak kapan, Ica?!"
Loh, kalau ditantang begini jelas dia gentar, yang ada Lisa mundur daripada perang dunia ketiga terjadi di rumah tangganya.
Kalau dia bertengkar dengan Gio, maka ibu dan ayahnya akan sakit karena memikirkannya.
"Katanya kamu mau hamil anakku kan?"
"Nanti saja, Gi. Aku bercanda kok!"
"Bercanda?" ulang Gio. "Kamu tidak mau hamil anakku begitu?"
Heh, bukan begitu?!
Gio tarik Lisa sampai tubuh mereka melekat dan Gio kunci pandangan itu.