Bekal, ikat rambut, ikat pinggang, dasi dan kaos kaki. Sudah semua.
Lisa mendapatkan pesan lembur di hari penghujung akhir pekan ini, rencananya berjalan-jalan dengan sang suami terpaksa batal dan mungkin akan diganti dengan kencan di perjalanan.
Ya, suaminya itu akan menjemputnya, padahal sebelumnya ibu mertua Lisa sudah memberi kabar kalau di rumah sana ada acara kumpul keluarga sampai hari minggu, hanya saja Gio tidak tertarik seperti biasanya.
"Gi, sarapan!" serunya.
Karena tidak ada jawaban, wanita itu berlari ke kamarnya, melihat seisi kamar yang belum berubah dari dia bangun tadi, masih ada anduk yang berserakan dan sepertinya suaminya itu sudah mandi.
Tapi, di mana dia?
"Gi, nanti kamu-" diam, Gio sedang berbincang serius di kamar ganti.
Lisa mengendap-endap mendekat, tak biasanya Gio menerima panggilan di kamar ganti, kalau itu sampai terjadi artinya siapa yang ada di seberang sana adalah tidak lain ibu mertuanya, alias ibu kandung Gio.
Rayuan maut seperti apapun tak akan membuat Gio mau datang ke acara itu, walau di sana sudah dibuatkan makanan yang enak dan Lisa dijamin ikut. Lisa tunggu sampai suaminya itu selesai, ada kesahan pelan dan jengah dari sana, dia gemetar, tapi harus memberitahu suaminya akan pendapatnya itu.
"Kenapa di sini?" tanya Gio memicingkan mata. "Kamu dengerin orang telpon ya? Berani banget, Ica."
Mati aku, itu aturan kami.
Gio dan hanya dia yang boleh rahasia dalam hal seperti ini, sedang Ica harus terbuka. Kalau ditanya kenapa, jawabannya sangat tidak masuk akal karena bagi Ica tidak mungkin dia berselingkuh atau berkhianat dengan Gio yang sudah berpengalaman dalam rumah tangga. Tapi, bagi Gio itu salah, dia pantas dicurigai, sedang Gio sudah pasti tidak.
Ku mohon!
"Iya, aku minta maaf, Gi. Ayo, sarapan!"
"Aku sudah sarapan barusan." bibirnya basah, baru saja dia raup bibir merah di depannya itu. "Aku bawa bekal saja, tidak sarapan, kenyang." putusnya.
Lisa tidak suka ini, dia kan sudah menyiapkan semua, hilang yang tadi mau didebatkan dengan suaminya, menguap berganti dengan pembahasan sarapan.
"Kamu tidak suka?"
Lisa mendengus, "Aku kan sudah masak, sudah siapkan semua, rambutku sampai bau bumbu karena diburai buat kamu. Sekarang kamu bilang tidak mau sarapan, tahu begitu aku sekalian saja tidak masak, kan itu aku buat susah-susah!" protes, tapi tidak berani keras-keras.
Gio melipat bibirnya, tanpa menjawab dia gandeng tangan Lisa, mengajak istrinya itu turun meskipun Lisa sempat menahan kedua kakinya, tidak mau ikut dan endak mengancam naik ojek online ke kantor.
"Nanti aku belikan shampo yang baru, sekarang makan!"
Eh, seenaknya saja.
"Ica," panggilnya.
Lisa melengos, dia tidak mau duduk, dia bahkan menuruti semua aturan Gio di rumah ini, termasuk membuat rambutnya bau bumbu masakan karena harus tanpa ikatan saat memasak.
"Icaaaa," panggilnya lagi.
Belum menjawab, tapi sudah duduk, kalau dia tidak duduk akan muncul aturan dari mulut Gi tentang etika makan bersama di pagi hari, mati dia nanti makan banyak aturan.
"Apa?" terkejut tanganya diraih dan digenggam Gio, dia lirik sedikit, masih kuat memasang wajah marah.
"Maaf, Ica."
Duar,
Jantung Lisa mau meledak hebat begini, magic word-nya bagus sekali, belum lagi ditambah ekspresi mukanya itu, Lisa yakin banyak wanita rela menggadaikan statusnya demi menjadi istri Gio.
"Maafkan aku, Ica. Tadi aku hanya bercanda, sekarang aku lapar dan mau makan bersamamu, ayo!" suaranya berubah, tak sama dengan tadi di kamar.
Ya dong, harus makan. Tadi, sudah membuat rambutnya bau bumbu, ditambah lagi pewarna bibirnya hilang.
Ingat aturan Lisa, dilarang memakai riasan di luar rumah, tapi masih saja di kantor curi-curi kesempatan yang setidaknya dia terlihat segar.
"Ica."
"Iya, aku makan, Gi. ini!" haum, makan dia akhirnya, makan bersama demi tak adanya aturan baru di meja makan bundar ini.
Gemas sekali istrinya ini, kalau saja hari minggu, sudah Gio angkat dan buat terkulai lemas.
***
"Ren, aku bersumpah demi apapun, dia bakal buat aturan aku tidak boleh kerja kalau sampai melanggar yang ini. Kemarin saja, dia belanja bahan sushi dan kami membuat juga makan di rumah, jadi berhentilah berharap aku akan datang di acara anak muda kantor ini, itu sia-sia!" dengan tegas dan penuh harap sebenarnya ingin ikut Lisa katakan pada Renata.
"Aku jadi ragu dia itu cinta sama kamu atau tidak."
"Terserah, kamu tidak tahu buku aturan di rumah kami, dia semua yang menulis sampai aku cuman punya tiga bait saja, jangan ditambah lagi, oke!"
Akhirnya Renata tertawa juga, dia ingat saat Lisa baru pertama menikah dengan Gio.
Pagi itu, Lisa datang dengan wajah yang acak-acakan, riasan di wajahnya banyak yang pudar dan tambal sulam, belum lagi rambutnya, ada yang dikucir dan tidak, ditambah lagi dia salah memakai seragam yang ditentukan pada hari itu, batik.
Begitu datang, Lisa langsung ambruk di meja kerjanya.
"Kenapa?"
"Aku bangun jam tiga pagi, barengan sama dia, masak, makan, mandi, ambil baju, cuci, sapu rumah, mendengarkan dia berbicara tidak jelas soal usahanya. Setiap hari aku harus melakukan itu, satu lagi, setiap dia memangilku dinyata atau telpon, aku tidak boleh menundanya, apalagi menolak dan ini tadi dia mengujiku dengan semua itu dalam satu waktu, hapeku sampai panas Karen percobaannya!" adu Lisa.
Aaarrrghhh,
Gio bilang, "Aturanmu itu Aku!"
Iya, dia berkata begitu setelah sah menikah dan setelah mereka menyatu lalu masa cuti pernikahan itu habis.
"Enak, kan hemat ongkos ojek, Lis!"
"Enak kepalamu, hah? Kalau yang di sebelahku itu orang normal, aku pasti enak, duduk sepanjang perjalanan tidak bosan. Ini bukan bosan lagi, dia terus mengingatkan aku akan aturan selama bekerja, aku bahkan tidak boleh berjalan sekadar urusan kerja berdua bersama manusia berjenis laki-laki di kantor ini-"
"Dia kan tidak ada, tidak tahu!" potong Renata.
"Ren, dia itu punya usaha besar, sekali injak saja dia bisa ambil kantor ini dan kita ... kita tunduk sama duda muda itu!"
Hash,
Lisa mau tertawa mengingat masa di mana dia kerap mengatakan dan menyebut Gio seperti itu, duda muda, suaminya duda muda, geram-geram dia mengatakannya.
Lisa kemudian diam merapikan sudut bibirnya, ciuman pagi tadi masih bisa dia rasakan, Gio masih sama dengan aturannya, tapi bisa Lisa rasakan beda sentuhannya, semakin ke sini, semakin lembut padanya.
"Tuh, panggilan dari yang mulia, angkat, Lisa!" ujar Renata.
Cepat!
Lisa ambil ponselnya, dia tekan tanda hijau itu, langsung menyapa dengan hormat.
"Sudah sampai, Gi?" dasar aku, beraninya hanya sebesar butiran debu. Lisa.